Hari ini hujan berjatuhan, tanda Tuhan melimpahkan rahmat-Nya
Hari dimana aku ingin merapal doa untuk orang terkasihku.
Malaikat yang dikirim Tuhan untuk melahirkanku, merawatku,
dan membimbingku mengenal-Nya.
Kasih tak kenal
usai.
Jiwa raga, seluruh waktu, dan seluruh hidupnya telah ia
berikan untukku. Yang tersisa hanyalah wajah lelah yang kulihat kala lelapnya.
Kasih tak kenal usai.
Setetes darah yang tak pernah tergantikan, demi menghadirkanku
melihat indahnya dunia. Merasakan segarnya udara pagi. Juga, indahnya cahaya iman
yang kini memenuhi ruang gelap hatiku.
Kusebut engkau Ibu.
Malaikat bercahaya dengan sayap tak terlihat. Memelukku
kala dingin. Melindungiku kala terik. Juga menjagaku dalam doamu usai sholat. Dalam
sujud panjangmu dan air mata yang tak pernah terlihat olehku. Tapi, aku percaya
dalam setiap tangkup tanganmu menengadah tak pernah lupakan namaku. Tak pernah jarimu
tak basah oleh air mata.
Ibu…
Jika tak sadar lidah ini menggores hatimu, menyakitimu,
mengecewakanmu, maafkanlah.
Jika tak sadar lidah ini mengomel, membentak, atau berkata
ahh, maafkanlah.
Jika tak sadar telinga ini pura-pura tak mendengar
perintahmu, maafkanlah.
Jika tak sengaja hati ini kesal dan marah, ampunilah.
Ibu…
Sungguh, seberapapun
aku berjuang mengembalikan seluruh hutang budiku, aku takkan sanggup. Setetes
darahmu pun takkan bisa kugantikan.
Ibu…
Ajarkanku setegar dirimu. Sekuat bahumu yang menopang
tubuhku kala kecil.
Ajarkanku tetap tersenyum tanpa keluah kesah, walau lelah.
Ajarkan aku agar secerdas dirimu untuk mendidik
anak-anakku.
Ibu…
Kenalkan aku menjadi sosok penuh kasih tanpa lelah. Sepertimu…
***Bantul, 7 Desember 2016—disaat lelahnya skripsi, ingat
ibu di rumah***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar