oleh:
Nin Wahyuni
Tak ada sepatah katapun keluar dari bibirku. Hanya air mata penyesalan mewakili
perasaanku. Hanya ibu yang berusaha tegar menahan tangisnya. Namun setegar
apapun didepanku, tapi hatinya pasti rapuh. Apalagi aku adalah penyebab musibah
ini terjadi. Ketika semua orang telah beranjak, aku dan ibu masih terpaku di
depan gundukan tanah yang masih basah. Ibu tak henti-hentinya memanjatkan doa
ditengah tangisku yang semakin meledak.
“ikhlaskan,
Nak. Biarkan ayah bahagia disisi Allah. Kita doakan supaya Allah mengampuni
segala dosa-dosanya.” Ibu menguatkan aku. Betapa berjiwa besarnya hati ibu,
orang yang selama ini aku anggap cengeng. Ibu yang selalu menangis melihat ayah
membentakku dan tak segan-segan memukulku. Ku akui aku memang bandel. Aku tak
pernah mengindahkan perintah ayah. Padahal ayah hanya meminta agar aku
berhijab. Tapi aku selalu menolak. Sampai aku lulus SMA pun belum ada keinginan
untuk berhijab. Selalu ada alasan untuk menolak keinginannya. penyesalan demi
penyesalan bermunculan di benakku. Kini ayah telah berpulang, sedang aku belum
bisa menepati janjiku padanya.
Langit
tiba-tiba mendung. Rintik hujan mulai berjatuhan. Ibu mengajakku pulang, tapi
aku masih terpaku di depan makam ayah. Ibu berdiri memunggungiku. Menangis
tertahan dibelakangku. Aku bangun dan memeluk ibu. Aku meminta maaf padanya.
Ini semua salahku. Jika saja waktu itu aku menuruti ayah, pasti ayah masih ada
disamping kami.
Tiga hari sebelum kepergian ayah, ayah selalu resah. Ayah menjadi manja pada
ibu. Hingga mau berangkat kerjapun, ia mencium kening ibu lama sekali. Seperti
orang yang mau bepergian jauh. Kami tak memiliki firasat apapun ketika itu. Perlakuan
ayah padaku tetap sama saja. Keras.
Suatu malam ayah mengancamku. Ia mengatakan akan mengirimku ke pondok pesantren. Aku menentang keras. Namun ayah sudah pada keputusannya. Ia mengemasi barang-barangku malam itu juga. Aku menangis memohon-mohon kepada ayah untuk mengurungkan niatnya.
“ayah,
maafkan aku. Aku berjanji akan menuruti perintah ayah, tapi jangan lakukan ini
padaku.” aku memohon-mohon padanya, namun tak digubrisnya sama sekali. Aku
bingung. Aku lari ke dapur menemui ibu. Aku meminta tolong padanya untuk
membujuk ayah.
Setiap
ada permasalahan antara aku dan ayah, pasti ibu selalu menjadi penengah. Malam
itu ibu berhasil membujuk ayah. Entah apa yang sedang mereka bicarakan di dalam
kamarku sehingga tiba-tiba menjadi hening. Di balik pintu kulihat ayah
menangis. Orang yang selama ini aku anggap tegas dan keras itu ternyata malam
ini begitu terlihat pasrah dalam pelukan ibu. Ada rasa bersalah dalam diriku.
Apakah sikapku sudah sangat keterlaluan? Tapi aku masih belum bisa berhijab.
Aku masih ingin bebas dan modis seperti remaja lain seusiaku. Meski kini usiaku
sudah bukan sweet seventeen lagi.
Sejak
kejadian tadi malam aku mulai merenung. Kulihat ayah begitu pendiam. Melihatku
duduk didekatnya pun, tak digubrisnya. Ia asyik melantunkan surat andalannya,
surat Ar-Rahman. Setiap sehabis shalat ayah pasti tak pernah absen dari
melafadzkan surat tersebut. Entahlah apa yang ia rasakan setiap melantunkannya.
Kali ini airmatanya sesekali terjatuh dari pelupuk matanya.
… maka
nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?
Semua
yang ada di bumi itu akan binasa,
Tetapi
wajah Tuhanmu yang memiliki kebesaran dan kemuliaan akan tetap kekal.
maka
nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?
Apa
yang di langit dan di bumi selalu meminta kepada-Nya. Setiap waktu Dia dalam
kesibukan.
maka
nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?
Kami
akan memberi perhatian sepenuhnya kepadamu, wahai golongan manusia dan jin!
maka nikmat
Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?
Wahai
golongan jin dan manusia! Jika kamu sanggup menembus penjuru langit dan bumi,
maka tembuslah. Kamu tidak akan mampu menembusnya kecuali dengan kekuatan dari
Allah.
maka
nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?
Kepada
kamu(jin dan manusia), akan dikirim nyala api dan cairan tembaga(panas)
sehingga kamu tidak dapat menyelamatkan diri darinya.
maka
nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?
…
Ayah
tak sanggup melanjutkan ayat selanjutnya. Air matanya sudah sangat deras
membasahi pipi. Aku yang sejak tadi berada di dekatnya ikut menangis. Suara
ayah sangat merdu dengan tartilnya. Aku menjadi tersentuh. Kupeluk ayah. Aku
menangis di pundaknya.
“ayah,
maafkan Latifah.” Kataku pada ayah. Ayah menyambut pelukanku.
“Ayah
sudah memaafkanmu,Nak. Ayah hanya merasa gagal menjadi seorang ayah. Bagaimana
pertanggungjawaban ayah kelak di hari akhir. Ayah belum bisa mendidikmu dengan
baik.” Ayah menangis dalam pelukanku. Selalu ia ucapkan kata maaf di telingaku.
Aku semakin merasa bersalah.
“Ayah,
ayah selalu melakukan yang terbaik untukku. Maafkan aku yang belum bisa menjadi
permata di hati ayah. Tapi mulai hari ini aku akan belajar memakai hijab. Ayah
jangan sedih lagi ya. Maafkan aku.” aku mencium tangan ayah. ayah memelukku
lagi. Erat. Sangat erat. Kurasakan lagi kehangatan ayah seperti di waktu
kecilku. Tangan yang ku kira sangat kasar, ternyata sangat lembut. Membelaiku
dengan penuh cinta. Disela tangisnya ada senyum yang sangat tulus. Senyuman
yang tak pernah kulihat selama ini. Kenyamanan yang hilang karena kegarangan
ayah selama ini, telah luluh dengan Ar-Rahman.
***
Malam
itu sebelum kejadian yang merenggut nyawa ayah, aku berpamitan akan menghadiri
pesta ulangtahun temanku. Seperti dugaanku, ayah tak mengizinkanku pergi malam.
Aku terus merayu ayah. Tiba-tiba ada mobil berhenti di depan rumahku. Aku terus
merayu agar ayah mengizinkanku pergi malam ini bersama temanku. Aku berjanji
tidak akan pulang terlalu larut malam. Akhirnya ayah luluh dan mengizinkanku
dengan syarat aku memakai hijab dan pulang sebelum jam 10 malam. Karena aku
telah berjanji, maka aku berusaha menepatinya. Ketika itu aku berangkat bersama
dua orang temanku yang sama-sama memakai hijab sepertiku. Dia Amira dan Shandi.
Ayah tak terlalu mengkhawatirkanku melihat pakaian yang dikenakan kedua temanku
ini. tapi ditengah perjalanan mereka melepas hijabnya. Berganti pakaian sangat
mini. Mereka juga menyuruhku melepas hijabku. Aku berat menuruti perintah
mereka.
“alah,
malam ini aja, Fah. Toh ayahmu juga gak bakalan tahu. Mereka juga gak bakalan
curiga soalnya tadi kita ketempatmu juga pakai hijab kan? Pasti ayahmu percaya
bahwa anaknya gak bakal macem-macem.” Kata Shandi padaku.
“yups…
betul banget itu.” sambung Amira. Aku sebenarnya ragu melepasnya. Tapi malam
ini aja kok, kataku dalam hati. Aku membenarkan kedua temanku ini untuk
melepas hijabku. Kedua temanku telah menyiapkan gaun pesta yang bagus untukku.
Seperti gaun Cinderella yang hendak menghadiri pesta dansa. Aku tak curiga sama
sekali dengan mereka.Toh tidak terlalu ketat dan tidak terlalu pendek seperti
yang mereka kenakan. Hatiku mulai merasa tak enak ketika berhenti di sebuah club
malam. Deg. Jantungku seperti berhenti berdenyut.
“loh, kok
kita berhenti disini? Bukannya kita mau ke pesta ulang tahun saudaramu ,Shan?”
kataku kebingungan.
“Haha…
ulangtahunnya besok, sayang. Sekarang kita senang-senang disini. Lagian kalau
gak dengan cara ini kamu susah diajak keluar malam. Aku pengen ngenalin hiburan
malam yang menyenangkan.” Kata Shandi padaku. Belum sempat aku menyatakan
keberatanku, mereka berdua telah menarikku memasuki bangunan agak luas dengan
lampu disco yang warna-warni. Aku menurut saja. Baru menginjakkan kakiku
di mulut pintu, aku sudah mencium bau alcohol yang menusuk hidung. Aku merasa
pusing. Tapi Amira menggenggam erat tanganku dan menarikku untuk segera masuk.
Aku tak kuasa menolaknya. Di dalam ruangan itu banyak yang berjoget tak jelas.
Bahkan ada yang berpelukan. Astaghfirullahal’adzim. Aku tak tahan lagi
melihatnya. Aku melepaskan tangan Amira dan berusaha keluar dari tempat
tersebut. Aku kecewa. Akupun harus berjuang berdesak-desakan untuk menuju pintu
keluar. Terjebak. Aku terjebak ditengah lautan orang yang semakin banyak
berdatangan. Aku semakin takut. Kudengar suara Amira memanggil-manggil namaku.
Aku tak peduli. Aku terus mencari celah untuk bisa keluar dari tempat itu.
Wajah ayah seketika terlintas dalam benakku. Membuatku seperti punya daya untuk
menerjang siapa saja didepanku. Berlari. Terus berlari menjauh dari tempat
terkutuk itu. Aku menangis disepanjang perjalanan. Aku tak memegang uang
sepeserpun untuk naik kendaraan. Aku kalut. Hanya ada handphone digenggamanku.
Kucoba memberanikan diri menghubungi ayah. Aku meminta maaf pada ayah dan
menceritakan kejadian yang baru saja kualami. Ayah tiba-tiba panik.
“tunggu
ayah. Ayah segera kesana. Banyak-banyak istighfar ya, Nak. Semoga Allah selalu
melindungimu.” Kata ayah diujung pembicaraan. Tak terdengar nada marah dari
ayah. Justru ayah terlihat sangat panik dengan keadaanku.
Setengah
jam kemudian kulihat motor ayah. Kulambaikan tanganku kearahnya. Ia tak
melihatku. Aku berlari sambil memanggil-manggil namanya. Kemudian ia menoleh.
“Awas
motor!” ayah berteriak kaget. Tapi naas tubuhku telah terhempas. Kepalaku
terantuk badan jalan. aku masih sadar saat itu. Kulihat ayah bergegas
menghampiriku. Ia mengencangkan laju sepeda motornya. Ayah menyebrang tak
melihat kanan kiri. Pandangannya hanya tertuju padaku. Ayah tak melihat ada
yang sedang menyebrang, sedangkan laju motornya sangat kencang. Ia kaget
kemudian banting stir. Ayah menabrak tiang lampu lalu lintas. Aku berusaha
bangun dan menghampiri ayah, namun aku tersandung pinggiran jalan. aku
kembali terjatuh. Tak ingat apa-apa lagi setelah itu.
***
Aku
mengalami kebutaan akibat kecelakaan itu.Terjadi benturan keras dibagian
kepalaku ketika itu. Namun, sebelum aku menyadari bahwa aku akan hidup dalam
kepungan gelap, ayah telah lebih dulu memberikan keindahan itu. ayah memberikan
cahaya padaku melalui kedua matanya sebelum aku membuka mata.
Setiap mata ini memandang, selalu
ada wajah ayah. Ayah telah hidup dalam jiwaku. Memberikan keindahan yang sempat
hilang. Memberikan cahaya yang sempat terenggut kejadiaan naas malam itu.
Ternyata hari itu adalah hari terakhir aku melihat ayah. Jika saja waktu itu
aku tak meminta ayah menjemputku, pasti kecelakaan itu takkan terjadi. Ayah
pasti masih disini. Bersamaku. Ayah mengalami luka yang sangat parah. Ia sempat
kritis. Kata Ibu sebelum ayah pergi, ia menjengukku. Untuk sekedar melihatku
dan memastikan bahwa aku baik-baik saja. Aku sedih mendengar cerita ibu
mengenai ayah sebelum menghembuskan nafas terakhirnya. Aku sedih sekali tak
bisa melihat ayah ketika mengecup keningku.
Sepulang
dari pemakaman ayah, aku mengurung diri di kamar. Aku masih belum percaya bahwa
ayah sudah tak ada lagi. Sesekali kuseka air mataku yang sulit kubendung. Tak peduli
dengan bajuku yang basah karena hujan. Aku hanya duduk disudut kamar melihat
hujan dibalik jendela kamarku. Aku teringat semua nasehat ayah. Membuatku
sangat sedih. Aku merasa menjadi anak yang durhaka, yang selalu menentangnya.
Berkali-kali aku menyalahkan diri sendiri. Ibu yang melihatku langsung
memelukku.
“Nak,
jangan menyalahkan dirimu sendiri. Ayah sudah memaafkanmu. Lakukan sesuatu yang
membuat ayah bangga. Dengan kamu yang selalu menyesal dan menyalahkan dirimu
sendiri, takkan pernah mengembalikan ayah. Ayah justru akan sedih, Nak.” Kata
ibu menenangkanku. Matanya berkaca-kaca hendak menangis. Ibu memelukku.
membisikkan nasehat-nasehat yang membuatku bangkit lagi.
Kini
penyesalan takkan ada gunanya lagi. Aku telah berdamai dengan hatiku untuk
merelakan kepergian ayah. Ibu selalu ada untuk menguatkanku ketika aku mulai
menangis memandangi foto ayah dengan rasa penyesalan.
“Nak,
kasihan ayah kalau kamu menangis seperti itu. Kita harus kuat. Ayah sayang sama
kita melebihi dirinya sendiri. Allah pasti juga menyayanginya. Sudah, hapus air
matamu.” Ibu mengusap air mataku. Ibu tersenyum padaku. Ibu kemudian mengajakku
ke kamarnya dan membuka lemari pakaiannya. Didalamnya tersimpan banyak
baju-baju gamis seukuranku. Aku bingung.
“Ayah
setiap gajian sebenarnya selalu membelikanmu gamis dan kerudung. Tapi ayah
takut memberikannya padamu. Takut kamu membuangnya seperti dulu. Ayah akan
memberikan ini setelah kamu siap untuk berhijab. Nak, kamu tau? Ketika kamu
berjanji akan berhijab bagaimana perasaan ayah? dia sangat gembira dan langsung
membelikan gamis keesokan harinya. Tanpa menunggu gajian seperti biasanya.”
kata ibu sambil mengeluarkan semua gamis dari lemari ayah. Ada sekitar 10
potong gamis. Aku kembali menitikkan air mata. Air mata haru. Ternyata ayah
sangat menyayangiku.
***
Seminggu setelah kepergian ayah, aku sudah agak tenang. Begitupun dengan ibu.
Kami menjalani hari-hari seperti biasa. Wajah ayah tetap saja hadir dalam
benakku. Membuatku sangat rindu, namun aku tak lagi menangisinya. Pagi itu aku
mengajak ibu mengunjungi ayah. Aku mengenakan gamis serba hijau pemberian ayah.
Didepan pusara ayah aku berjanji akan selalu mengenakan hijab apapun yang
terjadi. Kukirimkan doa untuk ayah. Tak lupa ku lantunkan Ar-Rahman, surat
cinta untuk Allah yang selalu ayah lafadzkan. Melalui Ar-Rahman, aku sadar
begitu banyak nikmat yang luput untuk kusyukuri.
Ayah,
terimakasih telah menjadi ayah terbaik untukku. Aku akan meneruskan cita-cita
ayah. Menjadi seorang pendidik dan pendakwah. Ayah, sekarang aku sudah diterima
di salah satu Universitas Swasta jurusan Pendidikan Agama Islam. Aku juga akan
berdakwah seperti ayah. Menebarkan cahaya di muka bumi ini. Ayah, andaikan
engkau masih berada disini pasti kita sudah berjuang bersama-sama. Tapi jangan khawatir
karena melalui mata yang ayah berikan ini, ayah telah berjuang bersamaku.
Terimakasih, telah menjagaku dan Ibu selama ini. semoga Allah menyayangi ayah.
semoga Allah melapangkan kubur ayah dan menerangi kubur ayah.
Selesai
kupanjatkan doa untuk ayah, aku dan ibu kemudian pulang. Di tengah perjalanan,
adzan dhuhur berkumandang. Kaki kami terhenti pada sebuah masjid. Kami shalat
di masjid tersebut.
Selesai shalat, aku masih memanjatkan doa untuk ayah. Di depanku, dengan sangat
merdu ada yang melantunkan Ar-Rahman. Aku menangis. Aku teringat ayah.
maka
nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?
***Cerpen
ini pernah diikutkan dalam lomba menulis cerpen Islami pada acara Gema Muharram
1436 H di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, dan masuk dalam 5 besar***
Assalamualaikum Ukhti, bisakah saya mendapatb izin menggunakan judul cerpen Ukhti buat novel saya
BalasHapus