Kamis, 07 Mei 2015

Senandung Cinta Ar-Rahman


 oleh: Nin Wahyuni
          Tak ada sepatah katapun keluar dari bibirku. Hanya air mata penyesalan mewakili perasaanku. Hanya ibu yang berusaha tegar menahan tangisnya. Namun setegar apapun didepanku, tapi hatinya pasti rapuh. Apalagi aku adalah penyebab musibah ini terjadi. Ketika semua orang telah beranjak, aku dan ibu masih terpaku di depan gundukan tanah yang masih basah. Ibu tak henti-hentinya memanjatkan doa ditengah tangisku yang semakin meledak.
“ikhlaskan, Nak. Biarkan ayah bahagia disisi Allah. Kita doakan supaya Allah mengampuni segala dosa-dosanya.” Ibu menguatkan aku. Betapa berjiwa besarnya hati ibu, orang yang selama ini aku anggap cengeng. Ibu yang selalu menangis melihat ayah membentakku dan tak segan-segan memukulku. Ku akui aku memang bandel. Aku tak pernah mengindahkan perintah ayah. Padahal ayah hanya meminta agar aku berhijab. Tapi aku selalu menolak. Sampai aku lulus SMA pun belum ada keinginan untuk berhijab. Selalu ada alasan untuk menolak keinginannya. penyesalan demi penyesalan bermunculan di benakku. Kini ayah telah berpulang, sedang aku belum bisa menepati janjiku padanya.
Langit tiba-tiba mendung. Rintik hujan mulai berjatuhan. Ibu mengajakku pulang, tapi aku masih terpaku di depan makam ayah. Ibu berdiri memunggungiku. Menangis tertahan dibelakangku. Aku bangun dan memeluk ibu. Aku meminta maaf padanya. Ini semua salahku. Jika saja waktu itu aku menuruti ayah, pasti ayah masih ada disamping kami.
            Tiga hari sebelum kepergian ayah, ayah selalu resah. Ayah menjadi manja pada ibu. Hingga mau berangkat kerjapun, ia mencium kening ibu lama sekali. Seperti orang yang mau bepergian jauh. Kami tak memiliki firasat apapun ketika itu. Perlakuan ayah padaku tetap sama saja. Keras.
         


           
Suatu malam ayah mengancamku. Ia mengatakan akan mengirimku ke pondok pesantren. Aku menentang keras. Namun ayah sudah pada keputusannya. Ia mengemasi barang-barangku malam itu juga. Aku menangis memohon-mohon kepada ayah untuk mengurungkan niatnya.
“ayah, maafkan aku. Aku berjanji akan menuruti perintah ayah, tapi jangan lakukan ini padaku.” aku memohon-mohon padanya, namun tak digubrisnya sama sekali. Aku bingung. Aku lari ke dapur menemui ibu. Aku meminta tolong padanya untuk membujuk ayah.
          Setiap ada permasalahan antara aku dan ayah, pasti ibu selalu menjadi penengah. Malam itu ibu berhasil membujuk ayah. Entah apa yang sedang mereka bicarakan di dalam kamarku sehingga tiba-tiba menjadi hening. Di balik pintu kulihat ayah menangis. Orang yang selama ini aku anggap tegas dan keras itu ternyata malam ini begitu terlihat pasrah dalam pelukan ibu. Ada rasa bersalah dalam diriku. Apakah sikapku sudah sangat keterlaluan? Tapi aku masih belum bisa berhijab. Aku masih ingin bebas dan modis seperti remaja lain seusiaku. Meski kini usiaku sudah bukan sweet seventeen lagi.
          Sejak kejadian tadi malam aku mulai merenung. Kulihat ayah begitu pendiam. Melihatku duduk didekatnya pun, tak digubrisnya. Ia asyik melantunkan surat andalannya, surat Ar-Rahman. Setiap sehabis shalat ayah pasti tak pernah absen dari melafadzkan surat tersebut. Entahlah apa yang ia rasakan setiap melantunkannya. Kali ini airmatanya sesekali terjatuh dari pelupuk matanya.
… maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?
Semua yang ada di bumi itu akan binasa,
Tetapi wajah Tuhanmu yang memiliki kebesaran dan kemuliaan akan tetap kekal.
maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?
Apa yang di langit dan di bumi selalu meminta kepada-Nya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan.
maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?
Kami akan memberi perhatian sepenuhnya kepadamu, wahai golongan manusia dan jin!
maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?
Wahai golongan jin dan manusia! Jika kamu sanggup menembus penjuru langit dan bumi, maka tembuslah. Kamu tidak akan mampu menembusnya kecuali dengan kekuatan dari Allah.
maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?
Kepada kamu(jin dan manusia), akan dikirim nyala api dan cairan tembaga(panas) sehingga kamu tidak dapat menyelamatkan diri darinya.
maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?
Ayah tak sanggup melanjutkan ayat selanjutnya. Air matanya sudah sangat deras membasahi pipi. Aku yang sejak tadi berada di dekatnya ikut menangis. Suara ayah sangat merdu dengan tartilnya. Aku menjadi tersentuh. Kupeluk ayah. Aku menangis di pundaknya.
“ayah, maafkan Latifah.” Kataku pada ayah. Ayah menyambut pelukanku.
“Ayah sudah memaafkanmu,Nak. Ayah hanya merasa gagal menjadi seorang ayah. Bagaimana pertanggungjawaban ayah kelak di hari akhir. Ayah belum bisa mendidikmu dengan baik.” Ayah menangis dalam pelukanku. Selalu ia ucapkan kata maaf di telingaku. Aku semakin merasa bersalah.
“Ayah, ayah selalu melakukan yang terbaik untukku. Maafkan aku yang belum bisa menjadi permata di hati ayah. Tapi mulai hari ini aku akan belajar memakai hijab. Ayah jangan sedih lagi ya. Maafkan aku.” aku mencium tangan ayah. ayah memelukku lagi. Erat. Sangat erat. Kurasakan lagi kehangatan ayah seperti di waktu kecilku. Tangan yang ku kira sangat kasar, ternyata sangat lembut. Membelaiku dengan penuh cinta. Disela tangisnya ada senyum yang sangat tulus. Senyuman yang tak pernah kulihat selama ini. Kenyamanan yang hilang karena kegarangan ayah selama ini, telah luluh dengan Ar-Rahman.
***
          Malam itu sebelum kejadian yang merenggut nyawa ayah, aku berpamitan akan menghadiri pesta ulangtahun temanku. Seperti dugaanku, ayah tak mengizinkanku pergi malam. Aku terus merayu ayah. Tiba-tiba ada mobil berhenti di depan rumahku. Aku terus merayu agar ayah mengizinkanku pergi malam ini bersama temanku. Aku berjanji tidak akan pulang terlalu larut malam. Akhirnya ayah luluh dan mengizinkanku dengan syarat aku memakai hijab dan pulang sebelum jam 10 malam. Karena aku telah berjanji, maka aku berusaha menepatinya. Ketika itu aku berangkat bersama dua orang temanku yang sama-sama memakai hijab sepertiku. Dia Amira dan Shandi. Ayah tak terlalu mengkhawatirkanku melihat pakaian yang dikenakan kedua temanku ini. tapi ditengah perjalanan mereka melepas hijabnya. Berganti pakaian sangat mini. Mereka juga menyuruhku melepas hijabku. Aku berat menuruti perintah mereka.
“alah, malam ini aja, Fah. Toh ayahmu juga gak bakalan tahu. Mereka juga gak bakalan curiga soalnya tadi kita ketempatmu juga pakai hijab kan? Pasti ayahmu percaya bahwa anaknya gak bakal macem-macem.” Kata Shandi padaku.
“yups… betul banget itu.” sambung Amira. Aku sebenarnya ragu melepasnya. Tapi malam ini aja kok, kataku dalam hati. Aku membenarkan kedua temanku ini untuk melepas hijabku. Kedua temanku telah menyiapkan gaun pesta yang bagus untukku. Seperti gaun Cinderella yang hendak menghadiri pesta dansa. Aku tak curiga sama sekali dengan mereka.Toh tidak terlalu ketat dan tidak terlalu pendek seperti yang mereka kenakan. Hatiku mulai merasa tak enak ketika berhenti di sebuah club malam. Deg. Jantungku seperti berhenti berdenyut.
“loh, kok kita berhenti disini? Bukannya kita mau ke pesta ulang tahun saudaramu ,Shan?” kataku kebingungan.
“Haha… ulangtahunnya besok, sayang. Sekarang kita senang-senang disini. Lagian kalau gak dengan cara ini kamu susah diajak keluar malam. Aku pengen ngenalin hiburan malam yang menyenangkan.” Kata Shandi padaku. Belum sempat aku menyatakan keberatanku, mereka berdua telah menarikku memasuki bangunan agak luas dengan lampu disco yang warna-warni. Aku menurut saja. Baru menginjakkan kakiku di mulut pintu, aku sudah mencium bau alcohol yang menusuk hidung. Aku merasa pusing. Tapi Amira menggenggam erat tanganku dan menarikku untuk segera masuk. Aku tak kuasa menolaknya. Di dalam ruangan itu banyak yang berjoget tak jelas. Bahkan ada yang berpelukan. Astaghfirullahal’adzim. Aku tak tahan lagi melihatnya. Aku melepaskan tangan Amira dan berusaha keluar dari tempat tersebut. Aku kecewa. Akupun harus berjuang berdesak-desakan untuk menuju pintu keluar. Terjebak. Aku terjebak ditengah lautan orang yang semakin banyak berdatangan. Aku semakin takut. Kudengar suara Amira memanggil-manggil namaku. Aku tak peduli. Aku terus mencari celah untuk bisa keluar dari tempat itu.
           Wajah ayah seketika terlintas dalam benakku. Membuatku seperti punya daya untuk menerjang siapa saja didepanku. Berlari. Terus berlari menjauh dari tempat terkutuk itu. Aku menangis disepanjang perjalanan. Aku tak memegang uang sepeserpun untuk naik kendaraan. Aku kalut. Hanya ada handphone digenggamanku. Kucoba memberanikan diri menghubungi ayah. Aku meminta maaf pada ayah dan menceritakan kejadian yang baru saja kualami. Ayah tiba-tiba panik.
“tunggu ayah. Ayah segera kesana. Banyak-banyak istighfar ya, Nak. Semoga Allah selalu melindungimu.” Kata ayah diujung pembicaraan. Tak terdengar nada marah dari ayah. Justru ayah terlihat sangat panik dengan keadaanku.
           Setengah jam kemudian kulihat motor ayah. Kulambaikan tanganku kearahnya. Ia tak melihatku. Aku berlari sambil memanggil-manggil namanya. Kemudian ia menoleh.
“Awas motor!” ayah berteriak kaget. Tapi naas tubuhku telah terhempas. Kepalaku terantuk badan jalan. aku masih sadar saat itu. Kulihat ayah bergegas menghampiriku. Ia mengencangkan laju sepeda motornya. Ayah menyebrang tak melihat kanan kiri. Pandangannya hanya tertuju padaku. Ayah tak melihat ada yang sedang menyebrang, sedangkan laju motornya sangat kencang. Ia kaget kemudian banting stir. Ayah menabrak tiang lampu lalu lintas. Aku berusaha bangun dan menghampiri ayah, namun aku tersandung  pinggiran jalan. aku kembali terjatuh. Tak ingat apa-apa lagi setelah itu.
***
Aku mengalami kebutaan akibat kecelakaan itu.Terjadi benturan keras dibagian kepalaku ketika itu. Namun, sebelum aku menyadari bahwa aku akan hidup dalam kepungan gelap, ayah telah lebih dulu memberikan keindahan itu. ayah memberikan cahaya padaku melalui kedua matanya sebelum aku membuka mata.
            Setiap mata ini memandang, selalu ada wajah ayah. Ayah telah hidup dalam jiwaku. Memberikan keindahan yang sempat hilang. Memberikan cahaya yang sempat terenggut kejadiaan naas malam itu. Ternyata hari itu adalah hari terakhir aku melihat ayah. Jika saja waktu itu aku tak meminta ayah menjemputku, pasti kecelakaan itu takkan terjadi. Ayah pasti masih disini. Bersamaku. Ayah mengalami luka yang sangat parah. Ia sempat kritis. Kata Ibu sebelum ayah pergi, ia menjengukku. Untuk sekedar melihatku dan memastikan bahwa aku baik-baik saja. Aku sedih mendengar cerita ibu mengenai ayah sebelum menghembuskan nafas terakhirnya. Aku sedih sekali tak bisa melihat ayah ketika mengecup keningku.
Sepulang dari pemakaman ayah, aku mengurung diri di kamar. Aku masih belum percaya bahwa ayah sudah tak ada lagi. Sesekali kuseka air mataku yang sulit kubendung. Tak peduli dengan bajuku yang basah karena hujan. Aku hanya duduk disudut kamar melihat hujan dibalik jendela kamarku. Aku teringat semua nasehat ayah. Membuatku sangat sedih. Aku merasa menjadi anak yang durhaka, yang selalu menentangnya. Berkali-kali aku menyalahkan diri sendiri. Ibu yang melihatku langsung memelukku.
“Nak, jangan menyalahkan dirimu sendiri. Ayah sudah memaafkanmu. Lakukan sesuatu yang membuat ayah bangga. Dengan kamu yang selalu menyesal dan menyalahkan dirimu sendiri, takkan pernah mengembalikan ayah. Ayah justru akan sedih, Nak.” Kata ibu menenangkanku. Matanya berkaca-kaca hendak menangis. Ibu memelukku. membisikkan nasehat-nasehat yang membuatku bangkit lagi.
Kini penyesalan takkan ada gunanya lagi. Aku telah berdamai dengan hatiku untuk merelakan kepergian ayah. Ibu selalu ada untuk menguatkanku ketika aku mulai menangis memandangi foto ayah dengan rasa penyesalan.
“Nak, kasihan ayah kalau kamu menangis seperti itu. Kita harus kuat. Ayah sayang sama kita melebihi dirinya sendiri. Allah pasti juga menyayanginya. Sudah, hapus air matamu.” Ibu mengusap air mataku. Ibu tersenyum padaku. Ibu kemudian mengajakku ke kamarnya dan membuka lemari pakaiannya. Didalamnya tersimpan banyak baju-baju gamis seukuranku. Aku bingung.
“Ayah setiap gajian sebenarnya selalu membelikanmu gamis dan kerudung. Tapi ayah takut memberikannya padamu. Takut kamu membuangnya seperti dulu. Ayah akan memberikan ini setelah kamu siap untuk berhijab. Nak, kamu tau? Ketika kamu berjanji akan berhijab bagaimana perasaan ayah? dia sangat gembira dan langsung membelikan gamis keesokan harinya. Tanpa menunggu gajian seperti biasanya.” kata ibu sambil mengeluarkan semua gamis dari lemari ayah. Ada sekitar 10 potong gamis. Aku kembali menitikkan air mata. Air mata haru. Ternyata ayah sangat menyayangiku.
***
            Seminggu setelah kepergian ayah, aku sudah agak tenang. Begitupun dengan ibu. Kami menjalani hari-hari seperti biasa. Wajah ayah tetap saja hadir dalam benakku. Membuatku sangat rindu, namun aku tak lagi menangisinya. Pagi itu aku mengajak ibu mengunjungi ayah. Aku mengenakan gamis serba hijau pemberian ayah. Didepan pusara ayah aku berjanji akan selalu mengenakan hijab apapun yang terjadi. Kukirimkan doa untuk ayah. Tak lupa ku lantunkan Ar-Rahman, surat cinta untuk Allah yang selalu ayah lafadzkan. Melalui Ar-Rahman, aku sadar begitu banyak nikmat yang luput untuk kusyukuri.
Ayah, terimakasih telah menjadi ayah terbaik untukku. Aku akan meneruskan cita-cita ayah. Menjadi seorang pendidik dan pendakwah. Ayah, sekarang aku sudah diterima di salah satu Universitas Swasta jurusan Pendidikan Agama Islam. Aku juga akan berdakwah seperti ayah. Menebarkan cahaya di muka bumi ini. Ayah, andaikan engkau masih berada disini pasti kita sudah berjuang bersama-sama. Tapi jangan khawatir karena melalui mata yang ayah berikan ini, ayah telah berjuang bersamaku. Terimakasih, telah menjagaku dan Ibu selama ini. semoga Allah menyayangi ayah. semoga Allah melapangkan kubur ayah dan menerangi kubur ayah.
Selesai kupanjatkan doa untuk ayah, aku dan ibu kemudian pulang. Di tengah perjalanan, adzan dhuhur berkumandang. Kaki kami terhenti pada sebuah masjid. Kami shalat di masjid tersebut.
            Selesai shalat, aku masih memanjatkan doa untuk ayah. Di depanku, dengan sangat merdu ada yang melantunkan Ar-Rahman. Aku menangis. Aku teringat ayah.
maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?          

 ***Cerpen ini pernah diikutkan dalam lomba menulis cerpen Islami pada acara Gema Muharram 1436 H di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, dan masuk dalam 5 besar***

1 komentar:

  1. Assalamualaikum Ukhti, bisakah saya mendapatb izin menggunakan judul cerpen Ukhti buat novel saya

    BalasHapus