Cerpenku



Kukira Botol Beneran
Oleh: Nin Wahyuni
       
            “ Hey temen-temen, aku ada tebakan nih buat kalian. Hayo ada yang bisa jawab gak? Kata Udin.
            “ Apa tebakannya?  Pasti aku bias jawab.” Dengan angkuhnya Janu menyahut.
            “Oke. Orang – orangan apa yang bisa masuk botol?” Tanya Udin.
            “Emm… apa ya?” Janu bengong, karena dia melihatku lewat di depannya.
            “Aha… Andi!” teriak Janu, aku hanya menoleh kemudian berlalu tanpa  menghiraukan mereka berdua.
            “Hahaha… apa hubungannya?”
            “Ehh… lihat tuh Andi, kepalanya kecil, badannya kecil, tinggi pula. Mirip botol kecap. Haha.”
            “Huss… kamu ini ada-ada saja Nu.”
            “Jangan suka menghina orang kamu. Emangnya kamu, mirip drum. Haha.” Lanjut Udin lagi.
Kring… kring … bel tanda masuk berbunyi. Semua siswa masuk ke kelasnya masing-masing. Saat itu ruang kelasku paling gaduh karena guru yang mengajar belum datang. Sejak tadi telingaku panas mendengar ejekan Janu Cs. Tak berapa lama kemudian Bu Aini masuk kelas.
            “Siang anak-anak, maaf Ibu terlambat karena baru menemui tamu”, kata Bu Aini
            “ Siang Bu guru!” Jawab siswa serentak.
            “Baik. Sebelum mengawali pelajaran hari ini Ibu akan memberikan evaluasi pada kalian.”
            “Apa bahasa Inggrisnya buku?” Lanjut Bu Aini.
Semua siswa terdiam, sibuk mencari-cari jawaban di buku tulis maupun di kamus.
            “Ayo, Andi. Apa jawabnya?”
            “Aa… anu…anu…bahasa Inggrisnya buku adalah bu… bo… bo…”, kataku terputus-putus dan berusaha berfikir menemukan jawaban.
            “Botol! Dasar Andi Botol.” Celetuk Janu
            “Dari pada kamu mirip tanki miyak! Badan kok bullet-bulet”, balasku kesal.
            “Sudah… sudah… jangan saling mengejek”, kata Bu Aini menengahi.
Aku kesal dan jengkel sekali. Setiap hari menjadi bahan ejekan Janu Cs dan aku kebanyakan diam. Aku membalas jika aku sudah merasa sangat kesal. Sebenarnya aku tidak ingin meladeninya tapi lama-lama tingkah Janu semakin kelewatan dan membuat teman-teman ikut- ikutan mengataiku botol. Ini yang membuatku tak bersemangat mengikuti pelajaran. Dalam lamunanku, aku di kagetkan oleh suara bel. Dengan semangat kukemasi buku-buku yang berserakan di meja. Dan aku bergegas pulang ke rumah.
            “ Assalamu’alaikum”, kataku sesampainya di rumah.
            “Wa’alaikumsalam. Dedek udah pulang? Sana maem dulu!” kata Ibu.
            “ Iya”,  kataku datar.
            Setelah makan, seperti biasa aku langsung kerumah temanku untuk bermain bola di halaman rumahnya. Saat sampai dirumah temanku, ternyata tidak bisa bermain bola karena personilnya kurang. Akhirnya karena yang lain tidak datang, dan hanya aku dan Johan saja. Maka kami memutuskan untuk bersepeda.
            Tulit… tulit… tulit… suara siomay lewat di depan kami. Aku hanya diam dan memandang saja. Aku ingin beli tetapi tidak membawa uang.
            “Ndi, cepet panggil siomaynya! Ayo kita beli!” teriak Johan sambil mengejar tukang siomay. Aku mengikutinya .
            “Tapi Jo, aku gak bawa uang”, kataku kepada Johan.
            “Mas, beli siomaynya dua ribu ya!” teriak Johan lagi sambil menghampiri penjual somay tanpa memperdulikanku.
            “Makanya Ndi, kamu cepet pulang ambil uang!” lanjut Johan kepadaku.            “Iya, tunggu sebentar aku pulang dulu ambil uang,” kataku sambil mengayuh sepedaku menuju rumahku.
            “Bu… Ibu… dedek minta uang dua ribu!”
            “Dedek! Buat apa uang dua ribu?” tanya Ibu.
            “Itu, Bu… dedek beli siomay belum di bayar. Cepet ya Bu, udah ditunggu”, rengekku.
            “Ya sudah sana gih, di bayar”, kata Ibu agak jengkel padaku.
Beberapa menit kemudian aku pulang lagi.
            “Bu… Bu… beli sate! Cepet Bu, keburu masnya pergi!”
            “Andi! Kamu itu jangan boros! Ibu gak punya duit kalau kamu jajan terus. Di rumah udah Ibu siapin kue, gak usah jajan-jajan lagi!” suara Ibu semakin meninggi.
            “Tapi Bu… Johan udah minta masnya berhenti.”
            “Kamu itu bodoh amat sih jadi bocah! Kamu itu dibodohi sama Johan. Yang minta dia kan, supaya kamu minta duit ke Ibu?” seketika aku diam. Takut memandang wajah Ibuku yang semakin menyeramkan.
            “Ayo jawab!” skata Ibu membentak.
            Aku langsung lari kerumah nenek yang rumahnya hanya bersebelahan dengan rumahku.
            “nek, aku minta duitnya!”
            “minta Ibumu sana, nenekkan tidak kerja. Uang darimana?” kata nenek sambil berjalan tertatih-tatih menghampiriku.
            “Nek, pokoknya minta uangnya!” rengekku.
            “Dedek! Mulai berani ngelawan Ibu ya!” teriak Ibu menghampiriku.
            “Mbok dikasih uang anaknya, masa jajan aja tidak boleh.”
            “Andi nih nakal Bu, udah dibeliin kue masih minta uang dua ribu, ini minta lagi!”
            Kemudian aku diseret pulang kerumah. Aku menangis dan menjerit – jerit karena sampai dirumah ibu mengguyur aku dengan air dingin. Ibu tidak memperdulikan tangis dan jeritku. Berulang kali meminta ampun namun ibu seolah tak mendengarku. Ibu acuh dan semakin memarahiku.
            “Bu, duitnya Bu… hu… hu...” ,kataku disela tangis.
            “Duit… duit! Mau Ibu guyur lagi, Ibu kunci sekalian di kamar mandi sampai besok pagi, mau?” kata ibuku sambil mengangkat gayung berisi air yang siap untuk mengguyurku lagi.
            “Ampun Bu, ampun!” suaraku memelas memohon agar ibu berhenti mengguyurku. Ayahku yang baru pulang dari kantor mendengar kegaduhan didalam rumah kemudian bergegas menghampiri sumber suara.
            “Bu, ada apa ini?” kata Ayahku sambil mengambil gayung dari tangan ibuku.
            “Ini Andi, daritadi minta duit mulu! Dia itu bodoh, mau-maunya dibodohi temannya. Udah gitu, tololnya minta ampun!” ayah tidak menghiraukan ibuku. Dia langsung menggendongku ke kamar dan memakaikan pakaianku. Setelah itu, aku disuruh kerumah mbak Yumi buat belajar seperti biasa. Aku belajar sampai habis adzan isya’.
            Sesampainya di rumah mbak Yumi, aku membuka bukuku. Sebelum itu, mbak Yumi memintaku untuk menyanyikan lagu yang pernah diajarkannya padaku.
            “Ayo nyanyi dulu sebelum belajar, masih inget lagu yang Mbak Yumi ajarin kemarin nggak?” kata mbak Yumi kepadaku.
            “Yang mana?” kataku mengingat-ingat.
            “Ya, pokoknya yang Mbak ajri kemarin. Seinget kamu.”
            Ayam chiken… ayam chiken
            Kucing cat… kucing cat
            Tikus itu mouse… tikus itu mouse
            Anjing dog… anjing dog (gubahan dari lagu brother John)
            “Nah, sudah hafal sekarang. Nah, sekarang mulai belajarnya. Yang semangat ya?” aku disuruh membaca buku yang ditunjuk mbak Yumi. Dengan pelan, aku membacanya.
            “Bu… di… s-e-d-a-n-g sedang… ber… main bola” ,kataku riang.
            “Eit… sedang apa? Bacanya sedang bermain bola kah? Hayo diulang lagi.”
            “Eee… iya be-la-ja-r … belajar” ,kataku kemudian.
            “Nah gitu dong .”
            Tak terasa suara adzan isya’ telah berkumandang. Aku segera membereskan buku-ukuku dan mbak Yumi mengantarku pulang. Setiap malam aku belajar dirumah mbak Yumi dan setiap hari mbak Yumi mengantarku pulang.
            Kelinciku kelinciku kau manis sekali
melompat kian kemari sepanjang hari
            Aku ingin menemani sepulang sekolah
            Bersamamu lagi menari-nari
 Itulah lagu yang sering aku dan mbak Yumi nyanyikan saat mengantarku pulang dan kami selalu memperagakannya. Melompat-lompat dan berjingkat-jngkat. Aku senang sekali. Sesampainya dirumah aku langsung disuruh tidur oleh ibuku.
            Tak terasa 1 tahun aku di kelas 1 SD dan inilah saatnya tiba hari penerimaan raport. Orangtuaku datang ke sekolah mengambil raport. Ibuku datang ke sekolah dengan perasaan was-was karena tahu bagaimana nilai-nilaiku saat ulangan. Nilaiku tertinggi hanya 6 dan terendah 1. Sungguh nilai- nilai yang sangat mengerikan, sengeri wajah ibuku.
Sesampainya di rumah, ibuku memberitahu bahwa aku tidak naik kelas. Aku sedih sekali saat itu. Tapi ibuku tetap menguatkanku.
Saat maghrib tiba, seperti biasa aku kerumah mbak Yumi untuk belajar. tidak ada hari libur untuk belajar di rumah mbak yumi. Aku pun menurut saja ketika Ibu menyuruhku belajar. Akupun tidak hafal nama-nama hari. Jadi, aku tidak mengenal hari minggu dan libur belajar. Saat aku lewat di depan rumah nenek, aku berhenti karena mendengar nenek membicarakanku.
“Andi tuh bodoh sekali, sekarang aja dia tidak naik kelas. orang tuanya tidak mau mengajarinya” ,kata nenek kepada tamunya yang datang dari jauh. Saat itu ada mbak Yumi juga. Dia menghampiriku dan membelaku.
“Nek, Andi tidak bodoh. Dia umurnya memang belum  matang dan maklum saja kalau tidak naik kelas”.
Kemudian mbak Yumi mengajakku ke rumah. Seakan mengerti dengan keadaanku, malam itu mbak Yumi hanya menasehatiku dan menguatkanku bahwa semua belum terlambat. Mbak Yumi bilang umurku belum matang dan belajarku masih kurang. Aku juga sadar akan hal itu. Akupun belum bisa membedakan warna. Selalu saja salah menebak. Yang aku tahu hanyalah warna merah saja.
Teman-teman di sekolah selalu mengataiku botol, aku selalu bertanya-tanya dalam hati dan sampai sekarang aku tidak tahu maksudnya. Apa benar, karena tubuhku? Atau ada hal lain. Mbak Yumi membuyarkan lamunanku.
“Hey… kok ngelamun. Ada apa? Jangan sedih gitu dong, tunjukin kalau kamu bisa menjadi orang yang berprestasi”, kata mbak Yumi.
“Sekarang, kamu akan memiliki teman-teman baru, mbak harap kamu bisa memulai semangat baru” ,kata Mbak Yumi lagi.
“Yahh, gak bisa bareng teman-teman lagi. Tapi gakpapa deh, jadi gak ada yang ngatain aku botol lagi”, kataku senang.
“Botol?”
“Iya. Setiap aku gak bisa jawab pertanyaan dari guru atau lagi ngapain aja, mereka selalu mengataiku botol.”
“Ohh… tunjukin kalau kamu bukan botol lagi, tapi seorang Andi yang berprestasi.”
Aku berfikir, apa maksud mbak Yumi? Dan apa hubungan botol dengan berprestasi? Kataku dalam hati.
“Mbak, yang di maksud botol itu apa sih? Bukan karena tubuhku yang mirip botol kan?” ,kataku penasaran.
Mbak Yumi tidak menjawab dan hanya tersenyum.
***
Di tulis ketika SMA kelas 2 untuk menuntaskan tugas Bahasa IndonesiaJ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar