oleh: Nin Wahyuni

Di tengah derasnya hujan,
tanganku menengadah, menampung ribuan hujan yang mendarat di tanganku.
Kupejamkan mataku, untuk merasakan kehadirannya—seseorang yang selalu
kurindukan.
Suara tawa itu, suara tawa yang
sangat kukenal, suara yang kurindukan itu hadir kembali. Seperti halnya dulu,
tanganku ditarik untuk berlari menembus hujan.
“Nayla! Sadar, Nak. Kamu hampir
terjerembab dari kursi rodamu,” teriak Ibu menghampiri dan memelukku.
“Nak, hampir 3 tahun kamu diam.
Hampir 3 tahun Ibu tak mendengar tawa ceriamu. Hampir 3 tahun kamu memasung
dirimu di kursi roda ini. Ibu merindukanmu, Nak. Ikhlaskan dia,” bujuk Ibu
dalam tangisnya sembari memelukku.
Mana mungkin aku melupakannya. Dia adalah orang yang selalu menghiasi hidupku dengan keceriaan. Aku diam memandangi ribuan hujan berjatuhan dihadapanku. Seulas senyumku menyimpul. Hujan itu menghadirkannya lagi. Perlahan aku terhanyut dalam lamunan.
Mana mungkin aku melupakannya. Dia adalah orang yang selalu menghiasi hidupku dengan keceriaan. Aku diam memandangi ribuan hujan berjatuhan dihadapanku. Seulas senyumku menyimpul. Hujan itu menghadirkannya lagi. Perlahan aku terhanyut dalam lamunan.
“Nay, ayo balapan lari!” teriak
seseorang di tengah derasnya hujan.
“Nanti sakit!” balasku. Aku
tetap berada di teras rumah sambil menengadah hujan. Dia berlari mendekatiku,
dan menarik tanganku.
“Ayolah, Nay. Aku ingin
bersenang-senang denganmu,” bujuknya. Aku tergoda, kemudian mengikutinya.
Dalam derasnya hujan, dia
menari dengan riang, menggandeng tanganku.
“Nay, aku suka hujan!”
teriaknya mengalahkan derasnya deru hujan. Aku hampir tak mendengar suaranya.
Aku hanya tersenyum melihat keceriaannya. Dia selalu menantangku berlari
menerobos hujan. Aku terbawa untuk terus berlari mengikutinya.
“Tunggu aku!” teriakku
memanggilnya yang kian menjauh. Dia selalu begitu. Meninggalkanku jika aku
mulai terpikat dengan ajakannya. Sosok itu semakin tak terlihat. Ditambah
guyuran hujan yang kian deras menempaku. Hujan mengaburkan penglihatanku,
hingga tak kulihat sosok itu. Mataku terus mencari-cari dimana gerangan dia
berada.
“Lepaskan aku!” rontaku pada
tangan yang membekapku, dan memelukku dari belakang. Tangan itu begitu kuat
mencengkram tubuhku.
“Anda saya culik,” katanya
sambil membulatkan suara. Suara cekikikan dibelakangku membuatku spontan
memukul pantatnya.
“Aduh sakit, Nay,” suara itu
mengaduh.
“oops… sengaja,” ejekku
padanya. Sembari dia memegang pantatnya yang sakit, aku berlari mengejek.
“Ayo kejar aku, katanya
jagoan!” itu suara kemenanganku. Dia bersungut-sungut merasa dicurangi. Kini
giliran dia yang mengejarku. Aku berlari menuruni bukit, menuju lapangan tempat
kami bermain setiap hari—lapangan bola yang tak jauh dari rumah kami—yang
terletak di kaki bukit.
Doarrr…
Petir tiba-tiba menggelegar, membuatku tersentak kaget. Ibu segera memelukku yang ketakutan.
Petir tiba-tiba menggelegar, membuatku tersentak kaget. Ibu segera memelukku yang ketakutan.
“Bu,
Haya mana?” kataku kemudian.
“Haya sudah pergi jauh, Nak. Dia takkan kembali lagi,”
jawab Ibu ditengah isak tangisnya. Air mataku kembali deras membasahi pipi. Aku
tak percaya Haya telah pergi. Ibu menceritakan kejadian naas yang menimpa Haya,
sahabatku. Ia hanyut bersama derasnya arus sungai ketika hujan turun dengan
lebatnya. Tangisku semakin tersedu, semakin membuat dadaku terasa sesak.
Bukankah saat itu aku bersamanya? Bukankah aku yang melihat bagaimana
perjuangannya menggapai ranting pohon itu? Sedangkan aku hanya diam menyaksikan
perjuangannya melawan maut. Aku tak bisa menyelamatkan sahabatku sendiri. Aku
gagal. Bahkan berteriak meminta tolongpun aku tak mampu. Seakan hujan siang itu
membuat mulutku terkunci rapat.
Hari itu, adalah hari yang tak
pernah kuinginkan—yaitu hari terakhir hujan menempa tubuhku.
Haya, mengapa begitu sulit
melupakan namamu di hatiku. Kau adalah sahabat yang tak pernah lekang dari
ingatanku. Haya, bahkan hujan sekalipun tak mampu menghapus bayanganmu. Maafkan
aku, Haya. Maafkan aku yang begitu pengecut hari itu, yang membuatku
kehilanganmu. Bahkan rasa bersalah itu terus membayangiku.
“Nayla rindu Hayatina,” kataku
kemudian. Dengan tersedu, Ibu semakin erat memelukku. Membuat dinginnya hujan
tak mampu menembus hangat pelukan Ibu. Ibu begitu bahagia mendengarku mulai
bersuara.
Hujan
kerinduan itu akan selalu tersimpan di hatiku. Ini adalah tentang kita—aku,
kamu, dan hujan. Semua tentang kita, Haya. Hujan menghadirkanmu kembali untuk
bercerita tentang kita.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar