Senin, 26 Oktober 2015

Hujan Kerinduan

  oleh: Nin Wahyuni

Aku termenung memandangi guyuran hujan yang menghujam bumi. Mataku berusaha menerobos jajaran hujan yang berbaris rapi, dimana tersimpan kenangan akan sebuah kerinduan. Bayangan itu kembali hadir—seseorang yang menciptakan kenangan tentang hujan.
Di tengah derasnya hujan, tanganku menengadah, menampung ribuan hujan yang mendarat di tanganku. Kupejamkan mataku, untuk merasakan kehadirannya—seseorang yang selalu kurindukan.
Suara tawa itu, suara tawa yang sangat kukenal, suara yang kurindukan itu hadir kembali. Seperti halnya dulu, tanganku ditarik untuk berlari menembus hujan.
“Nayla! Sadar, Nak. Kamu hampir terjerembab dari kursi rodamu,” teriak Ibu menghampiri dan memelukku.
“Nak, hampir 3 tahun kamu diam. Hampir 3 tahun Ibu tak mendengar tawa ceriamu. Hampir 3 tahun kamu memasung dirimu di kursi roda ini. Ibu merindukanmu, Nak. Ikhlaskan dia,” bujuk Ibu dalam tangisnya sembari memelukku.

    Mana mungkin aku melupakannya. Dia adalah orang yang selalu menghiasi hidupku dengan keceriaan. Aku diam memandangi ribuan hujan berjatuhan dihadapanku. Seulas senyumku menyimpul. Hujan itu menghadirkannya lagi. Perlahan aku terhanyut dalam lamunan.
“Nay, ayo balapan lari!” teriak seseorang di tengah derasnya hujan.
“Nanti sakit!” balasku. Aku tetap berada di teras rumah sambil menengadah hujan. Dia berlari mendekatiku, dan menarik tanganku.
“Ayolah, Nay. Aku ingin bersenang-senang denganmu,” bujuknya. Aku tergoda, kemudian mengikutinya.
Dalam derasnya hujan, dia menari dengan riang, menggandeng tanganku.
“Nay, aku suka hujan!” teriaknya mengalahkan derasnya deru hujan. Aku hampir tak mendengar suaranya. Aku hanya tersenyum melihat keceriaannya. Dia selalu menantangku berlari menerobos hujan. Aku terbawa untuk terus berlari mengikutinya.
“Tunggu aku!” teriakku memanggilnya yang kian menjauh. Dia selalu begitu. Meninggalkanku jika aku mulai terpikat dengan ajakannya. Sosok itu semakin tak terlihat. Ditambah guyuran hujan yang kian deras menempaku. Hujan mengaburkan penglihatanku, hingga tak kulihat sosok itu. Mataku terus mencari-cari dimana gerangan dia berada.
“Lepaskan aku!” rontaku pada tangan yang membekapku, dan memelukku dari belakang. Tangan itu begitu kuat mencengkram tubuhku.
“Anda saya culik,” katanya sambil membulatkan suara. Suara cekikikan dibelakangku membuatku spontan memukul pantatnya.
“Aduh sakit, Nay,” suara itu mengaduh.
oops… sengaja,” ejekku padanya. Sembari dia memegang pantatnya yang sakit, aku berlari mengejek.
“Ayo kejar aku, katanya jagoan!” itu suara kemenanganku. Dia bersungut-sungut merasa dicurangi. Kini giliran dia yang mengejarku. Aku berlari menuruni bukit, menuju lapangan tempat kami bermain setiap hari—lapangan bola yang tak jauh dari rumah kami—yang terletak di kaki bukit.
                              Doarrr…
                        Petir tiba-tiba menggelegar, membuatku tersentak kaget. Ibu segera memelukku yang              ketakutan.
                       “Bu, Haya mana?” kataku kemudian.
                 “Haya sudah pergi jauh, Nak. Dia takkan kembali lagi,” jawab Ibu ditengah isak tangisnya. Air mataku kembali deras membasahi pipi. Aku tak percaya Haya telah pergi. Ibu menceritakan kejadian naas yang menimpa Haya, sahabatku. Ia hanyut bersama derasnya arus sungai ketika hujan turun dengan lebatnya. Tangisku semakin tersedu, semakin membuat dadaku terasa sesak. Bukankah saat itu aku bersamanya? Bukankah aku yang melihat bagaimana perjuangannya menggapai ranting pohon itu? Sedangkan aku hanya diam menyaksikan perjuangannya melawan maut. Aku tak bisa menyelamatkan sahabatku sendiri. Aku gagal. Bahkan berteriak meminta tolongpun aku tak mampu. Seakan hujan siang itu membuat mulutku terkunci rapat.
Hari itu, adalah hari yang tak pernah kuinginkan—yaitu hari terakhir hujan menempa tubuhku.
Haya, mengapa begitu sulit melupakan namamu di hatiku. Kau adalah sahabat yang tak pernah lekang dari ingatanku. Haya, bahkan hujan sekalipun tak mampu menghapus bayanganmu. Maafkan aku, Haya. Maafkan aku yang begitu pengecut hari itu, yang membuatku kehilanganmu. Bahkan rasa bersalah itu terus membayangiku.
“Nayla rindu Hayatina,” kataku kemudian. Dengan tersedu, Ibu semakin erat memelukku. Membuat dinginnya hujan tak mampu menembus hangat pelukan Ibu. Ibu begitu bahagia mendengarku mulai bersuara.
Hujan kerinduan itu akan selalu tersimpan di hatiku. Ini adalah tentang kita—aku, kamu, dan hujan. Semua tentang kita, Haya. Hujan menghadirkanmu kembali untuk bercerita tentang kita.
***




                               

Tidak ada komentar:

Posting Komentar