Rabu, 07 Desember 2016

Untukmu Ibu: Kasih Tak Kenal Usai


Hari ini hujan berjatuhan, tanda Tuhan melimpahkan rahmat-Nya
Hari dimana aku ingin merapal doa untuk orang terkasihku.
Malaikat yang dikirim Tuhan untuk melahirkanku, merawatku, dan membimbingku mengenal-Nya.

 Kasih tak kenal usai.
Jiwa raga, seluruh waktu, dan seluruh hidupnya telah ia berikan untukku. Yang tersisa hanyalah wajah lelah yang kulihat kala lelapnya.

Kasih tak kenal usai.
Setetes darah yang tak pernah tergantikan, demi menghadirkanku melihat indahnya dunia. Merasakan segarnya udara pagi. Juga, indahnya cahaya iman yang kini memenuhi ruang gelap hatiku.

Kusebut engkau Ibu.
Malaikat bercahaya dengan sayap tak terlihat. Memelukku kala dingin. Melindungiku kala terik. Juga menjagaku dalam doamu usai sholat. Dalam sujud panjangmu dan air mata yang tak pernah terlihat olehku. Tapi, aku percaya dalam setiap tangkup tanganmu menengadah tak pernah lupakan namaku. Tak pernah jarimu tak basah oleh air mata.

Ibu…
Jika tak sadar lidah ini menggores hatimu, menyakitimu, mengecewakanmu, maafkanlah.
Jika tak sadar lidah ini mengomel, membentak, atau berkata ahh, maafkanlah.
Jika tak sadar telinga ini pura-pura tak mendengar perintahmu, maafkanlah.
Jika tak sengaja hati ini kesal dan marah, ampunilah.

Ibu…
 Sungguh, seberapapun aku berjuang mengembalikan seluruh hutang budiku, aku takkan sanggup. Setetes darahmu pun takkan bisa kugantikan.

Ibu…
Ajarkanku setegar dirimu. Sekuat bahumu yang menopang tubuhku kala kecil.
Ajarkanku tetap tersenyum tanpa keluah kesah, walau lelah.
Ajarkan aku agar secerdas dirimu untuk mendidik anak-anakku.

Ibu…
Kenalkan aku menjadi sosok penuh kasih tanpa lelah. Sepertimu…



***Bantul, 7 Desember 2016—disaat lelahnya skripsi, ingat ibu di rumah***

cerbung: Cerita Hujan


            Entah, hujan begitu indah untukku. Mengalirkan kesegaran dan kesejukan dari penat. Mengembaikan lagi harapanku yang lekang. Disitu, wajah yang tak ingin kuiingat kembali terbayang.
            Ya, kau datang. Dalam bayangan pada hujan. Tetes air yang merasuk jiwa seolah menyusupkan rindu akan hadirmu. Dan kau, seolah tahu gema rinduku.
            “Akhirnya aku menemukanmu disini.” Sontak suara itu membuatku kaget. Antara girang dan bingung berpadu dalam ruang rindu di sudut hati.
            “Aku mendengar bisikan,” katamu dengan pandangan misterius kearahku. Aku gugup dan melempar jauh pandanganku. Menghindari mata buasmu.
            “Apa benar kau merindukanku? Menyebut namaku?” katamu lagi sambil terus menyusur arah pandang mataku.
            “Mmmm…apaan sih. Enggak!” ketusku dengan segera meninggalkannya. Rasanya ingin berlari menjauh sejauh-jauhnya. Berteriak sekencangnya berlomba diantara gemuruh hujan.
            Segala yang tersimpan dalam hati seolah sudah terbaca. Bahwa aku, mulai merindukan sosok misterius itu. Yang selalu hadir ketika hujan berjatuhan menempa bumi. Seakan hujan benar dengan rahmatnya. Hadir dengan segala keindahan.

            Dia selalu ada dalam setiap hujanku. Dan aku berharap, cerita hujan—antara aku dan dia tak memiliki akhir. 

***Bagian 3***

cerbung: Ruang Perpustakaan



            Bukkk…
            Buku yang kupegang terjatuh di lantai. Ketika akan kuambil, ada tangan yang mendahuluiku.              Dia sodorkan buku itu padaku.
            “Terimakasih,” kataku singkat, tanpa menoleh pada orang itu.
            “Suka ke Perpustakaan?”
            “iya.”
            “Kenapa tak melihat kearahku sedikitpun?” protes orang itu.
            “Karena aku tahu kamu akan menggangguku lagi.”
            “Baiklah,” katamu sambil berlalu. Kau membalikkan badan memunggungiku.
            “Azzahra Khansa. Nama yang bagus,” katamu mengehentikan langkah. Mendengar namaku                 disebut, aku menoleh. Melempar pandang kearahmu dengan heran.
            “Dari mana kamu tahu namaku?” tanyaku heran.

            “Dari bordir nama di pucuk bajumu,” katamu dengan senyum miseriusmu. Kemudian berlalu.               Menghilang diantara rak-rak buku. 

                  ***Bagian 2***

Cerbung:Pertemuan



Hari ini langit menjatuhkan barisan hujan. Deras. Seperti kebiasaanku—menangkup hujan dengan tanganku, sembari berdoa.
“Suka hujan juga?” kata seseorang disampingku.
“Iya,” jawabku singkat tanpa menoleh.
“Kenapa suka hujan?”
“Karena Tuhan sedang melimpahkan rahmat-Nya. Aku ingin menangkup sebanyak-banyaknya kasih sayang dan kehadiran-Nya,” kataku sambil memandang tanganku yang tertetesi air hujan.
“Aku juga suka hujan,” kata orang itu lagi.
“Hujan membawaku bertemu denganmu,” katanya lagi. Reflek aku menoleh padanya dengan tatapan terusik.
“Apa maksudmu?”
Kau hanya tersenyum sekenanya. Memandangku lekat, kemudian melempar pandangan kearah hujan. Menangkup hujan seperti yang aku lakukan tadi. Kemudian menoleh lagi kearahku. Aku menunduk.
“Tuhan telah mempertemukan kita. Mungkin ini satu doamu terjawab, diantara doa-doa lain yang kau panjatkan,” katamu lagi sambil menadah hujan, hingga lengan jaketmu basah oleh hujan.
“Pertemuan yang indah dalam barisan hujan,” katamu lagi. Kemudian berlalu. Meninggalkanku yang pasi.

***Bagian 1***