“Perjuangan Pemuda Berkebutuhan Khusus Melampaui
Keterbatasan”
oleh:Nin Wahyuni
Buku ini mengisahkan tentang
perjuangan seorang Ammar Bugis, pemuda asal Jeddah, Arab Saudi melawan
keterbatasannya. Ia lahir tanggal 22 Oktober 1986. Nama Bugis diambil dari
kakek buyutnya yang berasal dari Sulawesi. Buyut Ammar, Syaikh Abdul Mutholib
Bugis”hijrah” dari Sulawesi ke Mekkah dan mengajar Tafsir di Masjidil Haram.
Allah menganugrahi Ammar kelumpuhan total kecuali lidah dan mata sejak usianya
menginjak dua bulan. Namun lidahnya sangat fasih berbicara dan otaknya sangat
cemerlang. Ia menjadi seorang jurnalis yang tanpa menggunakan alat perekam.
Satu-satunya alat yang ia gunakan adalah ketajaman ingatannya. Masya Allah.
Buku ini dengan judul aslinya “Qahir
al-Mustahil” menceritakan kepada pembaca bahwa orang berkebutuhan khusus
bukanlah sampah dan orang yang terpinggirkan. Dalam sebuah acara, yaitu
konferensi Internasional lll dimana acara tersebut hadir delegasi 32 negara
dari seluruh Negara dari seluruh dunia sebagai perwakilan kalangan berkebutuhan
khusus yang berkiprah diberbagai bidang, Ammar menjadi juru bicara. Ia
menyampaikan perjalanan hidupnya, yang kemudian ditutup dengan kata-kata:”saya
seorang muslim. Saya seorang Saudi. Jadi, saya bukan orang cacat.”
Saya selalu mendayagunakan pengalaman
kesuksesan saya untuk menyelesaikan misi yang saya pikul di pundak saya, yaitu
berupa cacat fisik yang sama sekali tidak pernah menjadi cacat tekad dan cacat
inovasi. Karena cacat yang sesungguhnya adalah cacat tekad, cacat cita-cita,
dan sikap menyerah pada keadaan, tanpa pernah melawan dan membiarkan hidup
dalam penderitaan.
Ammar Bugis
Ammar tak pernah menyesali
berlarut-larut kecacatan fisiknya, justru dia semakin bertekad mengerahkan
segala potensi yang dimilikinya untuk membuktikan bahwa dirinya”ada”. Berbagai
rintangan dalam hidupnya telah memberinya kekuatan untuk terus melangkah. Dari
segala kepahitan itulah, kini Ammar menjadi orang yang luar biasa. Ia
membuktikan kepada kita—orang yang bertubuh normal, bahwa orang berkebutuhan
khususpun bisa melakukan hal-hal yang dilakukan oleh orang normal—bahkan
melebihi apa yang dapat dilakukan oleh orang normal.
Dalam benak kita pasti bertanya-tanya
bagaimana seorang Ammar mampu melakukan itu semua. Kuasa Allah Azza Wa Jalla
sungguh tak pernah diragukan, bahwa bagi-Nya mudah untuk melakukan sesuatu yang
di kehendaki-Nya. Melalui kisah Ammar bugis ini membuka mata kita, bahwa kita
harus menghargai kehadiran orang berkebutuhan khusus disekitar kita. Mereka
adalah orang-orang pilihan Allah yang mampu melengkapi kehidupan kita. Mereka
memiliki hak yang harus dipenuhi seperti hak orang normal pada umumnya.
Sekali lagi, seorang Ammar bukanlah
orang cacat. Hal ini ditegaskan oleh seorang Mufti Kerajaan—seorang tunanetra,
yang mengatakan, “orang ini bukan cacat. Karena seorang penghafal Al-Qur’an
bukanlah orang cacat. Orang cacat yang sebenarnya adalah orang yang tidak mau
menghafal dan merenungi ayat-ayat Allah azza wa jalla!”. Ammar adalah
seorang hafidz. Ia hafal 30 juz ketika umurnya 13 tahun.
Ammar berprestasi di semua jenjang
pendidikan. Ia lulus cum laude di jurusan jurnalistik dan menjadi
lulusan terbaik di kampusnya, wartawan olahraga terkenal, dan memiliki keluarga
kecil. Dengan keimanan dan tekad yang kuat dalam dirinya, ia mampu menakhlukkan
kemustahilan dalam dirinya.
Dalam hidup Ammar, bukan tidak
mungkin jika banyak kesulitan dalam dirinya. Bahkan dalam kehidupan
kita—sebagai orang normal, pun selalu mengalami kesulitan. Hanya saja Ammar tak
pernah menyerah. Inilah kisah Ammar Bugis di awal perjalanan hidupnya.
Pada tanggal 22 oktober 1986 lahirlah
seorang Ammar Bugis. Keluarga menyambut kelahirannya dengan bahagia. Bahkan
sangat istimewa bagi neneknya, Jamilah karena ia adalah cucu laki-laki
pertamanya. Ketika ia berumur dua bulan, keluarganya menyadari bahwa kemampuan
gerak tubuhnya menurun, sampai akhirnya ia tak dapat bergerak sama sekali.
Seorang pakar neurologi mengatakan bahwa ia mengidap penyakit langka yang
disebut Werdnig Hoffmann. Gejala penyakit tersebut berupa kelumpuhan total
seluruh saraf yang menyebabkan hilangnya kemampuan bergerak seluruh tubuh
kecuali mata dan lidah. Bahkan salah seorang dokter yang merawatnya mengatakan
bahwa ia tidak akan bertahan hidup lebih dari dua tahun. Namun, ternyata ia
mampu mencapai umur delapan tahun. Hal ini membuktikan bahwa tiada yang mampu
menandingi Sang Maha Pandai dan Sang Maha Mengetahui atas segala sesuatu.
Ammar melalui masa-masa sulit dalam
hidupnya. Ketika ia kanak-kanak, ia mengalami berbagai kesulitan. Ia harus
berkali-kali dirawat di rumah sakit karena selama satu atau dua bulan
disebabkan bermacam gangguan kesehatan seperti penyakit yang menyerang jantung
dan paru-paru. Berbagai macam penyakit itulah ia terpaksa menggunakan alat
bantu pernapasan buatan yang harus digunakan saat tidur selama seumur hidupnya.
Dimasa kanak-kanaknya, sudah tiga
kali ia hampir meninggal. Salah satunya adalah ketika sesak nafasnya kembali
kambuh dalam perjalanan menuju rumah neneknya. Hampir tidak dirasakan detak
jantungnya. Namun tiba-tiba Ambulans datang menghampiri padahal menurut sopir
ambulans tersebut menyatakan baru pertama kali lewat jalan tersebut.
Perjalanan
Akademiknya
Meski dengan kekurangan fisiknya itu,
ia mampu menempuh pendidikan di sekolah umum—bukan Sekolah Luar Biasa. Saat itu
ia berada di Amerika Serikat. Ia tak merasa kesulitan, karena pihak sekolah
menyediakan pendamping pribadi yang bertugas membantunya berpindah ruangan,
mencatat pelajaran dan tugas-tugas sekolah, serta membantu makan dan minum
selama dia berada di sekolah. Namun akhirnya ia jarang masuk sekolah karena
kondisi kesehatan yang kurang baik. Akhirnya ia menjalani sekolahnya secara home
schooling.
Hal tersebut tidak berlangsung lama
karena ketika ia kelas tiga, Ia harus kembali ke Saudi karena ayahnya telah
menyelesaikan gelar doktornya. Disana, Ammar menerima berbagai penolakan. Yang
sangat disayangkan adalah ternyata justru di Negara Islam yang mengakui hak
persamaan derajat, justru tidak memperlakukan Ammar sebagaimana mestinya. Ia
justru mendapat pandangan yang tidak mengenakkan dari berbagai pihak. Namun,
itu tak berlangsung lama karena kakeknya yang menduduki jabatan sebagai wakil
Menteri Urusan Haji dan sekaligus direktur Bidang pendidikan di wilayah Barat Saudi
meminta kepala sekolah Dasar untuk menerimanya di sekolah tersebut.
Meski tidak pernah mengikuti
pelajaran di kelas, kecuali saat tes, ia dapat lulus dengan baik, dengan
peringkat ketiga. Ketika ia melanjutkan ke jenjang menengahpun ia mendapatkan
nilai 96. Suatu prestasi yang menggembirakan dalam hidupnya. Ia adalah sosok
yang pantang menyerah. Kemudian ia melanjutkan ke Universitas King Abdul Aziz. Disana
ia memilih jurusan jurnalistik. Saat itulah ia tidak mendapat sambutan yang
menyenangkan. Ia justru mendapat penolakan keras dari jurusannya. Mereka
meremehka bahwa Ammar tidak bisa melakukan apa-apa dengan kondisi fisik yang ia
alami. Namun begitu, tekad dan keberaniannya tetap membuatnya bertahan meski
berbagai tekanan dari berbagai pihak terus menimpanya. Beberapa dosen bahkan
berusaha untuk menjatuhkannya, dengan memberinya nilai yang tidak sesuai dengan
kemampuannya. Disitulah saat-saat terlemah dalam hidupnya. Ia tak sanggup
mendapat berbagai hinaan lagi. kemudian ia mengambil cuti. Disaat jauh dari
hiruk pikuk kuliah itulah ia menemukan dirinya. Ia mengalami “masa pemulihan”, sebelum
kembali lagi untuk mengikuti kegiatan belajar mengajar di kampus.
Semangat
Baru, Pribadi Baru
Itulah Ammar Bugis. Yang tak mudah
menyerah dengan berbagai kesulitan dalam hidupnya. Selepas keterpurukannya itu,
ia kembali dengan semangat baru, dan pribadi baru. Sebelum lulus kuliah ia
bekerja di harian al-Madinah. Ia kemudian menjadi wartawan olahraga yang
terkenal. Tulisan-tulisannya tertulis dengan bahasa sederhana yang mudah
dipahami, sehingga tulisannya memikat di hati masyarakat pecinta olahraga.
Dalam hidupnya ia memiliki prioritas yaitu, ingin melaksanakan ibadah haji,
memiliki kesempatan untuk bekerja sebagai wartawan olahraga, kemudian yang
terakhir adalah menikah.
Kemudian, semua itu mampu diraih oleh
Ammar. Ia bahkan mendapatkan lebih dari apa yang diinginkannya. Sesuatu yang
mustahil bagi kita, namun tidak bagi Allah. Ia akhirnya menikah dengan Ummu
Yusuf, seorang janda yang memiliki seorang anak bernama Yusuf. Wanita itu
memiliki gelar sarjana bidang komputer Fakultas Perdagangan Universitas Mesir.
Namun saat itu ia bekerja sebagai perawat dipanti jompo dan orang-orang
berkebutuhan khusus.
Bukan tidak mengalami rintangan
ketika ada seseorang yang akhirnya mau menerima segala kekurangannya. Berbagai
pihak menyatakan ketidak setujuannya dengan pernikahan mereka, termasuk kedua
orangtua wanita itu. Berkat rahmat Allah, tak ada yang mampu menghalangi
takdir-Nya. Dua insan itu akhirnya menikah dengan restu dan izin Allah setelah
mengalami proses panjang.
***
Banyak orang yang sempit pemahaman
tentang”pernikahan” yang hanya diartikan sebagai pemenuh kebutuhan biologisnya
saja. Masyarakat sekelilingnya selalu memandangnya sebagai seonggok daging tak
berarti, yang hanya akan menyusahkan. Mereka lupa bahwa pernikahan adalah
mawaddah, rahmah, kestabilan, dan ketenangan sebagaimana yang dinyatakan Allah
dalam firmannya, “ Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia
menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan
merasa tentram padanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang…”
jadi manakah orang yang masih mendustakan ayat tersebut?
***
Itulah sekilas yang mampu saya
ringkaskan. Dengan keterbatasan waktu dan deadline tugas, saya tidak mampu
menyelesaikan dengan maksimal. Tapi semoga dapat membuka wawasan kita dan mampu
memotivasi kita bahwa keterbatasan bukanlah penghalang untuk kita meraih
kesuksesan. Azamkan apa yang ingin kita raih, dan niatkan hanya untuk mendapat
Ridho Allah azza wa Jalla.
Kita yang terlahir dengan normal,
tanpa kurang suatu apapun, jangan pernah sia-siakan kesempatan meraih
kesuksesan. Kesempatan selalu terbentang dihadapan kita, hanya saja apakah kita
mau untuk berlari menghampirinya? Seorang Ammar Bugis adalah satu diantara
sekian manusia berkebutuhan khusus yang tidak hanya menunggu nasib
menghampirinya. Justru mereka dengan segala upaya berlari menjemput kesuksesan
itu—meski tanpa kaki, tanpa tangan. Mereka saja mampu, kenapa kita enggak? Bahkan
seperti yang sudah kita tahu seorang penulis internasional, Helen Keller,
seorang tunanetra dan tunarungu, mampu menembus kemustahilan. Masih banyak
sekali bukti nyata bahwa kekurangan fisik bukanlah penghalang untuk meraih
sukses. Apalagi untuk kita yang terlahir normal. Hanya saja, terkadang kita
terlalu memenjarakan pikiran kita dan mengatakan “itu tidak mungkin saya
lakukan” padahal tak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Ayolah kawan kita
lawan pikiran-pikiran negative yang mendoktrin kita untuk ‘stagnan’. Kita memiliki potensi yang sama untuk mencapai
puncak kebahagiaan dalam hidup kita. Lakukan yang terbaik dalam hidupmu. Jangan
menyerah, teruslah berusaha. Hidup itu singkat, waktu itu cepat berlalu. So,
masihkah ada kata “nanti, besok, sebentar lagi,dsb?” kesuksesan tak pernah
membutuhkan kata-kata itu. Karena hidup adalah kesempatan emas yang cepat menghilang.
Untuk itu, maksimalkan potensi yang ada dalam dirimu untuk melakukan sesuatu
yang berarti.
We are the best, and we must do
the best!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar