Rabu, 24 Juni 2015

Review: Penakhluk Kemustahilan



“Perjuangan Pemuda Berkebutuhan Khusus Melampaui Keterbatasan”
oleh:Nin Wahyuni

Buku ini mengisahkan tentang perjuangan seorang Ammar Bugis, pemuda asal Jeddah, Arab Saudi melawan keterbatasannya. Ia lahir tanggal 22 Oktober 1986. Nama Bugis diambil dari kakek buyutnya yang berasal dari Sulawesi. Buyut Ammar, Syaikh Abdul Mutholib Bugis”hijrah” dari Sulawesi ke Mekkah dan mengajar Tafsir di Masjidil Haram. Allah menganugrahi Ammar kelumpuhan total kecuali lidah dan mata sejak usianya menginjak dua bulan. Namun lidahnya sangat fasih berbicara dan otaknya sangat cemerlang. Ia menjadi seorang jurnalis yang tanpa menggunakan alat perekam. Satu-satunya alat yang ia gunakan adalah ketajaman ingatannya. Masya Allah.
Buku ini dengan judul aslinya “Qahir al-Mustahil” menceritakan kepada pembaca bahwa orang berkebutuhan khusus bukanlah sampah dan orang yang terpinggirkan. Dalam sebuah acara, yaitu konferensi Internasional lll dimana acara tersebut hadir delegasi 32 negara dari seluruh Negara dari seluruh dunia sebagai perwakilan kalangan berkebutuhan khusus yang berkiprah diberbagai bidang, Ammar menjadi juru bicara. Ia menyampaikan perjalanan hidupnya, yang kemudian ditutup dengan kata-kata:”saya seorang muslim. Saya seorang Saudi. Jadi, saya bukan orang cacat.”
     
Saya selalu mendayagunakan pengalaman kesuksesan saya untuk menyelesaikan misi yang saya pikul di pundak saya, yaitu berupa cacat fisik yang sama sekali tidak pernah menjadi cacat tekad dan cacat inovasi. Karena cacat yang sesungguhnya adalah cacat tekad, cacat cita-cita, dan sikap menyerah pada keadaan, tanpa pernah melawan dan membiarkan hidup dalam penderitaan.
Ammar Bugis

Ammar tak pernah menyesali berlarut-larut kecacatan fisiknya, justru dia semakin bertekad mengerahkan segala potensi yang dimilikinya untuk membuktikan bahwa dirinya”ada”. Berbagai rintangan dalam hidupnya telah memberinya kekuatan untuk terus melangkah. Dari segala kepahitan itulah, kini Ammar menjadi orang yang luar biasa. Ia membuktikan kepada kita—orang yang bertubuh normal, bahwa orang berkebutuhan khususpun bisa melakukan hal-hal yang dilakukan oleh orang normal—bahkan melebihi apa yang dapat dilakukan oleh orang normal.
Dalam benak kita pasti bertanya-tanya bagaimana seorang Ammar mampu melakukan itu semua. Kuasa Allah Azza Wa Jalla sungguh tak pernah diragukan, bahwa bagi-Nya mudah untuk melakukan sesuatu yang di kehendaki-Nya. Melalui kisah Ammar bugis ini membuka mata kita, bahwa kita harus menghargai kehadiran orang berkebutuhan khusus disekitar kita. Mereka adalah orang-orang pilihan Allah yang mampu melengkapi kehidupan kita. Mereka memiliki hak yang harus dipenuhi seperti hak orang normal pada umumnya.
Sekali lagi, seorang Ammar bukanlah orang cacat. Hal ini ditegaskan oleh seorang Mufti Kerajaan—seorang tunanetra, yang mengatakan, “orang ini bukan cacat. Karena seorang penghafal Al-Qur’an bukanlah orang cacat. Orang cacat yang sebenarnya adalah orang yang tidak mau menghafal dan merenungi ayat-ayat Allah azza wa jalla!”. Ammar adalah seorang hafidz. Ia hafal 30 juz ketika umurnya 13 tahun.
Ammar berprestasi di semua jenjang pendidikan. Ia lulus cum laude di jurusan jurnalistik dan menjadi lulusan terbaik di kampusnya, wartawan olahraga terkenal, dan memiliki keluarga kecil. Dengan keimanan dan tekad yang kuat dalam dirinya, ia mampu menakhlukkan kemustahilan dalam dirinya.
Dalam hidup Ammar, bukan tidak mungkin jika banyak kesulitan dalam dirinya. Bahkan dalam kehidupan kita—sebagai orang normal, pun selalu mengalami kesulitan. Hanya saja Ammar tak pernah menyerah. Inilah kisah Ammar Bugis di awal perjalanan hidupnya.


Semua Berawal Di Sini

Pada tanggal 22 oktober 1986 lahirlah seorang Ammar Bugis. Keluarga menyambut kelahirannya dengan bahagia. Bahkan sangat istimewa bagi neneknya, Jamilah karena ia adalah cucu laki-laki pertamanya. Ketika ia berumur dua bulan, keluarganya menyadari bahwa kemampuan gerak tubuhnya menurun, sampai akhirnya ia tak dapat bergerak sama sekali. Seorang pakar neurologi mengatakan bahwa ia mengidap penyakit langka yang disebut Werdnig Hoffmann. Gejala penyakit tersebut berupa kelumpuhan total seluruh saraf yang menyebabkan hilangnya kemampuan bergerak seluruh tubuh kecuali mata dan lidah. Bahkan salah seorang dokter yang merawatnya mengatakan bahwa ia tidak akan bertahan hidup lebih dari dua tahun. Namun, ternyata ia mampu mencapai umur delapan tahun. Hal ini membuktikan bahwa tiada yang mampu menandingi Sang Maha Pandai dan Sang Maha Mengetahui atas segala sesuatu.
Ammar melalui masa-masa sulit dalam hidupnya. Ketika ia kanak-kanak, ia mengalami berbagai kesulitan. Ia harus berkali-kali dirawat di rumah sakit karena selama satu atau dua bulan disebabkan bermacam gangguan kesehatan seperti penyakit yang menyerang jantung dan paru-paru. Berbagai macam penyakit itulah ia terpaksa menggunakan alat bantu pernapasan buatan yang harus digunakan  saat tidur selama seumur hidupnya.
Dimasa kanak-kanaknya, sudah tiga kali ia hampir meninggal. Salah satunya adalah ketika sesak nafasnya kembali kambuh dalam perjalanan menuju rumah neneknya. Hampir tidak dirasakan detak jantungnya. Namun tiba-tiba Ambulans datang menghampiri padahal menurut sopir ambulans tersebut menyatakan baru pertama kali lewat jalan tersebut. 

Perjalanan Akademiknya

Meski dengan kekurangan fisiknya itu, ia mampu menempuh pendidikan di sekolah umum—bukan Sekolah Luar Biasa. Saat itu ia berada di Amerika Serikat. Ia tak merasa kesulitan, karena pihak sekolah menyediakan pendamping pribadi yang bertugas membantunya berpindah ruangan, mencatat pelajaran dan tugas-tugas sekolah, serta membantu makan dan minum selama dia berada di sekolah. Namun akhirnya ia jarang masuk sekolah karena kondisi kesehatan yang kurang baik. Akhirnya ia menjalani sekolahnya secara home schooling.
Hal tersebut tidak berlangsung lama karena ketika ia kelas tiga, Ia harus kembali ke Saudi karena ayahnya telah menyelesaikan gelar doktornya. Disana, Ammar menerima berbagai penolakan. Yang sangat disayangkan adalah ternyata justru di Negara Islam yang mengakui hak persamaan derajat, justru tidak memperlakukan Ammar sebagaimana mestinya. Ia justru mendapat pandangan yang tidak mengenakkan dari berbagai pihak. Namun, itu tak berlangsung lama karena kakeknya yang menduduki jabatan sebagai wakil Menteri Urusan Haji dan sekaligus direktur Bidang pendidikan di wilayah Barat Saudi meminta kepala sekolah Dasar untuk menerimanya di sekolah tersebut.
Meski tidak pernah mengikuti pelajaran di kelas, kecuali saat tes, ia dapat lulus dengan baik, dengan peringkat ketiga. Ketika ia melanjutkan ke jenjang menengahpun ia mendapatkan nilai 96. Suatu prestasi yang menggembirakan dalam hidupnya. Ia adalah sosok yang pantang menyerah. Kemudian ia melanjutkan ke Universitas King Abdul Aziz. Disana ia memilih jurusan jurnalistik. Saat itulah ia tidak mendapat sambutan yang menyenangkan. Ia justru mendapat penolakan keras dari jurusannya. Mereka meremehka bahwa Ammar tidak bisa melakukan apa-apa dengan kondisi fisik yang ia alami. Namun begitu, tekad dan keberaniannya tetap membuatnya bertahan meski berbagai tekanan dari berbagai pihak terus menimpanya. Beberapa dosen bahkan berusaha untuk menjatuhkannya, dengan memberinya nilai yang tidak sesuai dengan kemampuannya. Disitulah saat-saat terlemah dalam hidupnya. Ia tak sanggup mendapat berbagai hinaan lagi. kemudian ia mengambil cuti. Disaat jauh dari hiruk pikuk kuliah itulah ia menemukan dirinya. Ia mengalami “masa pemulihan”, sebelum kembali lagi untuk mengikuti kegiatan belajar mengajar di kampus.

Semangat Baru, Pribadi Baru

Itulah Ammar Bugis. Yang tak mudah menyerah dengan berbagai kesulitan dalam hidupnya. Selepas keterpurukannya itu, ia kembali dengan semangat baru, dan pribadi baru. Sebelum lulus kuliah ia bekerja di harian al-Madinah. Ia kemudian menjadi wartawan olahraga yang terkenal. Tulisan-tulisannya tertulis dengan bahasa sederhana yang mudah dipahami, sehingga tulisannya memikat di hati masyarakat pecinta olahraga. Dalam hidupnya ia memiliki prioritas yaitu, ingin melaksanakan ibadah haji, memiliki kesempatan untuk bekerja sebagai wartawan olahraga, kemudian yang terakhir adalah menikah.
Kemudian, semua itu mampu diraih oleh Ammar. Ia bahkan mendapatkan lebih dari apa yang diinginkannya. Sesuatu yang mustahil bagi kita, namun tidak bagi Allah. Ia akhirnya menikah dengan Ummu Yusuf, seorang janda yang memiliki seorang anak bernama Yusuf. Wanita itu memiliki gelar sarjana bidang komputer Fakultas Perdagangan Universitas Mesir. Namun saat itu ia bekerja sebagai perawat dipanti jompo dan orang-orang berkebutuhan khusus.
Bukan tidak mengalami rintangan ketika ada seseorang yang akhirnya mau menerima segala kekurangannya. Berbagai pihak menyatakan ketidak setujuannya dengan pernikahan mereka, termasuk kedua orangtua wanita itu. Berkat rahmat Allah, tak ada yang mampu menghalangi takdir-Nya. Dua insan itu akhirnya menikah dengan restu dan izin Allah setelah mengalami proses panjang.
***
Banyak orang yang sempit pemahaman tentang”pernikahan” yang hanya diartikan sebagai pemenuh kebutuhan biologisnya saja. Masyarakat sekelilingnya selalu memandangnya sebagai seonggok daging tak berarti, yang hanya akan menyusahkan. Mereka lupa bahwa pernikahan adalah mawaddah, rahmah, kestabilan, dan ketenangan sebagaimana yang dinyatakan Allah dalam firmannya, “ Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram padanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang…” jadi manakah orang yang masih mendustakan ayat tersebut?
***
Itulah sekilas yang mampu saya ringkaskan. Dengan keterbatasan waktu dan deadline tugas, saya tidak mampu menyelesaikan dengan maksimal. Tapi semoga dapat membuka wawasan kita dan mampu memotivasi kita bahwa keterbatasan bukanlah penghalang untuk kita meraih kesuksesan. Azamkan apa yang ingin kita raih, dan niatkan hanya untuk mendapat Ridho Allah azza wa Jalla.
Kita yang terlahir dengan normal, tanpa kurang suatu apapun, jangan pernah sia-siakan kesempatan meraih kesuksesan. Kesempatan selalu terbentang dihadapan kita, hanya saja apakah kita mau untuk berlari menghampirinya? Seorang Ammar Bugis adalah satu diantara sekian manusia berkebutuhan khusus yang tidak hanya menunggu nasib menghampirinya. Justru mereka dengan segala upaya berlari menjemput kesuksesan itu—meski tanpa kaki, tanpa tangan. Mereka saja mampu, kenapa kita enggak? Bahkan seperti yang sudah kita tahu seorang penulis internasional, Helen Keller, seorang tunanetra dan tunarungu, mampu menembus kemustahilan. Masih banyak sekali bukti nyata bahwa kekurangan fisik bukanlah penghalang untuk meraih sukses. Apalagi untuk kita yang terlahir normal. Hanya saja, terkadang kita terlalu memenjarakan pikiran kita dan mengatakan “itu tidak mungkin saya lakukan” padahal tak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Ayolah kawan kita lawan pikiran-pikiran negative yang mendoktrin kita untuk ‘stagnan’.  Kita memiliki potensi yang sama untuk mencapai puncak kebahagiaan dalam hidup kita. Lakukan yang terbaik dalam hidupmu. Jangan menyerah, teruslah berusaha. Hidup itu singkat, waktu itu cepat berlalu. So, masihkah ada kata “nanti, besok, sebentar lagi,dsb?” kesuksesan tak pernah membutuhkan kata-kata itu. Karena hidup adalah kesempatan emas yang cepat menghilang. Untuk itu, maksimalkan potensi yang ada dalam dirimu untuk melakukan sesuatu yang berarti.
We are the best, and we must do the best!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar