Senin, 29 Juni 2015

Menembus Kemustahilan



Oleh: Nin Wahyuni


Sesekali kuseka air mata yang terus mengalir di pipiku. Haruskah aku menangis atau bahagia dengan keadaanku saat ini? teriakan demi teriakan terus mengalun di telingaku. Aku tak mengenal mereka—satupun tak ada yang ku kenal. Senyum yang telah lama kusembunyikan, kini tersungging lagi di bibirku.
“Anira!Aniraaaaaa! I love You !!! We are love you!” teriakan dari seberang yang terus menggema di telingaku. Kata-kata yang berhamburan meneriakiku, semakin tak jelas karena berjubel manusia berebut menyambutku. Kini saatnya aku duduk di sebuah ruangan. Aku tak tahu berapa orang yang menemaniku saat itu. Yang aku tahu, Ibu selalu ada disampingku.
        Sepuluh menit aku duduk terdiam dengan sunggingan senyum. Seorang wanita memegang tanganku—Ia bukan Ibuku. Tangannya lembut, tak sekasar ibu. Aku hanya tersenyum ketika tanganku diremas. Kurasakan air mata jatuh di tanganku—orang itu menangis sebelum sempat berkata-kata.
“Sebelum pada inti acara, kita akan memperkenalkan seorang inspirator yang sudah ada dihadapan kita. Anira Qurrata A’yun, seorang penulis tuna netra yang tulisannya menginspirasi kita semua!” teriak wanita itu dengan antusias mengalahkan isak tangisnya. Kudengar tepuk tangan riuh menggetarkan hatiku.
“Apa yang membuat seorang Anira termotivasi untuk menjadi seperti sekarang ini?” kata perempuan itu padaku.
“Baiklah, awalnya saya merasa putus asa dengan keadaan ini. Dunia yang dulu kulihat begitu indah, kini 3 tahun belakangan kulihat hanya gelap. Bahkan untuk melihat diri saya sendiri pun, saya tak mampu. Akhirnya saya mencari celah untuk keluar dari kegelapan. Saya tak ingin terkepung dalam kegelapan dan hidup tanpa rasa, kemudian dengan tangan ini saya ingin membuktikan bahwa saya bisa membuat dunia saya indah kembali,” kataku dengan senyuman.
“Lalu, apa yang membuat Anira tidak bisa melihat?”
Air mata kembali mencair di pipiku. Kurasakan tangan Ibu meraihku, menguatkanku. Kuceritakan, hingga kata-kataku tersendat karena tangisku. Memori 3 tahun lalu kubuka kembali. Tentang sebuah kecelakaan di tangga sekolah yang membuatku kehilangan penglihatan. Tentang sebuah kecelakaan yang disengaja, karena kecemburuan seorang yang kukenal—ia sahabatku sendiri. Ia tak rela melihatku selalu mengunggulinya dalam segala hal. Awalnya aku tak menerima keadaanku. Hingga kurasakan dunia semakin jahat memenjarakan asaku. Akhirnya kutemukan celah bahwa, memaafkan dan berdamai dengan keadaan membuat keindahan itu kembali hadir—walau  dengan cara yang berbeda, dan lebih indah.
Akhirnya keadaan membuatku sadar tentang arti ketidakmampuan, yang membuatku terus belajar. Ketidakmampuan membuatku rajin menghafal tuuts pada keyboard. Hingga aku dapat menari lincah dengan jari-jariku. Inilah caraku memahami diriku dari keterbatasanku.
Jemari inilah yang mengantarkanku menembus ruang kemustahilan, bagi seorang tuna netra sepertiku. Aku menyingkirkan segala prasangkaku kepada Tuhan tentang ketidak adilan. Inilah aku dengan segala kelebihanku—sebagai makhluk istimewa.
Aku bangkit dari dudukku. Kusapa semua kawan-kawanku.
      “Kawan, mungkin aku tak bisa melihat sosok kalian begitupun kalian yang tak bisa melihat sosokku. Tapi, mari kita ulurkan tangan untuk saling menguatkan. Kita tak selemah yang terlihat. Kita adalah makhluk istimewa yang diciptakan Tuhan. Kawan, jangan pernah takut untuk bermimpi karena apa yang ada di dunia ini nothing impossible. Tuhan itu adil dan memiliki kasih kepada semua makhluk-Nya,” kataku mengakhiri jumpa talkshow ‘keterbatasan menjadi tanpa batas’. Kutahu di ruangan itu sedang banjir air mata bahagia. Akupun bahagia membuktikan pada teman-teman tuna netraku bahwa keterbatasan adalah kekuatan untuk melakukan hal-hal lebih.

***
      ***Tanggal 20 April 2015 cerpen ini dikirim ke Kakaye Publishing dengan tema “Impossible, Keterbatasan Menjadi Tanpa Batas”. Masuk dalam 25 antologi cerpen yang dibukukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar