Oleh: Nin Wahyuni
Sesekali kuseka air mata yang terus mengalir di
pipiku. Haruskah aku menangis atau bahagia dengan keadaanku saat ini? teriakan
demi teriakan terus mengalun di telingaku. Aku tak mengenal mereka—satupun tak ada
yang ku kenal. Senyum yang telah lama kusembunyikan, kini tersungging lagi di
bibirku.
“Anira!Aniraaaaaa! I love You !!! We are
love you!” teriakan dari seberang yang terus menggema di telingaku.
Kata-kata yang berhamburan meneriakiku, semakin tak jelas karena berjubel
manusia berebut menyambutku. Kini saatnya aku duduk di sebuah ruangan. Aku tak
tahu berapa orang yang menemaniku saat itu. Yang aku tahu, Ibu selalu ada
disampingku.
Sepuluh
menit aku duduk terdiam dengan sunggingan senyum. Seorang wanita memegang
tanganku—Ia bukan Ibuku. Tangannya lembut, tak sekasar ibu. Aku hanya tersenyum
ketika tanganku diremas. Kurasakan air mata jatuh di tanganku—orang itu
menangis sebelum sempat berkata-kata.
“Sebelum pada inti acara, kita akan memperkenalkan
seorang inspirator yang sudah ada dihadapan kita. Anira Qurrata A’yun, seorang
penulis tuna netra yang tulisannya menginspirasi kita semua!” teriak wanita itu
dengan antusias mengalahkan isak tangisnya. Kudengar tepuk tangan riuh
menggetarkan hatiku.
“Apa yang membuat seorang Anira termotivasi untuk
menjadi seperti sekarang ini?” kata perempuan itu padaku.
“Baiklah, awalnya saya merasa putus asa dengan
keadaan ini. Dunia yang dulu kulihat begitu indah, kini 3 tahun belakangan
kulihat hanya gelap. Bahkan untuk melihat diri saya sendiri pun, saya tak
mampu. Akhirnya saya mencari celah untuk keluar dari kegelapan. Saya tak ingin
terkepung dalam kegelapan dan hidup tanpa rasa, kemudian dengan tangan ini saya
ingin membuktikan bahwa saya bisa membuat dunia saya indah kembali,” kataku
dengan senyuman.
“Lalu, apa yang membuat Anira tidak bisa melihat?”
Air mata kembali mencair di pipiku. Kurasakan tangan Ibu
meraihku, menguatkanku. Kuceritakan, hingga kata-kataku tersendat karena
tangisku. Memori 3 tahun lalu kubuka kembali. Tentang sebuah kecelakaan di
tangga sekolah yang membuatku kehilangan penglihatan. Tentang sebuah kecelakaan
yang disengaja, karena kecemburuan seorang yang kukenal—ia sahabatku sendiri.
Ia tak rela melihatku selalu mengunggulinya dalam segala hal. Awalnya aku tak
menerima keadaanku. Hingga kurasakan dunia semakin jahat memenjarakan asaku.
Akhirnya kutemukan celah bahwa, memaafkan dan berdamai dengan keadaan membuat
keindahan itu kembali hadir—walau dengan
cara yang berbeda, dan lebih indah.
Akhirnya keadaan membuatku sadar tentang arti
ketidakmampuan, yang membuatku terus belajar. Ketidakmampuan membuatku rajin
menghafal tuuts pada keyboard. Hingga aku dapat menari lincah
dengan jari-jariku. Inilah caraku memahami diriku dari keterbatasanku.
Jemari inilah yang mengantarkanku menembus ruang
kemustahilan, bagi seorang tuna netra sepertiku. Aku menyingkirkan segala
prasangkaku kepada Tuhan tentang ketidak adilan. Inilah aku dengan segala kelebihanku—sebagai
makhluk istimewa.
Aku bangkit dari dudukku. Kusapa semua kawan-kawanku.
“Kawan, mungkin
aku tak bisa melihat sosok kalian begitupun kalian yang tak bisa melihat
sosokku. Tapi, mari kita ulurkan tangan untuk saling menguatkan. Kita tak
selemah yang terlihat. Kita adalah makhluk istimewa yang diciptakan Tuhan.
Kawan, jangan pernah takut untuk bermimpi karena apa yang ada di dunia ini nothing
impossible. Tuhan itu adil dan memiliki kasih kepada semua makhluk-Nya,”
kataku mengakhiri jumpa talkshow ‘keterbatasan menjadi tanpa batas’. Kutahu di
ruangan itu sedang banjir air mata bahagia. Akupun bahagia membuktikan pada
teman-teman tuna netraku bahwa keterbatasan adalah kekuatan untuk melakukan
hal-hal lebih.
***
***Tanggal 20
April 2015 cerpen ini dikirim ke Kakaye Publishing dengan tema “Impossible,
Keterbatasan Menjadi Tanpa Batas”. Masuk dalam 25 antologi cerpen yang
dibukukan.