Rabu, 16 Desember 2015

MARRIED Vs PASSING GRADE

oleh :Nin Wahyuni
Hasil gambar untuk gambar pernikahan
Hasil gambar untuk gambar pernikahan

What do you think about Married? Apakah hanya dimaknai sebagai bersatunya dua insan yang saling mencintai? Atau hanya dimaknai sebagai pengesahan hubungan biologis saja? Atau dimaknai sebagai pesta pora semata? Islam sebagai agama yang sempurna, bahkan mengatur sebuah pernikahan agar menjadi sesuatu yang mulia.
Menikah itu tidak sesederhana yang kita bayangkan. Tidak hanya berhenti pada pernyataan ijab qobul saja. Bahkan perlu teman-teman ketahui bahwa, pernyataan ijab qobul merupakan sesuatu yang sakral dan memiliki pemaknaan yang luar biasa. Pernyataan ijab qobul berarti si laki-laki siap menanggung diri si wanita yang di pinangnya. Artinya kewajiban orang tua si wanita berganti pada si laki-laki yang menikahinya itu. Itu mengapa menikah bukanlah perkara mudah. Seorang laki-laki harus benar-benar siap lahir batin untuk membimbing  dan mendidik istrinya.
Bukankah dalam pernikahan yang di harapkan adalah tercipta keluarga SAMARA? Bukankah menikah itu tidak hanya berdasar pada pengertian “melestarikan keturunan” saja? lalu apa bedanya dengan binatang yang tidak berakal? Menikah itu punya aturan.
Married Vs Passing Grade. Apa hubungannya? Tentu ada. Menikah itu butuh standart untuk kriteria calon pasangan. Wanita yang cerdas, ia akan memilih laki-laki yang taat beribadah, yang sholeh, bertanggung jawab, dan penyayang, tentunya berasal dari keluarga yang baik. Masalah ganteng, kaya, berstatus sosial tinggi, itu bonusnya. Wanita yang cerdas itu, tidak takut menikah dengan laki-laki yang miskin harta, tapi tidak miskin komitmen dan tanggung jawab.
Sedangkan laki-laki yang cerdas itu, dia akan memilih wanita yang taat beribadah, menutup auratnya dengan baik, cerdas, penyayang, lembut, dan taat pada suami. Masalah cantik, kaya, status sosial tinggi, itu juga bonusnya saja. Bagi laki-laki, jangan tertipu dengan wajah cantik saja, karena akan menyesal nantinya. Wajah cantik dan jadi idola banyak laki-laki?(bisa mati muda gara-gara darah tinggi hlo.hehe). Atau wanita cantik dengan body aduhai?(siap-siap keseret ke pintu neraka ya? Yakin siap? Think again!). Pilihlah wanita yang dapat menjadi ibu dan madrasah terbaik untuk anak-anakmu, serta menjadi pendamping yang bisa membawamu melangkah ke syurga-Nya. Bukankah itu yang dicari?
Ingat! Rumus mencari jodoh itu T1000(paras, harta, keturunan, agama). Jika agama tidak di nomorsatukan, apalah artinya ketiga 0 tersebut. Zhonk! Siap-siap menderita dunia akhirat, karena agama adalah pondasi untuk keluarga SAMARA(Sakinah Mawadah wa Rahmah). Tentunya Allah pun ridho.
Bagi teman-teman yang sudah siap menikah, jangan galau. Luruskan niat, bahwa menikah itu karena ibadah. Jangan pikirkan berapa passing grade yang sudah kita patok untuk sang calon. Insya Allah, Allah akan pilihkan yang terbaik untuk kita. Jodoh itu kan cerminan dari diri kita, jadi pantaskan diri, naikkan grade kita, dan jadilah terbaik di mata Allah. Tugas kita tidak hanya mencari, tapi juga mengusahakan diri menjadi muslim atau muslimah yang baik, tentunya taat pada perintah Allah.
Mau calon hafidz atau Hafidzah? Hafidz atau Hafidzahkan diri dulu. Jangan hanya melulu mencari tapi lupa memperbaiki diri.
Bagi yang sedang dalam penantian, bersabarlah. Si dia yang dinanti sedang memperbaiki diri dan mempersiapkan diri untukmu. Dia yang saat ini diam, bukan berarti takut atau pengecut, tapi sedang menjaga diri agar dapat meraih cinta yang berkah bersamamu. Bukankah jarak itu lebih baik, dan bisa saling menjaga?
Wahai hati yang sedang di rundung resah karena yang di nanti tak kunjung datang, sentuhlah dada kita, dan katakan “Sabarlah wahai hati, dia akan segara datang”. Persiapkan diri kita sebaik mungkin untuk menyambut belahan jiwa yang saat ini sedang berkelana mencari sepotong hatinya(yaitu kita). Tingkatkan takwa, tingkatkan keimanan, dan teruslah berdoa agar si dia tak salah menjatuhkan hati.
Wahai teman-temanku, jika engkau masih gundah, istikharahlah. Karena itu adalah jembatan terbaik untuk bertemu dengan si dia. Tak selalu melalui mimpi, karena Allah memiliki sejuta cara untuk mempertemukan hamba-Nya yang saling mencintai karena-Nya. Berdoalah, karena doa adalah bahasa paling indah untuk kita meminta pada-Nya.
Ya akhi, Ya ukhti…semoga kita mendapat jodoh yang terbaik, yang dapat membersamai langkah kita menuju syurga-Nya yang abadi dan penuh dengan kenikmatan.
Wallahua’lam.


BE THE BEST TEACHER

Cemerlanglah Wahai Pahlawan Pembentuk Insan Cendekia
oleh: Nin Wahyuni
 Hasil gambar untuk ilustrasi seorang guru
Guru, di gugu lan di tiru.
Guru yang baik adalah yang dapat menjadi tauladan bagi murid-muridnya. Sebagai seorang guru, tidak hanya mampu mengajarkan saja. Tapi guru yang baik adalah yang dapat juga mendidik, membimbing, dan mengarahkan peserta didiknya untuk menghadapi dunia nyata. Sesuai juga dalam UU RI nomor 14 tahun 2005, tentang guru dan dosen, bahwa:
Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Dalam film Little Big Master, pendidikan yang baik tidak terletak pada perangkat keras, tetapi ada dalam hati seorang guru.  Artinya guru adalah salah satu perubah peradaban. Guru adalah sang pencerah di masa depan.
Jadilah guru yang professional yang memiliki 4 standar kompetensi, seperti yang tercantum dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 16 Tahun 2007 bahwa seorang guru harus memiliki kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional.
Tapi guru yang baik lebih dari itu. Guru yang baik adalah guru yang tidak berhenti untuk belajar, walau empat kompetensi itu sudah di dapat. Bahkan, menjadikan mengajar itu adalah bagian dari hidupnya. Mengajar merupakan panggilan hati, dan dapat mempengaruhi kehidupan murid-muridnya.
Bawalah Dunia Mereka ke Dunia Kita, dan Antarkan Dunia Kita ke Dunia Mereka. Jadi, masuki dahulu dunia mereka karena tindakan ini akan memberi kita izin untuk memimpin, menuntun, dan memudahkan perjalanan mereka menuju kesadaran dan ilmu pengetahuan yang lebih luas(DePorter, 2006:6).
Berikut adalah definisi seorang guru yang baik dan professional menurut saya. Menjadikan mengajar adalah sesuatu yang menyatu dalam dirinya, yang mampu membawa perubahan untuk peserta didiknya. Seorang guru adalah, seorang yang mampu mengantarkan peserta didiknya untuk menghadapi dunia nyata, dan tidak pernah putus asa dengan kemajuan, namun memanfaatkannya untuk terus belajar, untuk membentuk generasi masa depan yang tangguh, yang mampu bersaing dan melakukan perubahan—merubah wajah bangsa yang kehilangan taring di kancah dunia.
Jadilah seorang guru yang lebih dari kata baik, yang tidak pernah lelah berinovasi dalam mengajar, agar peserta didiknya tidak hanya memahami bahwa sekolah itu hanya sebuah ‘perlombaan’, tetapi lebih daripada itu—yaitu untuk ‘memahami dan mengerti’ tentang kehidupan, yang mengajarkan sesuatu yang baru dengan penemuan-penemuannya, agar muridnya tidak selalu terpacu dalam perlombaan menghafal teks.
Seorang guru yang baik itu selalu memiliki metode untuk memudahkan siswa memahami pelajaran yang ia sampaikan. Menjadikan mengajar merupakan ladang ibadah yang tak pernah putus pahalanya.

Itulah mengapa saya bercita-cita menjadi seorang guru. Menjadi seorang guru yang tidak hanya sekedar “baik”, tapi lebih dari itu. Saya ingin menjadi seorang guru yang selalu di nantikan murid-murid saya. Saya ingin menjadikan murid saya haus akan ilmu. Untuk itu saya harus terus belajar, belajar, dan belajar. Menuntut ilmu sepanjang hayat, yang tak kenal kata menyerah dan lelah. Apakah anda berpikiran sama dengan saya? Menjadi seorang guru yang baik untuk negeri tercinta ini? be the best teacher to other people and your self. 


REFERENSI:
Undang-Undang  Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 16 Tahun 2007
   Bobbi Deporter, Mark Reardon, dan Sarah Singer. Quantum Teaching.2001(III). Penerbit Kaifa: Bandung.

Minggu, 29 November 2015

Sujudku


Oleh: Nin Wahyuni
Hasil gambar untuk kartun wanita bersujud
       Menjerit dalam jilatan api yang mengganas. Melahap seluruh bangunan dan jiwa yang terkepung lingkaran api. Aku masih beruntung dapat melarikan diri meski kakiku terpanggang bara panas. Dalam ketidakberdayaanku menopang rasa sakit, di depan mataku kulihat runtuhan kios menerkam tubuh kakakku. Ainun latifah. Seorang yang memiliki mata lembut, yang selalu memberi keteduhan di hatiku. Seorang kakak yang selalu ada kapanpun aku membutuhkannya. Kejadian naas siang itu merenggut kebahagiaan yang aku punya. Merenggut jiwa orang yang aku sayangi. Menyisakan serpihan luka di hatiku.
    “Kak Ainun!!!” teriakku meronta dalam kesakitan menahan panas balok kayu yang masih bertengger di atas kakiku. Api telah melumat tubuhnya. Pasar itu roboh seketika, bersamaan asap tebal yang membubung membawa jiwa kakakku.
        Siang itu tak ada sesuatu yang mengkhawatirkan. Semua terlihat normal. Siang itu aku dan kak Ainun berjualan seperti biasa. Kami menjual pakaian untuk menyambung hidup sehari-hari. Sejak kedua orangtuaku meninggal 2 tahun yang lalu, aku hanya tinggal bersama kakakku. Kini aku sebatang kara. Menjalani hidup seorang diri. Tak ada lagi tempat berbagi letih dan senyum.
***
      Satu bulan rasa berkabungku belum jua usai. Bukan rasa sedih kehilangan kakakku–aku telah mengikhlaskannya–tapi rasa berkabung melihat kondisi pasar yang urung dibenahi. Kakiku kelu meninggalkan reruntuhan pasar yang berserakan. Satu-satunya mata pencaharianku terancam hilang. Dalam benakku yang kupikirkan adalah modalku menipis dan kontrakanku sudah masa tenggang.
       Kakiku semakin kelu untuk melangkah. Angin berembus kencang menerbangkanku tanpa arah. Disebuah rumah yang sangat ramai orang berdatangan, aku duduk terdiam. Memandangi mereka yang berlalu lalang. Aku tak tahu apa yang sedang mereka lakukan.
        “Adik, lagi ngapaian disini?” kata seorang wanita dengan dandanan sangat menor.  Ia tersenyum bersahabat.
          “Saya tidak tahu Bu,” jawabku sambil menerawang entah kemana.
          “Kamu sepertinya banyak masalah, ya?”
         “Iya Bu. Saya butuh uang. Pasar tempat saya berjualan belum juga dibenahi sedang persediaan beras sudah menipis, mana kontrakan juga sudah habis. Saya takut untuk pulang. Ibu kos pasti marah,” curhatku pada wanita yang baru saja kukenal itu. begitu polosnya aku menceritakan keadaanku. Wanita itu tersenyum dan membelai kepalaku. Dipeluknya aku dengan penuh kasih. Membuatku luluh dan melelehkan air mata. Aku nyaman—berada dalam pelukan wanita itu.
          “Ayo ikut Ibu. Nanti saya kasih kamu pekerjaan yang gajinya gede,” katanya sambil tersenyum padaku. Aku mengangguk dan mengikutinya masuk ke dalam rumah yang paling mewah di komplek itu.

      Astagfirullahal’adzim, tempat apa ini? banyak sekali orang disini. Mengapa pakaian mereka semua minim dan mereka berdansa tak jelas bersama lelaki. Apakah—?

    “Hai, Nak? Kenapa? Kamu nanti juga akan seperti mereka. Bayangkan, hanya menari dan menemani lelaki satu malam kamu bisa membeli barang yang kamu mau. Itu bukan pekerjaan berat, bukan?” kata wanita itu. Dengan mudahnya ia mengucapkan kata-kata tak senonoh itu padaku. Dia tak mempedulikan aku yang berjilbab—seharusnya dia berfikir itu tak pantas—melihat busanaku yang tertutup.
       “ Maaf Bu, saya tidak jadi. Permisi,” kataku sambil melangkahkan kakiku menuju pintu keluar. Wanita itu berteriak memanggil bodyguardnya untuk mengejarku. Aku kaget. Menyadari tengah dalam kejarannya, kucincing rokku untuk berlari sekencang mungkin.
     Bukkk… lelaki itu memukul kepalaku dengan kayu. Darah segar mengucur di kepalaku. Aku roboh.
      Allah, tolong aku. Lindungi aku. Jangan biarkan orang ini mengotori jilbabku dengan tangan kotornya,” Doaku dalam hati. Aku pura-pura tak sadarkan diri. Orang itu hendak menyentuhku, namun diurungkan melihat kondisiku yang bersimbah darah. Ia kemudian berlalu meninggalkanku.
  Malam itu aku tergolek lemah. Tak bisa lagi langkahkan kaki.
 Kak Ainun…jika saja kakak disini, kakak pasti melindungiku. Kakak tak mungkin membiarkanku dilukai orang. Kak…
***
     “Bangun! Tidur mulu!” teriak seorang perempuan sambil menendangku. Kepalaku sakit sekali ketika kubuka mata. Darah di kepala mengering. Jilbabku sudah sangat lusuh dan bersimbah darah.
        “Maaf, kakak ini siapa?”
      “Gak usah banyak tanya! Sekarang ganti baju dan kerja! Sudah untung kamu aku tolong tadi malam,” kata perempuan itu dengan kasar. Kulihat sekelilingku. Kuamati dengan teliti, mirip gudang penyimpanan yang lama tidak digunakan. Sesekali aku terbatuk. Ruangan itu nampak pengap dan berdebu. Aku meneteskan air mata. Begitu malangnya hidupku.
     “Malah nangis! Cepetan ganti baju! ngemis atau nyopet sana!” katanya membentakku. Aku menggeleng. Tak mungkin aku melakukan pekerjaan hina itu. Dengan marahnya perempuan itu menarik jilbabku. Aku berusaha mempertahankannya. Aku takkan mempertaruhkan kehormatanku—meski tendangan dan pukulan mendarat di tubuhku—aku babak belur.
      “Sudah Ren, kasihan dia sudah tak berdaya. Manfaatkan aja jadi pengemis atau kasih baju muslim yang bagus. Tak akan ada yang curiga kalau ada pencopet berjilbab,” kata temannya. Orang yang disebut Ren tadi tersenyum penuh kemenangan. Aku tunduk pasrah dengan keadaanku. Dalam hatiku, aku menentang perbuatan yang akan aku lakukan. Panas yang memanggang kakiku takkan sebanding dengan panas neraka—kini aku akan menceburkan diri kedalamnya—dengan perbuatan keji yang akan kulakukan—menjadi seorang pencopet. Aku tertekam dalam biduk parau kehidupan. Aku pasrah—menjalani kehidupan dengan ketidakberdayaanku.
***
    Siang itu angkot sedang ramai dan berdesak-desakan. Dengan tangan gemetar, kumasukkan tanganku kedalam salah satu tas penumpang. Kejadian tak terduga terjadi, dompet yang aku ambil dari salah satu penumpang jatuh dari genggamanku. Aku panik dan langsung meloncat dari angkot. Dengan terpincang-pincang aku berlari menyelamatkan diri.
    “Copet… copet!” teriak semua orang yang ada di dalam angkot. Beberapa dari mereka mengejarku. Aku panik. Tak tahu arah mana lagi yang akan menjadi tujuan kakiku melangkah.
       “Allah, jika Engkau ada, mengapa tak pernah  kau datang menolongku? Kau biarkan aku terlunta dan menderita. Aku benci dengan kehidupan ini! Kau ambil semua kebahagiaanku, bahkan aku tak tahu bagaimana bersyukur dan berterimakasih pada-Mu lagi. Allah… dimana Engkau!” teriak putus asaku di tepi sungai. Dari kejauhan, aku dengar lagi teriakan yang meneriakiku copet. Aku segera bersembunyi di sebuah Musholla tak jauh dari sungai itu. Segera kukenakan mukena dan bersujud. Disitulah semua air mataku tertumpah, membuatku larut dalam sujud.
      Saat kubuka mata, ternyata aku bersujud di sajadah bergambar Ka’bah. Kerinduan semakin menyelinap dalam rongga hati. Kudekap erat sajadah bergambar Ka’bah itu. Kucium dengan penuh kerinduan.
      Laabbaikkallahumma Labbaik… Labbaikalla syaarikalaka labbaik…
         Talbiyahku tersendat dengan tangis. Berulang-ulang kuserukan kalimat talbiyah itu hingga aku tertidur dalam sentuhan Ka’bah. Dalam tidurku aku bermimpi melihat Kak Ainun dan kedua orangtuaku tersenyum padaku. Mereka melambaikan tangannya padaku, ditengah kerumunan orang yang berthawaf.
         “Ibu… Bapak…Kak Ainun!” teriakku menghampiri mereka. Namun mereka semakin menjauh, dan menghilang. Aku berteriak, hingga terbangun dari tidurku. Sajadah itu masih terpeluk erat dalam dekapanku. Ternyata aku tak benar-benar sendiri—Allah, kedua orangtuaku, dan kakakku—tak benar-benar meninggalkanku. Mereka masih ada—di hatiku.
         Mendung siang itu menghadirkan awan cerah untuku tersenyum. Sepercik harapan menghiasi sudut bibirku—dengan senyuman.

      Allah terimalah sujudku, airmataku, dan kepasrahanku…
***  


Hari Yang Tak Terlupakan!

Hasil gambar untuk love

           Hari ini aku begitu bahagia. Why? Aku bisa ngedate with my brother. Mungkin kedengarannya biasa aja, tapi bagiku istimewa.
        Siang ini aku dan soulmetku pergi ke Sleman, ketempat saudara. Siang yang cerah dengan sedikit mendung, tapi membawa warna pelangi di hatiku(mulai baper). Hari ini adalah sebuah keajaiban. Biasanya, brotherku gak mau nganterin aku kemana-mana, apalagi boncengin aku. Tapi, tadi sekali ajak langsung OK!
Bukan karena aku sering bertengkar ya, tapi karena emang dia cuek banget orangnya. Susah diajak ngobrol. Walau serumah, mungkin bisa dihitung kapan bisa ngobrol akrabnya, mungkiin bisa dibilang gak pernah. Cuma sesekali ngobrol, itupun seperlunya banget dan karena ada hal penting. Apalagi boncengan! Jarang banget. Cuma hari-hari tertentu aja, misalnya lebaran dan karena permintaan orang tua. Itu sih gak selalu mau.
Gimana mau ngobrol, aku aja pulang kuliah langsung ngadep laptop, kalo gak gitu ya tidur. Dunia masing-masing. Dunia yang saling mengasingkan. Begitupun dengan ayahku. Yang agak susah diajak ngobrol juga. Tapi perhatian, walau tak terucap tapi terwujud dalam tindakan. Buktinya, aku tumbuh sehat, di kuliahin pula. Kurang baik apa coba? Harus bersyukur dong.
Balik ke adikku yang super duper cuek, walau suka diemin aku, tapi sebenernya baik juga. Kalau ada makanan suka nawarin aku.hehe...Mungkin laki-laki kebanyakan gitu, diam tapi memiliki sejuta sayang yang tersimpan.
***
Tadi waktu perjalanan pulang, ketemu pemudi desaku, mereka sampe bilang “ciee...tumben akur”. Duhh...berarti selama ini diperhatikan ya. Emang sih selama ini jarang terlihat pergi berdua. 
Mungkin saja aku adalah seorang kakak yang merepotkan. Yaaa...pernah beberapa kali mau ikutan main, misal aja ke pasar malem. Lah, kan aku gak mungkin keluar sama cowok lain, makanya aku mau nguntit dia. Aku kan juga pengen keluar malem liat suasana malem yang katanya indah. Tapi gak pernah mau dianya.
Tapi aku yakin, dia sebenernya sayang sama aku.
***
Suasana susah cair. Pergi berdua, seperti pergi sendiri. No comment!sepanjang perjalanan, hanya diam seribu bahasa(lebay!!!). gak juga sih, tadi aku ajak ngobrol walau dijawab seperlunya. Tapi, kakak yang baik selalu mencoba membuka hatinya(sok romantis). Cie...semoga deh bisa berubah.
Well, intinya hari ini aku bahagia bisa pergi berdua dengan adikku. Hari yang tak terlupakan! Semoga hari-hari berikutnya bisa seperti ini lagi. Akur. Tanpa jarak.
***
Selalu ada alasan mengapa aku harus bahagia. Karena, aku kini mengerti bahwa cinta dan kasih sayang tak harus terucap oleh kata-kata. Keluargaku telah mengajarkan itu padaku. Diam, dan tak terucap oleh kata apapun bahwa “kita saling menyayangi” dan "kita saling membutuhkan".

Bantul, 29 November 2015, di hari yang cerah


Kamis, 26 November 2015

Guru Inspirasi Sepanjang Waktu


Oleh: Sri Wahyuningsih

Hingga kau percaya dalam hidup harus ada yang namanya pengorbanan, merelakan, atau mempertahankan.
--n Wahyu—

Kini almamater merah telah melekat di tubuhku. Menyadarkanku bahwa aku tidak lagi berseragam biru-putih, masa-masa dimana penuh kejahilan. Jika mengingat lagi masa itu, rasanya ingin sejenak mengambil benang merah dan menyatukannya—aku rindu masa itu. Dimana tawaku lepas menyambut  hangat rengkuhan persahabatan mereka—teman-teman masa SMP.
“Kamu lebih cantik pakai kerudung deh, Tin,”kataku saat istirahat. Dengan raut agak kecewa dia mengiyakan.
“Kalau kamu bagus gak pakai jilbab,” sambungnya. Rasanya bahagia mendengar pujian itu. Yah, dulu aku begitu mengagumi diriku. Rambutku yang agak bergelombang, dengan poni samping yang selalu berkibar, membuat wajah kecilku tak nampak—tapi banyak yang bilang manis. Aku juga tak begitu popular di sekolah, tapi guru-guru banyak mengenalku sebagai murid yang rajin. Hingga bel masuk berbunyi, saatnya mendengarkan ceramah dari seorang guru agamaku. Aku selalu suka dengan cerita-cerita beliau yang menginspirasi. Tentang hari akhir, tentang superhero Islam, tentang kepemimpinan Nabi Muhammad, dan sebagainya. Meski kutahu, saat itu pemahaman agamaku masih dangkal, namun mendengarkan cerita mengenai Islam aku sangat suka. Menenangkan.
“Wahyu, suatu saat nanti kamu akan menjadi guru agama menggantikan Ibu,” katanya kemudian. Mendengar kata-kata itu hatiku merutuk tak karuan. Aku ngeri membayangkan sosok guru agama yang alim, rajin shalat 5 waktu, shalat tahajud, shalat dhuha, ngaji, gak pacaran, suka ceramah, dan yang paling penting menjaga hijab. Melihat shalat lima waktuku yang masih sering bolong, apalagi yang lainnya, sudah dipastikan tak pernah aku lakukan. Meski saat itu aku kecewa, tetap saja aku tak bisa membenci beliau, apalagi pelajaran agama.
Cita-citaku saat itu banyak sekali: mulai dari menjadi penulis terkenal, astronot, peneliti, ahli kimia, dsb. Tak ada satupun yang menyinggung agama. Aku ingin menjadi orang yang terkenal. Hingga SMA rasanya syok ketika tes IQ aku masuk IPS. Dengan modal nekad, aku ikut tes masuk IPA. Ketrima deh. Dari sejak itu aku justru bimbang. Seakan malah tak punya arah dengan tujuanku.
“Apa cita-citamu?” kata seorang guru fisika padaku.
“Aku ingin menjadi seorang guru Pendidikan Luar Biasa,” jawabku. Dan itu sudah aku tulis dalam lembaran kertas putih beserta tekadku tertuang disitu. Tapi, aku juga ingin menjadi seorang psikolog, karena kata guru fisikaku, di masa depan akan banyak orang yang stress. Ahh… tingginya mimpiku ketika itu.
***
Waktu berlalu. Detak waktu menjawab semua dugaan.
Ternyata aku  bukan dari salah satu pilihan itu. Tapi menjadi seorang guru Agama Islam nantinya. Takut? Itu pasti. Tapi justru sebuah tantangan dimana aku harus lebih banyak belajar tentang agama. Entah bagaimana awalnya, hingga langkah kakiku sampai pada pilihan yang aku hindari.
Berhijab? Its ok for now!
Shalat lima waktu? Wajib!
Belajar agama? Harus!
Ternyata semua menyenangkan. Hidup serasa memiliki arti. Dan berproses itu tak mudah. Membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Melepaskan kehidupan yang penuh dengan keindahan itu tak semuanya mampu, karena terkadang harus merelakan sesuatu, yang menyakitkan.
***
Aku tak pernah sendiri. Doanya selau mengiringi langkahku—seorang guru yang kini aku rindukan. Siti Zahroh. Seorang guru Inspirasi sepanjang waktu--guru Agama Islam ketika SMP.
Suatu saat nanti, entah kapan, aku ingin berjumpa dengan beliau. Dan mengatakan, Aku Bahagia dengan pilihan hidupku saat ini, dan aku bangga memiliki guru seperti beliau.
Dan aku, ingin menjadi guru yang tak pernah dilupakan muridku suatu saat nanti. Dimanapun, dan kapanpun aku ingin selalu ada untuk murid-muridku. Seperti beliau yang tak pernah kulupakan.

#selamat hari guru
#Late post
Bantul,26 november 2015, dalam dekapan angin pagi, pukul 3:54


Belajar Bahagia di UKM Mujaddid

Hasil gambar untuk logo mujaddid
           “Siapa bilang ngomong Bahasa Arab itu susah, yang susah itu ngafalinnya,” kata Ustadz Maulana saat mengawali pembelajarannya. Beliau adalah ustadz gokil yang kalau belajar bikin ketawa.
            “Sebelum belajar bahasa Arab, saya mau mau baca mantra seperti ustadz Mahfudz,” lanjutnya. Setelah membaca basmalah, ustadz yang satu ini mulai deh bertingkah. Bikin perut mules pokoknya, habis selama belajar gak berhenti ketawa. Lari sana-lari sini, kurang kerjaan! Tapi emang pembelajaran Bahasa Arabnya aplikatif sih, jadi wajar.
           
            Sore ini, belajar bahasa Arab mulai dari salam, perkenalan, menyanyakan kabar, dan kosa kata. Ada 9 kosa kata yang harus dihafal dalam waktu 5 menit. Aku sih udah khatam, karena sebelumnya udah belajar sama ustadz Mahfud 4 semester kosa kata itu. Di DIC juga udah, terus waktu pembuatan mufrodat bareng divisi seni dan budaya juga udah. So? Pas ditanyain gak malu-maluin.

            Jujur, pulang dari belajar perutku beneran sakit. Mana gak lunch, tapi selama kurang lebih satu jam ketawa terus bareng beliau. Belajar bahasa Arab membuatku bahagia, entahlah. Atau mungkin pengajarnya yang gokil? Enggak tau juga sih, lihat aja nanti pas hari jumat yang ngajar siapa. Semoga aku tetap bahagia. Upss…besok jumat yang ngajar akhwat. Semoga lebih seru!
***

            Tadi kubilang pengajarnya gokil kan? Iya, beliau memang hiperaktif ngajarnya. Nunjuk-nunjuk beda sambil lari-lari, sampe keringetan. Pas beliau nunjuk acak, aku nunduk aja biar gak dikasih pertanyaan, eh pas ngliat kedepan, ditunjuk pula. Untung pertanyaannya “Maa ismuki?”.

            Menjelang penutupan, kita bareng-bareng nyanyi bahasa Arab, mulai dari disini senang-disana senang(bahasa Arab), dhomir(dengan lagu agak ngerock tak jelas), lagu bang toyyib reff(bahasa Arab), kalau kau suka hati(bahasa Arab). Lumayanlah dapet kosa-kata, gratis, bisa nyanyi, dan bahagia. Setidaknya no stress dengan tugas dan segudang lelah akhir-akhir ini.

            Belajar bahasa Arab itu ibarat gulali. Harus dimakan sedikit demi sedikit supaya manisnya tidak cepat habis, dan selalu nikmat dimakan hingga suapan terakhir. Setelah itu, ingin memakannya lagi di lain hari. Intinya jangan cepat puas belajar bahasa Arab hari ini, karena masih banyak hal yang harus diketahui. Bahasa Arab itu, bahasa paling kaya dengan kosa kata, dan paling kompleks maknanya.
***

            Di UKM Mujaddid, adalah terbuka bagi siapa saja yang ingin bahagia. Banyak ustadz-ustadz yang bakal bikin kalian ngakak. Di UKM Mujaddid tu gak hanya belajar bahasa Arab, tapi juga belajar tentang cinta.hehe cinta persaudaraan maksudnya. Sukses terus deh buat UKM Mujaddid, dan makasih udah masukin aku di divisi pengajaran walau belum bisa bahasa Arabnya.

“Biar kamu rajin belajarnya,” kata Teh Fida. Thanks all and I love Bahasa Arab…J

Rabu, 25 November 2015 , di sore hari yang ceria belajar bahasa Arab

Selasa, 17 November 2015

Bahagia itu Butuh Perjuangan

oleh: Nin Wahyuni

Guys…akhirnya aku dapat menggoreskan kembali kata-kataku dalam kanvas monitor. Aku ingin kembali bercerita mengenai diriku yang mungkin gak terlalu penting, tapi penting buatku sebagai pengingat—bahwa hari ini, pagi ini aku sungguh menemukan kembali kebahagiaanku.
Kenapa aku bilang baru menemukan kembali kebahagiaanku? Karena setelah perjuangan panjang itulah aku baru merasakan awal dari kebahagiaanku kembali. Ternyata bahagia tak sesederhana yang aku bayangkan dan tak sesederhana yang aku katakan selama ini. Bahagia itu butuh perjuangan guys...
Entah sudah lebih dari sepekan, hidupku begitu berantakan. Semua serba kemrungsung dan senyum aja terkadang dipaksakan, padahal senyum adalah bagian dari ibadah. Iya kan? Sampai ada yang bilang, “kok udah dua kali pertemuan ini aku lihat kamu kurang semangat?” waah… ada yang perhatian nih…ehemmm…(emang sekusut apa sih wajahku?). Tapi pagi ini, aku memulai hariku dengan begitu indah, begitu cerah, secerah mentari yang saat ini belum bersinar.
Manusia memang memiliki kadar keimanan yang seperti gelombang, kadang naik kadang turun. Begitupun denganku. Setelah mengalami pasang surut yang terlalu lama, rasanya jiwaku mulai berontak dan teriak “WOYYY BANGUUUUN!” lelah sekali rasanya kalau harus hidup tanpa semangat. Seperti istilah “hidup segan mati tak mau”. Hidup kan harus dinikmati sebagai fitrah dan sebagai perwujudan rasa syukur kepada Allah, iya kan? Udahlah lupakan galaunya, dan mulai action lagi. Jangan jadi manusia paling menderita deh, karena kalau dipikir-pikir semua orang juga punya masalah.
Sebenernya yang bikin aku gak semangat tuh bukan karena padatnya organisasi, tugas-tugas kuliah, mata kuliah yang menguras pikiran dan materi, bukan jadwal ngajar, bukan cucian yang numpuk, bukan dompet yang isinya tipis, bukan juga karena putus cinta(kan gak punya pacar), dan bukan juga karena di PHP cowok gak jelas (emang ada yang PHP? enggak sih). Tapi karena sering telat shalat shubuh, sering lupa tadarus, sering nglewatin shalat malam, dan lama gak nulis buat kalian, wahai teman-temanku.

Senin, 26 Oktober 2015

Hujan Kerinduan

  oleh: Nin Wahyuni

Aku termenung memandangi guyuran hujan yang menghujam bumi. Mataku berusaha menerobos jajaran hujan yang berbaris rapi, dimana tersimpan kenangan akan sebuah kerinduan. Bayangan itu kembali hadir—seseorang yang menciptakan kenangan tentang hujan.
Di tengah derasnya hujan, tanganku menengadah, menampung ribuan hujan yang mendarat di tanganku. Kupejamkan mataku, untuk merasakan kehadirannya—seseorang yang selalu kurindukan.
Suara tawa itu, suara tawa yang sangat kukenal, suara yang kurindukan itu hadir kembali. Seperti halnya dulu, tanganku ditarik untuk berlari menembus hujan.
“Nayla! Sadar, Nak. Kamu hampir terjerembab dari kursi rodamu,” teriak Ibu menghampiri dan memelukku.
“Nak, hampir 3 tahun kamu diam. Hampir 3 tahun Ibu tak mendengar tawa ceriamu. Hampir 3 tahun kamu memasung dirimu di kursi roda ini. Ibu merindukanmu, Nak. Ikhlaskan dia,” bujuk Ibu dalam tangisnya sembari memelukku.

Rindu


Oleh :Nin Wahyuni

Paparan surya tak mampu lagi menghangatkan dinginnya jiwa. Karena malam telah menutup sinarnya. Dalam malam yang ditemani semilir angin yang mengusik jiwa, aku kembali terpekur dalam lamunan. Entah apa yang ingin kusemai malam ini. Bagiku, semua telah berakhir sejak luka itu tertoreh di sudut hatiku. Tidak! Aku tak pernah mengakhirinya. Hanya saja aku ingin berdiam diri membelai malam-malam sunyi untuk belajar memaafkanmu dan… ahh rasa itu masih saja membekaskan luka. Tapi biarlah aku bak kemerlip bintang yang berbaur di tengah bebintang yang bersinar. Kau takkan bisa menemukanku di tebaran angkasa yang luas, tapi aku selalu bisa menemukanmu dimanapun sembunyimu. Bukan! Aku bukanlah jin, setan, atau malaikat, bahkan Tuhan sekalipun. Aku hanya manusia biasa yang selalu menyambutmu istimewa di hatiku, hingga rasa ini selalu mampu menemukanmu. Dimanapun.
Mungkin saja kau mulai pudarkan rasamu padaku, ketika kau merasa lelah untuk terus mencariku, tapi aku tetap disini. Menantimu. Entah, apakah ini akan berakhir sia-sia atau berakhir dengan tangis bahagiaku yang pecah dengan uluran tanganmu? Aku tak tahu. Hanya saja rasa itu terkadang terus menarik-narik ke hulu hatiku. Sejenak lepas dari bayangmu aku tak bisa. Kau telah duduk di singgasana hatiku yang kian rapuh karena kau tak jua menemukanku.
Mungkinkah kekuatan yang kian kikis ini mampu membuatku bertahan? Terpaan demi terpaan kian lantang menerbangkanku. Tapi aku, tetap disini untuk sebuah kepastian darimu. Karena Allah-ku, masih sudi menjagakan rasa ini untuk tetap utuh untukmu, sampai kau hadir dihadapanku memberi keputusan.
Doaku masih terpanjat untukmu. Selalu.
Sudikah kiranya kau selipkan pula namaku disela untaian doamu? Biarkan kita bertemu dipenghujung rindu atas karunia-Nya. Jika itu terlalu berlebihan, biarlah kusimpan saja rasa yang terus menggebu di dasar hati ini. Biar hanya aku dan Allah yang tahu tentang rangkaian kisah ini.
Jika malampun tak mampu membelaimu dengan mesra, biarkan dingin menghimpun tidurmu, untuk bertemu rindu bersamaku.
Rindu…itu satu kata yang selalu terucap di benak hati yang tak pernah berbohong. Untuk dirimu yang kurindu, kubiarkan penantian ini menjadi indah.
***


Minggu, 18 Oktober 2015

Menemukan Cinta Ali



Oleh: Nin Wahyuni

Bisikan merdu terus bertalu di telingaku. Ingin rasanya mengabaikan, namun ia sangat dekat, sedekat hati pada kerinduan. Tak ada yang bisa mengusirnya—karena ini memang sebuah rindu, yang sulit untuk berpaling.
Bingung.
Hatiku terus merutuki perasaan yang akhir-akhir ini hadir—mengacaukan ketenanganku. Mmm…tunggu! Ini bukan sebuah kekacauan. Bukankah kubilang tadi sebuah kerinduan? Ya, sebuah kerinduan yang telah lama kuimpikan.  
Mimpi? apakah orang sepertiku masih memiliki mimpi? tepatnya masihkah pantas orang sepertiku bermimpi? aku telah hancur. Lembaran-lembaranku telah ternoda tinta pekat. Tak mudah terhapus.
Harapan.
Jika semua telah terenggut, setidaknya aku masih memiliki harapan—paling tidak, sesuatu yang membuatku tak mengakhiri hidupku saat ini.  Aku masih percaya dengan “keajaiban”, yang sebenarnya aku sendiri tak teralu percaya. Tapi, laaah biarlah. Intinya, aku belum siap mati.
Banyak yang menertawakan harapan sederhanaku. Bahkan diriku pun menertawakannya. Yaitu menjadi Fatimah yang menemukan cinta Ali. Yah, aku merindukan sosok teduh dalam hidupku. Yang mampu membawaku menghirup aroma syurga.
Masa lalu, bukankah dia terus menjauh pergi? Tapi mengapa malam-malamku selalu dihiasi ketakutan? Bukan karena masa lalu, tapi apa yang ada di masa lalu yang terus membuntuti sepanjang waktu. Membuatku sangat takut.
Oh…suara-suara pergilah!aku sungguh tak mengerti! jeritku seorang diri.
Semilir rona jingga berembus menyibakkan rambutku. Menatap menawannya langit di sore hari. Terpekur aku seorang diri, ditemani goyangan rumput-rumput disekitarku. Hari menjelang gelap. Suara itu kembali terdengar merdu di telingaku, bersamaan tenggelamnya rona merah jambu penghias langit, hanyut terbawa kelamnya malam.
Aku masih duduk sendiri di galengan sawah. Menanti diriku tenggelam jua dalam penghayatan kalimat-kalimat yang sebenarnya tak asing bagiku. Yang sehari ada lima kali suara itu berdengung di telingaku, yang sering kuabaikan. Orang menyebutnya Adzan. Sebuah panggilan. Seperti yang kurasakan saat ini—di hatiku—sebuah panggilan untuk kembali.
***
“Zahra, kamu sudah siap?” kata seorang laki-laki yang menyadarkanku dari lamunan. Dengan tangan gemetar, kuterima kartu nama serta kunci kamar sebuah hotel berbintang. Tertulis kamar 103. Air mataku kembali beruraian. Kutangkup tanganku menutupi wajahku. Bukan! Bukan karena tak ingin lelaki dihadapanku melihat bengkak mataku yang semalaman tak henti menangis, dan kini harus kembali beruraian air mata lagi. Tapi menahan perih di ulu hati, yang tak tahu harus kututup dengan apa rasa sakit ini.

Rabu, 07 Oktober 2015

Ceritaku: Segenggam Asa


oleh: Nin Wahyuni
 

Sebut saja Febriana. Dia seorang gadis yang luar biasa bagiku. Semangatnya sungguh membuatku kagum. Aku terkadang malu dengan diriku yang sering sekali mengeluh. Menganggap bahwa masalahku lebih besar dari orang lain. Padahal? jika aku tilik lebih dalam lagi, sungguh Allah yang maha Besar. Jadi, tak ada masalah besar, karena Allah Yang Maha Besar Sang pemilik masalah. Bukankah Allah telah berfirman dalam QS. Al-Baqarah ayat 286:”Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya…”
Tidak hanya itu, Allah juga berfirman dalam QS. Al Asy-Syarh ayat 5 dan 6:” Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.” 
Jadi, tak ada alasan aku untuk bersedih atau marah dengan masalah-masalah yang aku hadapi. Aku harus sering banyak mendengar dan melihat orang lain agar aku lebih banyak bersyukur.
Febriana, bagiku bukanlah gadis yang beruntung. Dia lahir dari keluarga yang tak mengharapkannya. Orang tuanya menginginkan anak laki-laki, bukan perempuan, itu yang pernah aku dengar dari sumber tak jelas. Entahlah, semoga saja aku salah dengar . Kini dia dalam asuhan saudara orang tuanya.
Saat ini dia baru saja lulus SD dan sekolah di sebuah MTS di Bantul. Dulu, selalu ada keluh kesah darinya dan selalu mengatakan,” Mbak, aku capek sekolah. Aku malu.” Yah, dia mengenyam pendidikan di bangku SD lebih dari 10 tahun. Teman-teman seangkatannya sudah masuk SMA, sedang dia masih duduk di bangku SD. Tapi, entah angin Barat atau angin timur kah yang akhirnya membawanya pada sebuah mimpi. Entah siapa pula yang mampu membangun lagi harapan-harapan yang telah hancur, hingga Febri berkata,”Mbak, aku masih pingin nglanjutin sekolah.” Dia mengatakan dengan sangat bahagia. Allah, malaikat seperti apa yang telah Kau kirimkan untuk Febri hingga ia memiliki mimpi lagi? Sungguh, tak ada yang mampu menghalangi Kuasa-Mu jika Engkau telah berkehendak.
***
Tepatnya satu tahun yang lalu, aku dan teman-teman Pemudi mendirikan bimbel di desa. Aku sangat senang mendapat kesempatan mengajar bersama teman-teman. Maklum, banyak teman-teman yang jurusan pendidikan. Dibantu juga dengan adik-adik yang sudah SMA/SMK. Semua itu berjalan sesuai harapan. Dan Febri, adalah murid yang sangat berkesan bagiku. Dia meskipun merasa minder karena yang bimbel kebanyakan anak Paud, TK, dan kelas dibawahnya, dia tetap bersemangat untuk ikut bimbel.
“Mbak, lulus SD aku gak mau sekolah. Aku mau kerja aja,” kurang lebih begitu katanya padaku. Aku tahu bagaimana perasaannya. Jika aku, ataupun orang lain yang ada diposisinya, mungkin tak sekuat dia. Badannya yang besar, dan umurnya yang sudah remaja tentu saja menjadi beban tersendiri untuknya. Seharusnya dia bisa menikmati masa-masa remaja dengan teman-teman seumurannya, tapi dia masih belum menanggalkan pakaian merah putihnya. Sering pula bercerita menjadi bahan ejekan teman-temannya.
Allah… Engkau telah memilih Febriana. Semoga Engkau menguatkan pula hatinya dan tegakkan langkahnya…
Aku, yang selalu tak dapat melakukan sesuatu, hanya diam dan mencoba tersenyum.
“Semua memang tak ada yang mudah. Jika ada yang bisa menjadi dokter, guru, pilot, dsb bukan berarti mereka tak mengalami kesulitan. Itu karena mereka tekun belajar,” kataku padanya. Aku terus berkata-kata entah itu memberikan pengaruh atau hanya akan terhempas dari lubang telinganya, aku tak tahu. Aku tak ingin dia putus semangat. Beberapa kali kulihat hasil gambarnya. Bagus. Dia memiliki bakat untuk menggambar. Hasil warnanya pun lumayan. Hanya butuh latihan. Dia juga tak pernah lupa membawa buku gambar dan pewarna kemanapun ia pergi.
***
Gadis itu, yang selalu membuatku kagum, selalu memberi kejutan dalam hidupku. Ketika tak sengaja waktu itu aku shalat di masjid, aku bertemu dengannya. Dia sedang mencoba menghafalkan beberapa surat juz 30, padahal dia belum lancar membaca Al-Qur’an tapi semangatnya sungguh luar biasa. Jujur, aku benar-benar malu. Malu dengan semangat yang ia punya. Aku dengan kenikmatan yang begitu besar, selalu luput untuk bersyukur. Hatiku bergetar mendengar lantunannya.
Allah, ampuni aku.
***
Selepas ramadhan, bimbel vakum. Teman-teman sudah sibuk dengan skripsi, tugas sekolah, KKL, dsb. Dan aku juga tidak sanggup berjalan sendiri. Pernah aku hanya mengajar sendiri, dan itu membuatku kewalahan. Setelah itu aku juga sibuk dengan kegiatan kampus. Sedih. Jujur, aku sedih. beberapa kali bertemu dengan Febriana. Dia selalu menanyakan kapan bimbelnya dimulai. Allah, aku merasa sangat egois dengan kegiatan kampus yang mulai menjadi prioritasku. Padahal ada hal yang lebih penting. Bukankah aku calon guru? Bukankah aku harusnya mementingkan mereka? bukankah guru yang baik itu adalah guru yang selalu memperhatikan murid-muridnya? Dimanapun dia berada, selalu menemukan murid untuk diajar.
Tak hanya itu, ada orang tua yang selalu bertanya padaku. “Mbak, kapan bimbel lagi?” aku terkadang bingung menjawabnya. Semua menjadi tak pasti. Mungkin setelah ini. Besok. Atau lusa. Atau entah kapan, aku tak tahu.
Satu hal, aku selau merindukan dimana aku bisa mengajar lagi. Entah itu dimanapun, dan  kapanpun. Dengan mengajar aku bisa bertemu dengan anak-anak yang selalu membuatku punya semangat. Dan meskipun aku sudah beberapa kali bertatap muka dengan beberapa anak, tapi Febriana adalah yang paling istimewa yang memberikan pengaruh dalam hidupku. Yaitu, semangat yang tak pernah pudar dan senyum yang tak pernah surut dari bibirnya. Semoga setelah ini kehidupannya bisa lebih baik lagi.
“Mbak, aku kemarin ikut lomba menggambar tapi belum menang,” katanya suatu hari.
“Belum menang gakpapa yang penting udah berani mencoba. Kalau kamu gak pernah mencoba, kamu gakkan tahu kemampuanmu,” jawabku. Dia tersenyum bahagia.
“Ia Mbak, aku pengen latihan terus,” katanya sambil bersemangat melanjutkan gambarnya. Dan kemarin, ketika bulan Agustus, dia sedang mempersiapkan diri untuk keikutsertaan dalam lomba Kaligrafi. Masya Allah
Segenggam asa telah menyinari langkah Febri. Kini dia telah melangkah dengan pasti. Melangkah tanpa rasa takut.
Sungguh, Allah tak pernah lupa dengan hamba-Nya.
Semoga kebahagiaan selalu mewarnai kehidupannya setelah ini. aamiin.