Oleh: Sri Wahyuningsih
Hingga kau percaya dalam hidup
harus ada yang namanya pengorbanan, merelakan, atau mempertahankan.
--n Wahyu—
Kini almamater merah telah melekat di tubuhku. Menyadarkanku
bahwa aku tidak lagi berseragam biru-putih, masa-masa dimana penuh kejahilan. Jika
mengingat lagi masa itu, rasanya ingin sejenak mengambil benang merah dan
menyatukannya—aku rindu masa itu. Dimana tawaku lepas menyambut hangat rengkuhan persahabatan mereka—teman-teman
masa SMP.
“Kamu lebih cantik pakai kerudung deh, Tin,”kataku
saat istirahat. Dengan raut agak kecewa dia mengiyakan.
“Kalau kamu bagus gak pakai jilbab,” sambungnya.
Rasanya bahagia mendengar pujian itu. Yah, dulu aku begitu mengagumi diriku. Rambutku
yang agak bergelombang, dengan poni samping yang selalu berkibar, membuat wajah
kecilku tak nampak—tapi banyak yang bilang manis. Aku juga tak begitu popular
di sekolah, tapi guru-guru banyak mengenalku sebagai murid yang rajin. Hingga
bel masuk berbunyi, saatnya mendengarkan ceramah dari seorang guru agamaku. Aku
selalu suka dengan cerita-cerita beliau yang menginspirasi. Tentang hari akhir,
tentang superhero Islam, tentang kepemimpinan Nabi Muhammad, dan sebagainya. Meski
kutahu, saat itu pemahaman agamaku masih dangkal, namun mendengarkan cerita
mengenai Islam aku sangat suka. Menenangkan.
“Wahyu, suatu saat nanti kamu akan menjadi guru agama
menggantikan Ibu,” katanya kemudian. Mendengar kata-kata itu hatiku merutuk tak
karuan. Aku ngeri membayangkan sosok guru agama yang alim, rajin shalat 5
waktu, shalat tahajud, shalat dhuha, ngaji, gak pacaran, suka ceramah, dan yang
paling penting menjaga hijab. Melihat shalat lima waktuku yang masih sering bolong,
apalagi yang lainnya, sudah dipastikan tak pernah aku lakukan. Meski saat itu
aku kecewa, tetap saja aku tak bisa membenci beliau, apalagi pelajaran agama.
Cita-citaku saat itu banyak sekali: mulai dari
menjadi penulis terkenal, astronot, peneliti, ahli kimia, dsb. Tak ada satupun
yang menyinggung agama. Aku ingin menjadi orang yang terkenal. Hingga SMA
rasanya syok ketika tes IQ aku masuk IPS. Dengan modal nekad, aku ikut tes
masuk IPA. Ketrima deh. Dari sejak itu aku justru bimbang. Seakan malah tak
punya arah dengan tujuanku.
“Apa cita-citamu?” kata seorang guru fisika padaku.
“Aku ingin menjadi seorang guru Pendidikan Luar
Biasa,” jawabku. Dan itu sudah aku tulis dalam lembaran kertas putih beserta
tekadku tertuang disitu. Tapi, aku juga ingin menjadi seorang psikolog, karena
kata guru fisikaku, di masa depan akan banyak orang yang stress. Ahh… tingginya
mimpiku ketika itu.
***
Waktu berlalu. Detak waktu menjawab semua dugaan.
Ternyata aku bukan
dari salah satu pilihan itu. Tapi menjadi seorang guru Agama Islam nantinya.
Takut? Itu pasti. Tapi justru sebuah tantangan dimana aku harus lebih banyak belajar
tentang agama. Entah bagaimana awalnya, hingga langkah kakiku sampai pada
pilihan yang aku hindari.
Berhijab? Its ok for now!
Shalat lima waktu? Wajib!
Belajar agama? Harus!
Ternyata semua menyenangkan. Hidup serasa memiliki arti.
Dan berproses itu tak mudah. Membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Melepaskan
kehidupan yang penuh dengan keindahan itu tak semuanya mampu, karena terkadang
harus merelakan sesuatu, yang menyakitkan.
***
Aku tak pernah sendiri. Doanya selau mengiringi
langkahku—seorang guru yang kini aku rindukan. Siti Zahroh. Seorang guru
Inspirasi sepanjang waktu--guru Agama Islam ketika SMP.
Suatu saat nanti, entah kapan, aku ingin berjumpa dengan
beliau. Dan mengatakan, Aku Bahagia dengan pilihan hidupku saat ini, dan aku
bangga memiliki guru seperti beliau.
Dan aku, ingin menjadi guru yang tak pernah dilupakan
muridku suatu saat nanti. Dimanapun, dan kapanpun aku ingin selalu ada untuk
murid-muridku. Seperti beliau yang tak pernah kulupakan.
#selamat hari guru
#Late post
Bantul,26 november 2015, dalam
dekapan angin pagi, pukul 3:54
Tidak ada komentar:
Posting Komentar