Kamis, 26 November 2015

Guru Inspirasi Sepanjang Waktu


Oleh: Sri Wahyuningsih

Hingga kau percaya dalam hidup harus ada yang namanya pengorbanan, merelakan, atau mempertahankan.
--n Wahyu—

Kini almamater merah telah melekat di tubuhku. Menyadarkanku bahwa aku tidak lagi berseragam biru-putih, masa-masa dimana penuh kejahilan. Jika mengingat lagi masa itu, rasanya ingin sejenak mengambil benang merah dan menyatukannya—aku rindu masa itu. Dimana tawaku lepas menyambut  hangat rengkuhan persahabatan mereka—teman-teman masa SMP.
“Kamu lebih cantik pakai kerudung deh, Tin,”kataku saat istirahat. Dengan raut agak kecewa dia mengiyakan.
“Kalau kamu bagus gak pakai jilbab,” sambungnya. Rasanya bahagia mendengar pujian itu. Yah, dulu aku begitu mengagumi diriku. Rambutku yang agak bergelombang, dengan poni samping yang selalu berkibar, membuat wajah kecilku tak nampak—tapi banyak yang bilang manis. Aku juga tak begitu popular di sekolah, tapi guru-guru banyak mengenalku sebagai murid yang rajin. Hingga bel masuk berbunyi, saatnya mendengarkan ceramah dari seorang guru agamaku. Aku selalu suka dengan cerita-cerita beliau yang menginspirasi. Tentang hari akhir, tentang superhero Islam, tentang kepemimpinan Nabi Muhammad, dan sebagainya. Meski kutahu, saat itu pemahaman agamaku masih dangkal, namun mendengarkan cerita mengenai Islam aku sangat suka. Menenangkan.
“Wahyu, suatu saat nanti kamu akan menjadi guru agama menggantikan Ibu,” katanya kemudian. Mendengar kata-kata itu hatiku merutuk tak karuan. Aku ngeri membayangkan sosok guru agama yang alim, rajin shalat 5 waktu, shalat tahajud, shalat dhuha, ngaji, gak pacaran, suka ceramah, dan yang paling penting menjaga hijab. Melihat shalat lima waktuku yang masih sering bolong, apalagi yang lainnya, sudah dipastikan tak pernah aku lakukan. Meski saat itu aku kecewa, tetap saja aku tak bisa membenci beliau, apalagi pelajaran agama.
Cita-citaku saat itu banyak sekali: mulai dari menjadi penulis terkenal, astronot, peneliti, ahli kimia, dsb. Tak ada satupun yang menyinggung agama. Aku ingin menjadi orang yang terkenal. Hingga SMA rasanya syok ketika tes IQ aku masuk IPS. Dengan modal nekad, aku ikut tes masuk IPA. Ketrima deh. Dari sejak itu aku justru bimbang. Seakan malah tak punya arah dengan tujuanku.
“Apa cita-citamu?” kata seorang guru fisika padaku.
“Aku ingin menjadi seorang guru Pendidikan Luar Biasa,” jawabku. Dan itu sudah aku tulis dalam lembaran kertas putih beserta tekadku tertuang disitu. Tapi, aku juga ingin menjadi seorang psikolog, karena kata guru fisikaku, di masa depan akan banyak orang yang stress. Ahh… tingginya mimpiku ketika itu.
***
Waktu berlalu. Detak waktu menjawab semua dugaan.
Ternyata aku  bukan dari salah satu pilihan itu. Tapi menjadi seorang guru Agama Islam nantinya. Takut? Itu pasti. Tapi justru sebuah tantangan dimana aku harus lebih banyak belajar tentang agama. Entah bagaimana awalnya, hingga langkah kakiku sampai pada pilihan yang aku hindari.
Berhijab? Its ok for now!
Shalat lima waktu? Wajib!
Belajar agama? Harus!
Ternyata semua menyenangkan. Hidup serasa memiliki arti. Dan berproses itu tak mudah. Membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Melepaskan kehidupan yang penuh dengan keindahan itu tak semuanya mampu, karena terkadang harus merelakan sesuatu, yang menyakitkan.
***
Aku tak pernah sendiri. Doanya selau mengiringi langkahku—seorang guru yang kini aku rindukan. Siti Zahroh. Seorang guru Inspirasi sepanjang waktu--guru Agama Islam ketika SMP.
Suatu saat nanti, entah kapan, aku ingin berjumpa dengan beliau. Dan mengatakan, Aku Bahagia dengan pilihan hidupku saat ini, dan aku bangga memiliki guru seperti beliau.
Dan aku, ingin menjadi guru yang tak pernah dilupakan muridku suatu saat nanti. Dimanapun, dan kapanpun aku ingin selalu ada untuk murid-muridku. Seperti beliau yang tak pernah kulupakan.

#selamat hari guru
#Late post
Bantul,26 november 2015, dalam dekapan angin pagi, pukul 3:54


Tidak ada komentar:

Posting Komentar