Oleh : Nin
Wahyuni
Untukmu
yang hampir purna, ini bukan sarkasme atau sindiran, tapi kuanggap sebagai
teguran diri. Apapun yang menjadi kebersamaan antara kita, aku ingin
berterimakasih untuk segala kesempatan yang pernah terluangkan untuk kisah lalu.
Terimakasih untuk “patah hati” yang membuatku benar-benar jatuh, kemudian mampu
menata hati menuju pendar Ilahi.
Dulu,
janji membangun mahligai diatas janji suci begitu indah. Kini sudah hambar dan terbang
terbawa pawana.
Dulu,
kau kuatkan aku ketika berkali-kali tak bisa samakan prinsip.
Kini,
kau yang pergi ketika aku belajar memahamimu.
Kamu
yang ternyata tak bisa mencintaiku, sehingga lelah memperjuangkan kebersamaan.
Untukmu
yang hampir purna, pelan-pelan aku melepaskanmu.
Berhenti
peduli, berhenti mencari tahu tentangmu, berhenti meninggalkan jejak di
status-statusmu. Aku memilih hening. Sehening doa-doaku diujung malam penuh
ketenangan.
Pun
seperti yang kau bilang, tidak menemukanku dalam “Istikharahmu”, aku belajar
menerima garis takdir-Nya. Segala penerimaan yang meninggalkan jejak paling
dalam di relung hati.
Jiwaku
patah. Jiwaku hampa. Aku protes dengan ketidakadilan Tuhan padaku. Sempat
terfikir melawan takdir-Nya dengan mendoamu di waktu-waktu mustajab.
Aku
menyerah. Aku lelah. Aku takkan bisa melawan kekuatan Sang Maha Dahsyat.
Allah
lebih tahu perihal diriku.
Sekali
lagi, aku berterimakasih padamu yang hampir purna. Aku sudah benar-benar menghentikan
langkah memperjuangkanmu dalam doa-doaku.
“Patah
Hati” yang kau beri telah memberi banyak arti dalam hidupku.
Aku belajar
arti kehilangan untuk bersiap menyambut berlipat hadiah dari kesabaranku.
Allah
tak pernah tidur. Dia semakin menunjukkan dirimu yang tidak selaras denganku.
Untukmu
yang hampir purna, aku tak lagi menahanmu untuk semakin pergi, karena akupun
tak peduli lagi dengan hadir maupun pergimu.
Allah,
“Jangan larutkan aku dalam pilihan yang salah”.
Bantul,
17 Maret 2018~Renungan dalam dekap Malam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar