Oleh : Nin Wahyuni
google.com
Kau
uji aku sekilas aku rasa tak kuasa
Namun
kusadari dan aku mengerti
Kuserahkan
padamu
Takkan
aku bertanya mengapa harus terjadi
Karena
aku yakini tak ada beban tanpa pundak
Kau uji
aku karena kubisa melewatinya
Ini yang
terbaik bagi hidupku
Semua
hanya ujian
(Beban
tanpa Pundak__Lyric Edcoustic)
Ujian
seharusnya menjadi sumber kekuatan dan perbaikan. Bukti kasih sayang-Nya dengan
menguji keimanan kita kala diterpa badai masalah. Bukankah semakin besar pohon,
semakin kuat pula angin berhembus? Allah ingin menempatkan pada posisi lebih
tinggi dari yang lain. Memang sakit—ingin lari—pergi—dan menghilang.
Sekilas
tentang bertahan. Aku sedang berkali-kali meluruskan niat untuk bertahan. Aku tahu,
ini takkan mudah. Menjalani pekerjaan dengan hati yang tidak nyaman. Orang sepertiku
yang susah sekali move on membuatku terperangkap dalam labirin waktu.
Menjadi
guru adalah pekerjaan mulia. Sangat mulia memang. Impian orang tuaku terpikul
di pundak. Impianku sejak kecil pula—menjadi seorang guru. Ternyata tidak
semudah dugaanku. Menjadi guru zaman sekarang banyak pahitnya. Jika boleh
memilih, aku ingin berhenti menjadi pengajar di sekolah. Aku orang yang tidak
suka dengan aturan yang mengekang. Aku tipe orang yang bebas. Asyik dengan
dunia sendiri. Lebih suka bermain aksara. Suka dengan dunia literasi. Diskusi tentang
dunia kepenulisan. Atau asyik bermain dengan anak-anak kecil. Menciptakan rumah
baca untuk anak-anak mungkin.
Bukan
aku tidak bersyukur dengan keadaanku saat ini. Belum lulus kuliah sudah
disalurkan kerja. Bisa membiayai biaya bimbingan skripsi sampai keperluan
wisuda dari kerja kerasku ini. Tapi, hati selalu berontak dengan
ketidaknyamanan dan ketidakadilan. Tetap saja, aku tertahan untuk tak pergi.
Tawaran
dari pak Syahrul misalnya. Beliau menawariku untuk mengajar di SMP UA. Jika
saja move on itu mudah, egois itu mudah, mungkin lebih baik aku meninggalkan tempatku
saat ini. Berpindah di tempat kerja yang lebih baik.
“Kamu
jangan pindah. Nanti aku gak punya teman,” kata Ucup teman sekelas, teman
se-PPL yang bekerja di tempatku sekarang mengajar. Dia salah satu yang menjadi
penahanku untuk tetap tinggal. Aku tahu dia lebih tertekan dariku. Seperti boneka
yang diperintah kemudian disalahkan.
“Inget,
kalau kamu pindah nanti SKmu harus ngulang dari awal. Kita bakal lama
sertifikasinya,” dia masih berusaha meyakinkanku. Aku sebenernya masa bodoh
dengan itu semua. Aku tak pernah terbesit mengejar kenaikan pangkat atau mengejar
apapun. Semua kubiarkan mengalir. Chatnya selalu panjang hanya untuk meyakinkan
dan menguatkanku. Bahkan, dia yang mengurus data-data emisku supaya terdaftar
di Kemenag sebagai guru PAI. Dia yang mengurus akun onlineku. Sedangkan aku? Aku
pasi.
“Kalau
kamu mau pindah gakpapa. Tapi yang ada lowongannya 2, ya,” candanya. Kadang pengen
ketawa sama tingkahnya. Dia berasa anak kecil banget tapi akhir Maret besok nikah.wkwkwk. Umurnya lebih muda satu tahun dariku. Dia teman seperjuanganku dari kuliah, menjadi
koordinasi PPL III , sampai menjadi
ketua sekretaris di PPL IV. Wajar kalau kami menghebohkan sekolah karena dikira pasangan
sejoli. Siswa dan guru-guru sudah sering memperbincangkan kami. Siswa yang
iseng memanggilku umi dan Ucup dipanggil abi. Guyon yang bikin aku geli.
***
Seumur
hidupku, baru disini dipermalukan di depan umum. Harga diri dijatuhkan
sejatuh-jatuhnya didepan semua guru. Kesalahan yang seharusnya kecil, bisa
tabayun, tidak perlu diumumkan. Semua membekas dalam. Hanya karena tertukar
memasukkan absen siswa menjadi viral?
“Saya
trauma sama guru baru” “Guru agama kok gak amanah” itu didepan siswa. Aku tahu
itu bukan aku. Tapi ikut merasakan sakit hati. Kami sering jadi boneka sekolah,
belum berpengalaman, tapi menjadi sasaran kesalahan. Bukankah seharusnya
dibimbing?
Jujur
lelah. Belum ketika di kelas. Seperti mengajar di tengah pasar. Orang-orangnya
patung tak berisi. Diisi selalu tumpah. Atau suara kasar anak-anak yang kembali
pada jaman jahiliyah? Anak-anak yang mulai mengalami degradasi moral. Anak-anak
yang semakin tipis rasa hormatnya. Anak-anak yang kasar nada bicaranya? Berkali-kali
aku harus menghela napas dalam-dalam. Sekedar menenangkan diri dan menguatkan
batin. Sepengalaman mengajarku, aku tidak pernah membentak atau menggebrak meja.
Tidak pernah juga galak. Tapi disini, aku menjadi orang lain. Lelah. Sering sakit
memikirkan mereka.
Sekali
lagi, Allah selau punya rencana indah mengapa aku tetap disini. Belajar memahami
karakter mereka. Mempelajari latar belakang mereka. Latar belakang keluarga
menjadi faktor dominan sikap brutal mereka. Beberapa membuatku haru. Ternyata sekolah
tempatku mengajar semacam tempat rehabilitasi anak-anak bermasalah dan butuh
kasih sayang. Sebagai wali kelas, aku harus tahu dengan latar belakang mereka. Ada
yang broken home karena orang tuanya cerai, ada yang sudah tidak punya orang
tua, ada yang tinggal bersama kakek neneknya. Belum lagi ada anak yang memang
dari rumah sudah dibiarkan orang tuanya. Intinya banyak anak yang kurang kasih
sayang. Bahkan beberapa orang tua selalu menghubungiku untuk curhat. Bertanya mengapa
kok anaknya susah sholat, susah disuruh cium tangan kalau mau sekolah, dll. Jika
orang tua sudah menyerah, lalu adilkah didikan anak sepenuhnya diserahkan pada
kami? Kami diibaratkan dokter yang punya bermacam obat penyembuh. Didikan anak
bukannya berasal dari rumah? Seorang ibu adalah madrasah utama bagi anaknya. Bahkan
aku pernah membaca buku yang mengatakan wanita adalah tiang sebuah negara. Wanita
adalah garda terdepan terciptanya peradaban. Baik buruknya peradaban ditentukan
seorang wanita yang bertugas sebagai madrasah al-ula.
Atau…
kurang apa kami sebagai guru? setiap hari harus kucing-kucingan mencari
anak-anak yang kabur ke kantin. Alasan orang tua belum masak. Alasan orang tua
sibuk. Lalu, kami harus bagaimana? Kami sudah berusaha memberinya obat penawar
agar mereka bisa berubah. Berperilaku yang baik dan beradab. Tapi, justru kami
yang selalu butuh obat penenang. Menenangkan pikiran kami yang selalu terserang
lelah.
Pernah
sekali memanggil beberapa orang tua yang anaknya bolos. Tepatnya pasca demo
kepala sekolah. Keadaan kelasku mungkin tidak separah keadaan kelas lainnya
yang lebih dari separuh bolos. Tetap saja kelasku adalah tanggung jawabku. Ternyata
himbauan dan ancamanku before demo tidak dihiraukan. Bolak-balik aku harus ngecek
absen kelas seperti orang bingung. Mencari dikerumunan orang yang berdemo. Sedih
rasanya melihat anak-anak kelasku berdemo sedangkan mereka tidak tahu duduk
masalahnya. Pernah tangan ini menjewer anak perempuan yang terkenal pembuat
onar. Semalaman gak bisa tidur karena rasa bersalah dan takut. Semua rasa-rasa gak
nentu itu yang sering membuatku tumbang. Sakit.
Jika
anak memiliki HAM, apakah guru juga dilindungi HAM? Kami selalu merasa terancam.
Keselamatan kami menjadi taruhan karena beberapa anak berusaha mencelakai kami.
***
Terlepas
dari semua kelelahan yang kualami, disini, aku belajar arti kesabaran. Kuat mental.
Berlatih menjadi leader. Belajar terus memperbaiki diri agar bisa mengajarkan kebaikan
untuk mereka. Allah tak pernah menempatkan hamba-Nya disuatu tempat tanpa hikmah,
bukan? Mungkin disini ladang dakwahku yang harus selalu kusyukuri. Ya, walaupun
masih dengan berat hati. Semoga lelah ini berbuah kenikmatan luar biasa di hari
perhitungan amal kelak.
Kau uji
aku karena kubisa melewatinya
Ini yang
terbaik bagi hidupku
Semua
hanya ujian
***
Bantu,
18 Maret 2018~Coretan Memanggil Kantuk~pukul 2.24 Am
Tidak ada komentar:
Posting Komentar