Sabtu, 17 Maret 2018

Sekilas Tentang Bertahan


Oleh        : Nin Wahyuni
Image result for gambar orang yang bertahan
google.com

Kau uji aku sekilas aku rasa tak kuasa
Namun kusadari dan aku mengerti
Kuserahkan padamu
Takkan aku bertanya mengapa harus terjadi
Karena aku yakini tak ada beban tanpa pundak
Kau uji aku karena kubisa melewatinya
Ini yang terbaik bagi hidupku
Semua hanya ujian
(Beban tanpa Pundak__Lyric Edcoustic)

Ujian seharusnya menjadi sumber kekuatan dan perbaikan. Bukti kasih sayang-Nya dengan menguji keimanan kita kala diterpa badai masalah. Bukankah semakin besar pohon, semakin kuat pula angin berhembus? Allah ingin menempatkan pada posisi lebih tinggi dari yang lain. Memang sakit—ingin lari—pergi—dan menghilang.
Sekilas tentang bertahan. Aku sedang berkali-kali meluruskan niat untuk bertahan. Aku tahu, ini takkan mudah. Menjalani pekerjaan dengan hati yang tidak nyaman. Orang sepertiku yang susah sekali move on membuatku terperangkap dalam labirin waktu.
Menjadi guru adalah pekerjaan mulia. Sangat mulia memang. Impian orang tuaku terpikul di pundak. Impianku sejak kecil pula—menjadi seorang guru. Ternyata tidak semudah dugaanku. Menjadi guru zaman sekarang banyak pahitnya. Jika boleh memilih, aku ingin berhenti menjadi pengajar di sekolah. Aku orang yang tidak suka dengan aturan yang mengekang. Aku tipe orang yang bebas. Asyik dengan dunia sendiri. Lebih suka bermain aksara. Suka dengan dunia literasi. Diskusi tentang dunia kepenulisan. Atau asyik bermain dengan anak-anak kecil. Menciptakan rumah baca untuk anak-anak mungkin.
Bukan aku tidak bersyukur dengan keadaanku saat ini. Belum lulus kuliah sudah disalurkan kerja. Bisa membiayai biaya bimbingan skripsi sampai keperluan wisuda dari kerja kerasku ini. Tapi, hati selalu berontak dengan ketidaknyamanan dan ketidakadilan. Tetap saja, aku tertahan untuk tak pergi.
Tawaran dari pak Syahrul misalnya. Beliau menawariku untuk mengajar di SMP UA. Jika saja move on itu mudah, egois itu mudah, mungkin lebih baik aku meninggalkan tempatku saat ini. Berpindah di tempat kerja yang lebih baik.
“Kamu jangan pindah. Nanti aku gak punya teman,” kata Ucup teman sekelas, teman se-PPL yang bekerja di tempatku sekarang mengajar. Dia salah satu yang menjadi penahanku untuk tetap tinggal. Aku tahu dia lebih tertekan dariku. Seperti boneka yang diperintah kemudian disalahkan.
“Inget, kalau kamu pindah nanti SKmu harus ngulang dari awal. Kita bakal lama sertifikasinya,” dia masih berusaha meyakinkanku. Aku sebenernya masa bodoh dengan itu semua. Aku tak pernah terbesit mengejar kenaikan pangkat atau mengejar apapun. Semua kubiarkan mengalir. Chatnya selalu panjang hanya untuk meyakinkan dan menguatkanku. Bahkan, dia yang mengurus data-data emisku supaya terdaftar di Kemenag sebagai guru PAI. Dia yang mengurus akun onlineku. Sedangkan aku? Aku pasi.
“Kalau kamu mau pindah gakpapa. Tapi yang ada lowongannya 2, ya,” candanya. Kadang pengen ketawa sama tingkahnya. Dia berasa anak kecil banget tapi akhir Maret besok nikah.wkwkwk. Umurnya lebih muda satu tahun dariku. Dia teman seperjuanganku dari kuliah, menjadi  koordinasi PPL III , sampai menjadi ketua sekretaris di PPL IV. Wajar kalau kami menghebohkan sekolah karena dikira pasangan sejoli. Siswa dan guru-guru sudah sering memperbincangkan kami. Siswa yang iseng memanggilku umi dan Ucup dipanggil abi. Guyon yang bikin aku geli.
***
Seumur hidupku, baru disini dipermalukan di depan umum. Harga diri dijatuhkan sejatuh-jatuhnya didepan semua guru. Kesalahan yang seharusnya kecil, bisa tabayun, tidak perlu diumumkan. Semua membekas dalam. Hanya karena tertukar memasukkan absen siswa menjadi viral?
“Saya trauma sama guru baru” “Guru agama kok gak amanah” itu didepan siswa. Aku tahu itu bukan aku. Tapi ikut merasakan sakit hati. Kami sering jadi boneka sekolah, belum berpengalaman, tapi menjadi sasaran kesalahan. Bukankah seharusnya dibimbing?
Jujur lelah. Belum ketika di kelas. Seperti mengajar di tengah pasar. Orang-orangnya patung tak berisi. Diisi selalu tumpah. Atau suara kasar anak-anak yang kembali pada jaman jahiliyah? Anak-anak yang mulai mengalami degradasi moral. Anak-anak yang semakin tipis rasa hormatnya. Anak-anak yang kasar nada bicaranya? Berkali-kali aku harus menghela napas dalam-dalam. Sekedar menenangkan diri dan menguatkan batin. Sepengalaman mengajarku, aku tidak pernah membentak atau menggebrak meja. Tidak pernah juga galak. Tapi disini, aku menjadi orang lain. Lelah. Sering sakit memikirkan mereka.
Sekali lagi, Allah selau punya rencana indah mengapa aku tetap disini. Belajar memahami karakter mereka. Mempelajari latar belakang mereka. Latar belakang keluarga menjadi faktor dominan sikap brutal mereka. Beberapa membuatku haru. Ternyata sekolah tempatku mengajar semacam tempat rehabilitasi anak-anak bermasalah dan butuh kasih sayang. Sebagai wali kelas, aku harus tahu dengan latar belakang mereka. Ada yang broken home karena orang tuanya cerai, ada yang sudah tidak punya orang tua, ada yang tinggal bersama kakek neneknya. Belum lagi ada anak yang memang dari rumah sudah dibiarkan orang tuanya. Intinya banyak anak yang kurang kasih sayang. Bahkan beberapa orang tua selalu menghubungiku untuk curhat. Bertanya mengapa kok anaknya susah sholat, susah disuruh cium tangan kalau mau sekolah, dll. Jika orang tua sudah menyerah, lalu adilkah didikan anak sepenuhnya diserahkan pada kami? Kami diibaratkan dokter yang punya bermacam obat penyembuh. Didikan anak bukannya berasal dari rumah? Seorang ibu adalah madrasah utama bagi anaknya. Bahkan aku pernah membaca buku yang mengatakan wanita adalah tiang sebuah negara. Wanita adalah garda terdepan terciptanya peradaban. Baik buruknya peradaban ditentukan seorang wanita yang bertugas sebagai madrasah al-ula.
Atau… kurang apa kami sebagai guru? setiap hari harus kucing-kucingan mencari anak-anak yang kabur ke kantin. Alasan orang tua belum masak. Alasan orang tua sibuk. Lalu, kami harus bagaimana? Kami sudah berusaha memberinya obat penawar agar mereka bisa berubah. Berperilaku yang baik dan beradab. Tapi, justru kami yang selalu butuh obat penenang. Menenangkan pikiran kami yang selalu terserang lelah.
Pernah sekali memanggil beberapa orang tua yang anaknya bolos. Tepatnya pasca demo kepala sekolah. Keadaan kelasku mungkin tidak separah keadaan kelas lainnya yang lebih dari separuh bolos. Tetap saja kelasku adalah tanggung jawabku. Ternyata himbauan dan ancamanku before demo tidak dihiraukan. Bolak-balik aku harus ngecek absen kelas seperti orang bingung. Mencari dikerumunan orang yang berdemo. Sedih rasanya melihat anak-anak kelasku berdemo sedangkan mereka tidak tahu duduk masalahnya. Pernah tangan ini menjewer anak perempuan yang terkenal pembuat onar. Semalaman gak bisa tidur karena rasa bersalah dan takut. Semua rasa-rasa gak nentu itu yang sering membuatku tumbang. Sakit.
Jika anak memiliki HAM, apakah guru juga dilindungi HAM? Kami selalu merasa terancam. Keselamatan kami menjadi taruhan karena beberapa anak berusaha mencelakai kami.
***
Terlepas dari semua kelelahan yang kualami, disini, aku belajar arti kesabaran. Kuat mental. Berlatih menjadi leader. Belajar terus memperbaiki diri agar bisa mengajarkan kebaikan untuk mereka. Allah tak pernah menempatkan hamba-Nya disuatu tempat tanpa hikmah, bukan? Mungkin disini ladang dakwahku yang harus selalu kusyukuri. Ya, walaupun masih dengan berat hati. Semoga lelah ini berbuah kenikmatan luar biasa di hari perhitungan amal kelak.
Kau uji aku karena kubisa melewatinya
Ini yang terbaik bagi hidupku
Semua hanya ujian
***
Bantu, 18 Maret 2018~Coretan Memanggil Kantuk~pukul 2.24 Am


Tidak ada komentar:

Posting Komentar