Curhat ternyaman adalah bercerita sambil meluk ibu. Hampir setiap
malam aku bercerita tentang apapun yang aku alami setiap hari. Mulai dari
siswaku yang super-duper bikin kesel, hingga urusan hati. Dengan begitu semua
keluhan di sosmed bisa terkurangi beberapa persen—walau kadang jari ini nakal
mengetik keluhan di dinding status. Tapi, terkadang secepatnya ketika aku puas
mengetik, aku langsung menghapusnya. Berkali-kali aku berusaha mengontrol agar tidak
semua keluhan apalagi hal yang bersifat pribadi ter-update.
Ibu adalah the best partner dalam hidupku. Setiap keputusanku,
selalu ada campur tangan ibu. Bahkan, dalam pilihan apapun, ibu selalu andil di
dalamnya. Kadang, dasarnya aku saja yang sering ngeyel dan tidak memperhatikan warning
beliau. Ibu bukan tipe orang yang suka melarang secara tegas dan jelas—contohnya masalah sosok pilihan—biasanya
berupa sindiran. Ibu lebih bagaimana membuatku berfikir sendiri dalam memahami apa
yang beliau ucapkan.
Tentang pilihanku yang berkali-kali gagal, ibu sudah memberinya
warning, hanya cinta saja yang menjadikanku buta :P
“Dia kelasnya terlalu tinggi,” kata ibu.
“Tinggi gimana bu? Dia katanya juga orang biasa kok,” kataku yang
masih terus membela. Walau tanpa sadar aku selalu menyebutkan harga
barang-barang yang dia kenakan, yang membuat ibu agak kurang suka mendengarnya.
Bahkan dengan rencana pernikahan yang terhitung tinggi, ibu sudah bilang, “Ibu
gak sanggup”. Tapi, aku masih saja ngeyel bertahan. Kataku dia orang yang bertanggung jawab. Dia berusaha
tidak merepotkan keluargaku. Aku terus meyakinkan ibu. Ibu hanya diam dengan
penuh tanda tanya.
Setelah wisuda bulan Oktober 2017 lalu, ibu sering melihatku di
rumah. Jarang bepergian. Lebih sering kencan sama buku-buku baruku.
“Gimana kabarnya,” kata ibu kemudian.
“mmm…baik kok bu. Sekarang lagi sibuk soalnya jadi Pembina asrama,”
kataku berbohong. Ternyata ibu semakin curiga denganku. Baru kali ini aku
sungguh tidak bisa jujur perihal perasaanku. Aku tidak mau ibu kecewa lagi
karena ada yang menyakitiku. Aku selalu menutupi semua kesedihanku, hingga
twitterku penuh dengan tweet curhatan dan kata-kata baper. Mengapa bukan FB, Line, atau
sosmed lain? Ya karena tidak semua orang punya twitterku jadi aku serasa bebas
dengan apa yang dikatakan hati. Terakhir-terakhir ini aku baru sadar, kalau
yang follow aku selalu punya pemberitahuan di tweetnya kalau ada yang update
status. Dari situ, aku tidak lagi update dan menghapus tweet galau.
Tak lama dari situ, aku dikomen statusnya sama yang punya FP
mutiaraislam.net. Bahkan DM juga itu FP. Semua aku ceritakan pada ibu. Awalnya kupikir
itu FP akhwat, ternyata ikhwan soalnya nice banget nama FPnya. Sampai pada
bertanya tentang calon. Awalnya aku jawab sudah punya calon dan segera menikah.
Semua kuceritakan pada ibu sambil ketawa. Lama-lama entah mengapa seperti ada
rasa bersalah yang membuatku kepikiran, hingga aku menulis quotes di IG sebagai
klarifikasi. Ternyata dari situ kami kembali berkomunikasi lagi.
Aku tidak tahu bagaimana awalnya, hingga kami semakin dekat dan dia
mengirimku CV sekilas tentangnya. Ada rasa nano-nano dalam hatiku. Tidak sabar CV
itu kubacakan pada ibu. Tanggapan ibu juga antusias. Tapi dia sudah menjadi
tulang punggung dan tanggungan hidupnya banyak, kataku. Ibu ternyata wanita
bijak.
“Berarti dia orang yang bertanggung jawab. Kalau Cuma sama-sama
kaya kita malah gakpapa. Kalau sama yang kemarin kelasnya terlalu tinggi,” kata
ibu.
“Kembali kekamu gimana,” kata ibu lagi.
“Kalau misalkan dia jodohku gimana, Bu?”
“Ya gakpapa. Gak jauh juga kalau Cuma sesama Jawa. Sesuku juga. Setidaknya
kalau sesama orang Jawa orang-orangnya bisa gemati.”
Setelah itu aku menjalin komunikasi agak intensif dengan ikhwan
itu. Aku benar-benar mengaguminya walau hanya dengan profilnya dan CV nya.
setelah ada komunikasi, aku mengirim balasan CV padanya. Hingga suatu ketika
kami sepakat untuk bertemu.
Jumat, tanggal 23 Maret 2018, kami bertemu di Aita Coffee lounge,
Bantul, pukul 16.00(prakteknya 16.30 soalnya aku nyasar dulu.hhe). Malam
sebelum bertemu, aku ngobro lagi sama ibu.
“Bu, aku diajak ketemu sama mas itu. Ibu ada ganjalan atau apa gitu
gak dengan yang ini? Aku mau ridho ibu kali ini,” kataku meyakinkan.
“Ya ditemui aja. Kenalan dulu gimana orangnya”
“Bu, tapi kalau foto sama aslinya beda gimana? Kalau dilihat
gantengan kakak yang kemarin.hehe” candaku.
“Njak sek wingi perawatane dan kelase dhuwur je (soalnya
yang kemarin perawatan dan kelasnya tinggi—orang berada). Kalau sama yang
kemarin jujur ibu gak setuju. Belum apa-apanya aja udah dituntut macem-macem,”
kata ibu.
Ibu setuju dan bahkan dengan tangan terbuka sekali seandainya benar
jodohku. Gak puas sampai disitu, aku kirim foto itu ke bibi, pak Namli, dan
minta pendapat Dini sahabatku, tanggapan mereka sehati banget. Yang intinya
yaudah taaruf dulu aja. insyaAllah yang terbaik kata mereka.
Aku memberanikan diri juga menghubungi teman dekatnya yang sudah 3
tahun satu atap dengan mas itu. Aku bertanya bagiamana sifat-sifatnya. Sekilas gambaran
tentang dirinya. Bahkan sebelum berangkat aku meminta doa restu dari pak Ri,
ketua manasik haji yang kemarin satu kepanitiaan denganku. Kami dekat karena
beliau ketuanya dan aku sekretarisnya. Beliau sudah mengangapku seperti anaknya
sendiri. Selalu berusaha mendoakan aku lekas menikah.
“Nduk, kalau sudah ada yang datang, jangan ditolak. Jangan lihat fisiknya.
Bismillah yang terbaik. Gek ndang.”
Semua pendapat mereka membuatku mantap. Tak lepas doa dan harapanku
pada Allah. Jika memang yang terbaik, apalah daya menolak seseorang yang sudah
dihadirkan di hadapanku.
Acara nyasar membuatku terlambat hampir setengah jam. Aku yang sok
tahu, dan pak Namli yang belum tahu.
“Pak, mungkin efek saya grogi kali ya. Kok bisa nyasar sejauh ini,”
kataku. Apalagi wa dia yang mengatakan sudah di lokasi. Makin berdebar
jantungku.
Setelah sampai lokasi, kaki semakin berat melangkah. Ada yang
tiba-tiba seperti serangan yang menghantam dadaku. Sebuah kiriman pesan yang
hanya mampu diterjemah hati.
Pertama kali kulihat bukan dia, tapi tumpukan buku yang berjajar
rapi di rak buku. Tempatnya asyik. Nyaman untuk ngobrol. Apalagi aku lebih
tertarik dengan buku-buku islami. Aku lebih fokus dengan buku-bukunya. Beberapa
aku foto buat referensi beli buku. Aku dalam keadaan seperti itu gak bisa duduk
karena pasti ketahuan gemetar dan perasaan gak karuan. Aku memandangnya hanya
sekilas karena takut membuatnya tidak nyaman—padahal pesan pak Namli lihat
detail gimana dia. Yang membuatku semakin pasi adalah ketika pandangan mataku
menemukannya sedang melihatku sekilas. Bagiku cukup. Aku tak perlu memandangnya
lebih lama lagi. Dia memang tidak seganteng dan tidak secool yang kemarin, tapi
dalam hal ketenangan, dia lebih tenang ketika dilihat. Mungkin memang agak
dingin dan seperti kurang luwes. Orangnya menjaga sekali. Justru aku yang
minder.
“Apa iya orang seperti dirinya mau denganku? Wanita yang masih
banyak sekali kekurangan?”
Dia pintar Bahasa Arab. Pengajar Lughoh, sedangkan aku belajar
Lughoh saja belum istiqamah. Dia jago nahwu shorof kata temannya, sedangkan
aku? Aku bukan siapa-siapa jika disejajarkan dengan dirinya. Setelah pertemuan
itu, aku justru tidak mau berharap karena aku merasa tidak sepadan dengan
dirinya.
Bahkan, hingga saat ini, meski dia bilang yakin denganku, walau
hanya bertemu sekali, tapi aku masih terus berhati-hati. Memang tak bisa
dipungkiri kalau aku sudah melabuhkan hati. Hanya saja masih terus kujaga agar
tak terlalu jatuh. Aku tahu bagaiamana rasanya jika kembali jatuh. Aku tidak
akan mampu bangkit dengan mudah. Dalam berdoa yang berulang-ulang, “Allah jaga hatiku.
Jangan larutkan aku dalam pilihan yang salah. Cintakan aku hanya dengan seseorang
yang kelak menjadi imamku.”
Sepulang dari pertemuan itu, ibu sudah mencegatku. Beliau ingin
mendengar ceritaku. Tapi aku masih bungkam. Aku justru kacau gara-gara kesalahan
yang kubuat pada saat pertemuan itu. Gara-gara makan makanan yang dipesan
temannyaL berasa berdosa banget. Aku sampai minta
maaf dan merasa bersalah. Minta dia nge-wa temannya menyampaikan permintaan
maafku. Dari situ, aku sibuk sama Hp dan nyuekin Ibu. Baru setelah hari itu, aku
bisa cerita sama ibu. Bahkan tentang keluarganya secara detail. Ibu sama sekali
tidak keberatan atau menampakkan ketidaksukaannya.
“Bu, sekali lagi aku tanya. Kalau sama yang ini, ibu ada ganjalan
gak?”
“Mengenal dulu, jangan buru-buru”.
“Boleh aku suruh main kesini? Tapi lebaran aja,” kataku.
“Iya gakapapa. Nanti digelarke kloso kulon omah,” jawab Ibu.
Ibu emang partner hidup yang
asyik diajak ngobrol. Aku sekarang sendiko dhawuh sama ibu. Pilihan ibu
yang terbaik. Kalau orang tua ridho semoga Allah pun ridho. Aamiin.
Ibu adalah tempat ternyaman buat curhat apapun. Tiap malam pasti ke
kamarku. Tidur di sebelahku, memancing dengan satu pertanyaan, yang berakhir
pada curhatan panjang.
Love You SO Much my Mom. You are the best Mom for me.