Sabtu, 31 Maret 2018

Curhat Ternyaman



Image result for the best mom
(Nin Wahyuni)

Curhat ternyaman adalah bercerita sambil meluk ibu. Hampir setiap malam aku bercerita tentang apapun yang aku alami setiap hari. Mulai dari siswaku yang super-duper bikin kesel, hingga urusan hati. Dengan begitu semua keluhan di sosmed bisa terkurangi beberapa persen—walau kadang jari ini nakal mengetik keluhan di dinding status. Tapi, terkadang secepatnya ketika aku puas mengetik, aku langsung menghapusnya. Berkali-kali aku berusaha mengontrol agar tidak semua keluhan apalagi hal yang bersifat pribadi ter-update.

Ibu adalah the best partner dalam hidupku. Setiap keputusanku, selalu ada campur tangan ibu. Bahkan, dalam pilihan apapun, ibu selalu andil di dalamnya. Kadang, dasarnya aku saja yang sering ngeyel dan tidak memperhatikan warning beliau. Ibu bukan tipe orang yang suka melarang secara tegas dan  jelas—contohnya masalah sosok pilihan—biasanya berupa sindiran. Ibu lebih bagaimana membuatku berfikir sendiri dalam memahami apa yang beliau ucapkan.

Tentang pilihanku yang berkali-kali gagal, ibu sudah memberinya warning, hanya cinta saja yang menjadikanku buta :P

“Dia kelasnya terlalu tinggi,” kata ibu.
“Tinggi gimana bu? Dia katanya juga orang biasa kok,” kataku yang masih terus membela. Walau tanpa sadar aku selalu menyebutkan harga barang-barang yang dia kenakan, yang membuat ibu agak kurang suka mendengarnya. Bahkan dengan rencana pernikahan yang terhitung tinggi, ibu sudah bilang, “Ibu gak sanggup”. Tapi, aku masih saja ngeyel bertahan. Kataku  dia orang yang bertanggung jawab. Dia berusaha tidak merepotkan keluargaku. Aku terus meyakinkan ibu. Ibu hanya diam dengan penuh tanda tanya.
Setelah wisuda bulan Oktober 2017 lalu, ibu sering melihatku di rumah. Jarang bepergian. Lebih sering kencan sama buku-buku baruku.
“Gimana kabarnya,” kata ibu kemudian.
“mmm…baik kok bu. Sekarang lagi sibuk soalnya jadi Pembina asrama,” kataku berbohong. Ternyata ibu semakin curiga denganku. Baru kali ini aku sungguh tidak bisa jujur perihal perasaanku. Aku tidak mau ibu kecewa lagi karena ada yang menyakitiku. Aku selalu menutupi semua kesedihanku, hingga twitterku penuh dengan tweet curhatan dan kata-kata baper. Mengapa bukan FB, Line, atau sosmed lain? Ya karena tidak semua orang punya twitterku jadi aku serasa bebas dengan apa yang dikatakan hati. Terakhir-terakhir ini aku baru sadar, kalau yang follow aku selalu punya pemberitahuan di tweetnya kalau ada yang update status. Dari situ, aku tidak lagi update dan menghapus tweet galau.

Tak lama dari situ, aku dikomen statusnya sama yang punya FP mutiaraislam.net. Bahkan DM juga itu FP. Semua aku ceritakan pada ibu. Awalnya kupikir itu FP akhwat, ternyata ikhwan soalnya nice banget nama FPnya. Sampai pada bertanya tentang calon. Awalnya aku jawab sudah punya calon dan segera menikah. Semua kuceritakan pada ibu sambil ketawa. Lama-lama entah mengapa seperti ada rasa bersalah yang membuatku kepikiran, hingga aku menulis quotes di IG sebagai klarifikasi. Ternyata dari situ kami kembali berkomunikasi lagi.

Aku tidak tahu bagaimana awalnya, hingga kami semakin dekat dan dia mengirimku CV sekilas tentangnya. Ada rasa nano-nano dalam hatiku. Tidak sabar CV itu kubacakan pada ibu. Tanggapan ibu juga antusias. Tapi dia sudah menjadi tulang punggung dan tanggungan hidupnya banyak, kataku. Ibu ternyata wanita bijak.
“Berarti dia orang yang bertanggung jawab. Kalau Cuma sama-sama kaya kita malah gakpapa. Kalau sama yang kemarin kelasnya terlalu tinggi,” kata ibu.
“Kembali kekamu gimana,” kata ibu lagi.
“Kalau misalkan dia jodohku gimana, Bu?”
“Ya gakpapa. Gak jauh juga kalau Cuma sesama Jawa. Sesuku juga. Setidaknya kalau sesama orang Jawa orang-orangnya bisa gemati.”
Setelah itu aku menjalin komunikasi agak intensif dengan ikhwan itu. Aku benar-benar mengaguminya walau hanya dengan profilnya dan CV nya. setelah ada komunikasi, aku mengirim balasan CV padanya. Hingga suatu ketika kami sepakat untuk bertemu.

Jumat, tanggal 23 Maret 2018, kami bertemu di Aita Coffee lounge, Bantul, pukul 16.00(prakteknya 16.30 soalnya aku nyasar dulu.hhe). Malam sebelum bertemu, aku ngobro lagi sama ibu.
“Bu, aku diajak ketemu sama mas itu. Ibu ada ganjalan atau apa gitu gak dengan yang ini? Aku mau ridho ibu kali ini,” kataku meyakinkan.
“Ya ditemui aja. Kenalan dulu gimana orangnya”
“Bu, tapi kalau foto sama aslinya beda gimana? Kalau dilihat gantengan kakak yang kemarin.hehe” candaku.
Njak sek wingi perawatane dan kelase dhuwur je (soalnya yang kemarin perawatan dan kelasnya tinggi—orang berada). Kalau sama yang kemarin jujur ibu gak setuju. Belum apa-apanya aja udah dituntut macem-macem,” kata ibu.
Ibu setuju dan bahkan dengan tangan terbuka sekali seandainya benar jodohku. Gak puas sampai disitu, aku kirim foto itu ke bibi, pak Namli, dan minta pendapat Dini sahabatku, tanggapan mereka sehati banget. Yang intinya yaudah taaruf dulu aja. insyaAllah yang terbaik kata mereka.
Aku memberanikan diri juga menghubungi teman dekatnya yang sudah 3 tahun satu atap dengan mas itu. Aku bertanya bagiamana sifat-sifatnya. Sekilas gambaran tentang dirinya. Bahkan sebelum berangkat aku meminta doa restu dari pak Ri, ketua manasik haji yang kemarin satu kepanitiaan denganku. Kami dekat karena beliau ketuanya dan aku sekretarisnya. Beliau sudah mengangapku seperti anaknya sendiri. Selalu berusaha mendoakan aku lekas menikah.
“Nduk, kalau sudah ada yang datang, jangan ditolak. Jangan lihat fisiknya. Bismillah yang terbaik. Gek ndang.”
Semua pendapat mereka membuatku mantap. Tak lepas doa dan harapanku pada Allah. Jika memang yang terbaik, apalah daya menolak seseorang yang sudah dihadirkan di hadapanku.
Acara nyasar membuatku terlambat hampir setengah jam. Aku yang sok tahu, dan pak Namli yang belum tahu.
“Pak, mungkin efek saya grogi kali ya. Kok bisa nyasar sejauh ini,” kataku. Apalagi wa dia yang mengatakan sudah di lokasi. Makin berdebar jantungku.
Setelah sampai lokasi, kaki semakin berat melangkah. Ada yang tiba-tiba seperti serangan yang menghantam dadaku. Sebuah kiriman pesan yang hanya mampu diterjemah hati.
Pertama kali kulihat bukan dia, tapi tumpukan buku yang berjajar rapi di rak buku. Tempatnya asyik. Nyaman untuk ngobrol. Apalagi aku lebih tertarik dengan buku-buku islami. Aku lebih fokus dengan buku-bukunya. Beberapa aku foto buat referensi beli buku. Aku dalam keadaan seperti itu gak bisa duduk karena pasti ketahuan gemetar dan perasaan gak karuan. Aku memandangnya hanya sekilas karena takut membuatnya tidak nyaman—padahal pesan pak Namli lihat detail gimana dia. Yang membuatku semakin pasi adalah ketika pandangan mataku menemukannya sedang melihatku sekilas. Bagiku cukup. Aku tak perlu memandangnya lebih lama lagi. Dia memang tidak seganteng dan tidak secool yang kemarin, tapi dalam hal ketenangan, dia lebih tenang ketika dilihat. Mungkin memang agak dingin dan seperti kurang luwes. Orangnya menjaga sekali. Justru aku yang minder.
“Apa iya orang seperti dirinya mau denganku? Wanita yang masih banyak sekali kekurangan?”
Dia pintar Bahasa Arab. Pengajar Lughoh, sedangkan aku belajar Lughoh saja belum istiqamah. Dia jago nahwu shorof kata temannya, sedangkan aku? Aku bukan siapa-siapa jika disejajarkan dengan dirinya. Setelah pertemuan itu, aku justru tidak mau berharap karena aku merasa tidak sepadan dengan dirinya.
Bahkan, hingga saat ini, meski dia bilang yakin denganku, walau hanya bertemu sekali, tapi aku masih terus berhati-hati. Memang tak bisa dipungkiri kalau aku sudah melabuhkan hati. Hanya saja masih terus kujaga agar tak terlalu jatuh. Aku tahu bagaiamana rasanya jika kembali jatuh. Aku tidak akan mampu bangkit dengan mudah. Dalam berdoa yang berulang-ulang, “Allah jaga hatiku. Jangan larutkan aku dalam pilihan yang salah. Cintakan aku hanya dengan seseorang yang kelak menjadi imamku.”

Sepulang dari pertemuan itu, ibu sudah mencegatku. Beliau ingin mendengar ceritaku. Tapi aku masih bungkam. Aku justru kacau gara-gara kesalahan yang kubuat pada saat pertemuan itu. Gara-gara makan makanan yang dipesan temannyaL berasa berdosa banget. Aku sampai minta maaf dan merasa bersalah. Minta dia nge-wa temannya menyampaikan permintaan maafku. Dari situ, aku sibuk sama Hp dan nyuekin Ibu. Baru setelah hari itu, aku bisa cerita sama ibu. Bahkan tentang keluarganya secara detail. Ibu sama sekali tidak keberatan atau menampakkan ketidaksukaannya.
“Bu, sekali lagi aku tanya. Kalau sama yang ini, ibu ada ganjalan gak?”
“Mengenal dulu, jangan buru-buru”.
“Boleh aku suruh main kesini? Tapi lebaran aja,” kataku.
“Iya gakapapa. Nanti digelarke kloso kulon omah,” jawab Ibu.
 Ibu emang partner hidup yang asyik diajak ngobrol. Aku sekarang sendiko dhawuh sama ibu. Pilihan ibu yang terbaik. Kalau orang tua ridho semoga Allah pun ridho. Aamiin.
Ibu adalah tempat ternyaman buat curhat apapun. Tiap malam pasti ke kamarku. Tidur di sebelahku, memancing dengan satu pertanyaan, yang berakhir pada curhatan panjang.
Love You SO Much my Mom. You are the best Mom for me.



Bantul, 1 April 2018

Kamis, 29 Maret 2018

Aksara Rasa



Oleh        : Nin Wahyuni

Cinta terindah adalah ketika hati hanya terlabuh pada-Nya
Tergetar indah melalui aksara kalam-Nya
Rasa melalui aksara yang terbingkai indah dalam maghligai ketaatan
Pada jiwa yang merindui keshalihan
Begitulah sebenar cinta yang hakiki
Mencintai dengan jalan kesucian

Aksara rasa yang membuih kemuliaan
Mendamai hati yang terbuai rindu
Ya, serindu ini aku padamu yang jauh disana
Merapalmu dalam setiap doa-doa heningku

Mendoa di hening malam,
Agar doa cepat melesat tepat padamu
Agar aksara rasa ini terwujud dalam janji kesucian
Yang terucap indah ketika akad

Bantul, 30 Maret 2018



Pertemuan : Aita Coffee Longe Bantul



Aku takut. Takut kembali terjatuh dengan rasa sakit yang kubuat sendiri. Cinta selau datang secara tiba-tiba tanpa membuatku berfikir dulu. Semakin rasa itu aku kekang, semakin memenuhi pikiranku. Sosok itu hadir sungguh mengobati luka yang teramat dalam.

Aku belum pernah mengenal bahkan bertemupun belum pernah. Hanya sekali. Itupun aku tidak terlalu memperhatikan rupanya. Ganteng. Jelek. Lucu. Imut. Entahlah. Hanya saja sekali mata ini bertemu dengan pandangannya. Yang kurasakan kesejukan menyentuh hati. Ntahlah ini kejujuran atau hanya kekaguman semata.

Berkali-kali membawanya dalam doa-doa tanpa mau mengungkapkan apa yang terasa. Aku takut ini hanya ketergesa-gesaanku saja. Kejadian yang beberapa kali membuatku jatuh, sudah cukup membuatku menjaga hati. Jangan sampai sakit lagi.

Pertemuan di Aita Coffee Longe Bantul merupakan memorial yang tak terlupakan. Jika memang dia yang bertakdir denganku, semoga Allah ridho. Semoga Allah lancarkan segala prosesnya. Untuk saat ini aku belum bisa dengan sesuatu yang begitu cepat. Aku tidak tahu bagaimana mengenalnya lebih dekat, setidaknya dalam doaku, jika dia adalah pilihan-Nya, semoga tidak ada keraguan tentangnya.



Image result for gambar di Aita Coffe Bantul


#Bantul, 23 Maret 2018*Coretan Malam Ini*
#Late Post



Selasa, 20 Maret 2018

Fall In Love: Ketika Hati Kembali Tersentuh Cinta


Image result for gambar mencintai karena ALlah
google.com

Mendung lalu telah berganti sinar yang cerah. Lemah gemulai mencipta rindu di hamparan langit. Aku, terjatuh pada keindahan langit, yang menyimpan berjuta rahasia ke-Maha Besaran-Mu. Melukir indah tata surya dan gemintang serta benda langit yang bertebaran tanpa saling bertabrakan.

Al-Kabiir. Yang Maha Besar. Yang duduk di ‘Arsy.
Tak tersentuh oleh mata penuh dosa. Tak mampu terjamah oleh akal manusia. Tak pula terendus setan yang mencoba mencuri dengar.

Ketika hati tersentuh cinta, kutengadahkan tangan meng-angkasakan doa. Berharap cinta yang datang bukan karena inginnya nafsu duniawi. Bukan karena ketergesaan yang akhirnya menciderai. Tapi, cinta karena keridhoan Illahi.

Allah…cukup mendung lalu yang menyadarkanku bahwa, harapanku tak sejalan dengan takdir-Mu.
Cukup mendung kemarin menyadarkanku bahwa cinta tanpa ridho-Mu akan berakhir kecewa. Kemudian meninggalkan balutan luka yang dalam. Mencipta trauma yang begitu ngilu di seluruh badan.

Ketika hati tersentuh cinta, arahkan pada cinta yang sejalan dengan takdir-Mu. Karena luka tak selalu mendekatkanku pada cinta-Mu. Sungguh, aku tak ingin lagi berjalan sendiri menentukan takdirku.

Jika cinta yang datang sebentar lagi bertakdir untukku, jangan biarkan hati lena dengan bisikan syaitan yang mencoba menjauhkan dari keberkahan. Cukup Engkau sebagai penolong untuk hati yang berharap hanya pada-Mu. Menjadikan cinta sebenar pancaran kasih sayang-Mu.

 Bantul, 21 Maret 2018—Menanti Takdir IndahNya

Dekapan-Mu





Disaat ingatan kembali menyakiti, satu hal, aku ingin kembali didekap.
Aku ingin kembali tenang dengan sujud-sujud panjangku diakhir rakaat.
Mungkin seperti saat ini.
Tiba-tiba hanyut kembali dalam sesal yang mendalam.
Bukan tentang siapa, tapi tentang apa yang telah kuperbuat.
Allah... malam-Mu terlalu singkat untuk sujudku.
Terlalu singkat untuk mengadukan dosa-dosaku.
Terlalu singkat untuk hening bersama-Mu.
Tolong, sembab wajahku tak boleh membersamai pagi dan aktivitasku.
Aku tak ingin orang melihatku penuh dengan dosa semalam.
Cukup, diriku dan diri-Mu yang tahu perihal yang tersimpan.
 Image result for gambar sujud di tengah malam
Dekapan-Mu.
Kekuatan tiada banding kala berkali harus terjatuh.
Kala badan kembali terkulai lemah tak kuasa dengan beban.
Siapa lagi yang mampu menolongku selain-Mu?
Jika yang kuyakini hanya Engkau Al-Qawiyyu, untuk menguatkanku.


Bantul, 21 Maret 2018

Sabtu, 17 Maret 2018

Sekilas Tentang Bertahan


Oleh        : Nin Wahyuni
Image result for gambar orang yang bertahan
google.com

Kau uji aku sekilas aku rasa tak kuasa
Namun kusadari dan aku mengerti
Kuserahkan padamu
Takkan aku bertanya mengapa harus terjadi
Karena aku yakini tak ada beban tanpa pundak
Kau uji aku karena kubisa melewatinya
Ini yang terbaik bagi hidupku
Semua hanya ujian
(Beban tanpa Pundak__Lyric Edcoustic)

Ujian seharusnya menjadi sumber kekuatan dan perbaikan. Bukti kasih sayang-Nya dengan menguji keimanan kita kala diterpa badai masalah. Bukankah semakin besar pohon, semakin kuat pula angin berhembus? Allah ingin menempatkan pada posisi lebih tinggi dari yang lain. Memang sakit—ingin lari—pergi—dan menghilang.
Sekilas tentang bertahan. Aku sedang berkali-kali meluruskan niat untuk bertahan. Aku tahu, ini takkan mudah. Menjalani pekerjaan dengan hati yang tidak nyaman. Orang sepertiku yang susah sekali move on membuatku terperangkap dalam labirin waktu.
Menjadi guru adalah pekerjaan mulia. Sangat mulia memang. Impian orang tuaku terpikul di pundak. Impianku sejak kecil pula—menjadi seorang guru. Ternyata tidak semudah dugaanku. Menjadi guru zaman sekarang banyak pahitnya. Jika boleh memilih, aku ingin berhenti menjadi pengajar di sekolah. Aku orang yang tidak suka dengan aturan yang mengekang. Aku tipe orang yang bebas. Asyik dengan dunia sendiri. Lebih suka bermain aksara. Suka dengan dunia literasi. Diskusi tentang dunia kepenulisan. Atau asyik bermain dengan anak-anak kecil. Menciptakan rumah baca untuk anak-anak mungkin.
Bukan aku tidak bersyukur dengan keadaanku saat ini. Belum lulus kuliah sudah disalurkan kerja. Bisa membiayai biaya bimbingan skripsi sampai keperluan wisuda dari kerja kerasku ini. Tapi, hati selalu berontak dengan ketidaknyamanan dan ketidakadilan. Tetap saja, aku tertahan untuk tak pergi.
Tawaran dari pak Syahrul misalnya. Beliau menawariku untuk mengajar di SMP UA. Jika saja move on itu mudah, egois itu mudah, mungkin lebih baik aku meninggalkan tempatku saat ini. Berpindah di tempat kerja yang lebih baik.
“Kamu jangan pindah. Nanti aku gak punya teman,” kata Ucup teman sekelas, teman se-PPL yang bekerja di tempatku sekarang mengajar. Dia salah satu yang menjadi penahanku untuk tetap tinggal. Aku tahu dia lebih tertekan dariku. Seperti boneka yang diperintah kemudian disalahkan.
“Inget, kalau kamu pindah nanti SKmu harus ngulang dari awal. Kita bakal lama sertifikasinya,” dia masih berusaha meyakinkanku. Aku sebenernya masa bodoh dengan itu semua. Aku tak pernah terbesit mengejar kenaikan pangkat atau mengejar apapun. Semua kubiarkan mengalir. Chatnya selalu panjang hanya untuk meyakinkan dan menguatkanku. Bahkan, dia yang mengurus data-data emisku supaya terdaftar di Kemenag sebagai guru PAI. Dia yang mengurus akun onlineku. Sedangkan aku? Aku pasi.
“Kalau kamu mau pindah gakpapa. Tapi yang ada lowongannya 2, ya,” candanya. Kadang pengen ketawa sama tingkahnya. Dia berasa anak kecil banget tapi akhir Maret besok nikah.wkwkwk. Umurnya lebih muda satu tahun dariku. Dia teman seperjuanganku dari kuliah, menjadi  koordinasi PPL III , sampai menjadi ketua sekretaris di PPL IV. Wajar kalau kami menghebohkan sekolah karena dikira pasangan sejoli. Siswa dan guru-guru sudah sering memperbincangkan kami. Siswa yang iseng memanggilku umi dan Ucup dipanggil abi. Guyon yang bikin aku geli.
***
Seumur hidupku, baru disini dipermalukan di depan umum. Harga diri dijatuhkan sejatuh-jatuhnya didepan semua guru. Kesalahan yang seharusnya kecil, bisa tabayun, tidak perlu diumumkan. Semua membekas dalam. Hanya karena tertukar memasukkan absen siswa menjadi viral?
“Saya trauma sama guru baru” “Guru agama kok gak amanah” itu didepan siswa. Aku tahu itu bukan aku. Tapi ikut merasakan sakit hati. Kami sering jadi boneka sekolah, belum berpengalaman, tapi menjadi sasaran kesalahan. Bukankah seharusnya dibimbing?
Jujur lelah. Belum ketika di kelas. Seperti mengajar di tengah pasar. Orang-orangnya patung tak berisi. Diisi selalu tumpah. Atau suara kasar anak-anak yang kembali pada jaman jahiliyah? Anak-anak yang mulai mengalami degradasi moral. Anak-anak yang semakin tipis rasa hormatnya. Anak-anak yang kasar nada bicaranya? Berkali-kali aku harus menghela napas dalam-dalam. Sekedar menenangkan diri dan menguatkan batin. Sepengalaman mengajarku, aku tidak pernah membentak atau menggebrak meja. Tidak pernah juga galak. Tapi disini, aku menjadi orang lain. Lelah. Sering sakit memikirkan mereka.
Sekali lagi, Allah selau punya rencana indah mengapa aku tetap disini. Belajar memahami karakter mereka. Mempelajari latar belakang mereka. Latar belakang keluarga menjadi faktor dominan sikap brutal mereka. Beberapa membuatku haru. Ternyata sekolah tempatku mengajar semacam tempat rehabilitasi anak-anak bermasalah dan butuh kasih sayang. Sebagai wali kelas, aku harus tahu dengan latar belakang mereka. Ada yang broken home karena orang tuanya cerai, ada yang sudah tidak punya orang tua, ada yang tinggal bersama kakek neneknya. Belum lagi ada anak yang memang dari rumah sudah dibiarkan orang tuanya. Intinya banyak anak yang kurang kasih sayang. Bahkan beberapa orang tua selalu menghubungiku untuk curhat. Bertanya mengapa kok anaknya susah sholat, susah disuruh cium tangan kalau mau sekolah, dll. Jika orang tua sudah menyerah, lalu adilkah didikan anak sepenuhnya diserahkan pada kami? Kami diibaratkan dokter yang punya bermacam obat penyembuh. Didikan anak bukannya berasal dari rumah? Seorang ibu adalah madrasah utama bagi anaknya. Bahkan aku pernah membaca buku yang mengatakan wanita adalah tiang sebuah negara. Wanita adalah garda terdepan terciptanya peradaban. Baik buruknya peradaban ditentukan seorang wanita yang bertugas sebagai madrasah al-ula.
Atau… kurang apa kami sebagai guru? setiap hari harus kucing-kucingan mencari anak-anak yang kabur ke kantin. Alasan orang tua belum masak. Alasan orang tua sibuk. Lalu, kami harus bagaimana? Kami sudah berusaha memberinya obat penawar agar mereka bisa berubah. Berperilaku yang baik dan beradab. Tapi, justru kami yang selalu butuh obat penenang. Menenangkan pikiran kami yang selalu terserang lelah.
Pernah sekali memanggil beberapa orang tua yang anaknya bolos. Tepatnya pasca demo kepala sekolah. Keadaan kelasku mungkin tidak separah keadaan kelas lainnya yang lebih dari separuh bolos. Tetap saja kelasku adalah tanggung jawabku. Ternyata himbauan dan ancamanku before demo tidak dihiraukan. Bolak-balik aku harus ngecek absen kelas seperti orang bingung. Mencari dikerumunan orang yang berdemo. Sedih rasanya melihat anak-anak kelasku berdemo sedangkan mereka tidak tahu duduk masalahnya. Pernah tangan ini menjewer anak perempuan yang terkenal pembuat onar. Semalaman gak bisa tidur karena rasa bersalah dan takut. Semua rasa-rasa gak nentu itu yang sering membuatku tumbang. Sakit.
Jika anak memiliki HAM, apakah guru juga dilindungi HAM? Kami selalu merasa terancam. Keselamatan kami menjadi taruhan karena beberapa anak berusaha mencelakai kami.
***
Terlepas dari semua kelelahan yang kualami, disini, aku belajar arti kesabaran. Kuat mental. Berlatih menjadi leader. Belajar terus memperbaiki diri agar bisa mengajarkan kebaikan untuk mereka. Allah tak pernah menempatkan hamba-Nya disuatu tempat tanpa hikmah, bukan? Mungkin disini ladang dakwahku yang harus selalu kusyukuri. Ya, walaupun masih dengan berat hati. Semoga lelah ini berbuah kenikmatan luar biasa di hari perhitungan amal kelak.
Kau uji aku karena kubisa melewatinya
Ini yang terbaik bagi hidupku
Semua hanya ujian
***
Bantu, 18 Maret 2018~Coretan Memanggil Kantuk~pukul 2.24 Am


Untukmu yang Hampir Purna



Oleh : Nin Wahyuni
Image result for gambar hati yang sedang patah

Untukmu yang hampir purna, ini bukan sarkasme atau sindiran, tapi kuanggap sebagai teguran diri. Apapun yang menjadi kebersamaan antara kita, aku ingin berterimakasih untuk segala kesempatan yang pernah terluangkan untuk kisah lalu. Terimakasih untuk “patah hati” yang membuatku benar-benar jatuh, kemudian mampu menata hati menuju pendar Ilahi.
Dulu, janji membangun mahligai diatas janji suci begitu indah. Kini sudah hambar dan terbang terbawa pawana.
Dulu, kau kuatkan aku ketika berkali-kali tak bisa samakan prinsip.
Kini, kau yang pergi ketika aku belajar memahamimu.
Kamu yang ternyata tak bisa mencintaiku, sehingga lelah memperjuangkan kebersamaan.
Untukmu yang hampir purna, pelan-pelan aku melepaskanmu.
Berhenti peduli, berhenti mencari tahu tentangmu, berhenti meninggalkan jejak di status-statusmu. Aku memilih hening. Sehening doa-doaku diujung malam penuh ketenangan.  
Pun seperti yang kau bilang, tidak menemukanku dalam “Istikharahmu”, aku belajar menerima garis takdir-Nya. Segala penerimaan yang meninggalkan jejak paling dalam di relung hati.
Jiwaku patah. Jiwaku hampa. Aku protes dengan ketidakadilan Tuhan padaku. Sempat terfikir melawan takdir-Nya dengan mendoamu di waktu-waktu mustajab.
Aku menyerah. Aku lelah. Aku takkan bisa melawan kekuatan Sang Maha Dahsyat.
Allah lebih tahu perihal diriku.
Sekali lagi, aku berterimakasih padamu yang hampir purna. Aku sudah benar-benar menghentikan langkah memperjuangkanmu dalam doa-doaku.
“Patah Hati” yang kau beri telah memberi banyak arti dalam hidupku.
Aku belajar arti kehilangan untuk bersiap menyambut berlipat hadiah dari kesabaranku.
Allah tak pernah tidur. Dia semakin menunjukkan dirimu yang tidak selaras denganku.
Untukmu yang hampir purna, aku tak lagi menahanmu untuk semakin pergi, karena akupun tak peduli lagi dengan hadir maupun pergimu.
Allah, “Jangan larutkan aku dalam pilihan yang salah”.

Bantul, 17 Maret 2018~Renungan dalam dekap Malam