Oleh: Nin
Wahyuni
Bisikan merdu terus bertalu di
telingaku. Ingin rasanya mengabaikan, namun ia sangat dekat, sedekat hati pada
kerinduan. Tak ada yang bisa mengusirnya—karena ini memang sebuah rindu, yang
sulit untuk berpaling.
Bingung.
Hatiku terus merutuki perasaan
yang akhir-akhir ini hadir—mengacaukan ketenanganku. Mmm…tunggu! Ini bukan
sebuah kekacauan. Bukankah kubilang tadi sebuah kerinduan? Ya, sebuah kerinduan
yang telah lama kuimpikan.
Mimpi? apakah orang sepertiku
masih memiliki mimpi? tepatnya masihkah pantas orang sepertiku bermimpi? aku
telah hancur. Lembaran-lembaranku telah ternoda tinta pekat. Tak mudah
terhapus.
Harapan.
Jika semua telah terenggut,
setidaknya aku masih memiliki harapan—paling tidak, sesuatu yang membuatku tak
mengakhiri hidupku saat ini. Aku masih
percaya dengan “keajaiban”, yang sebenarnya aku sendiri tak teralu percaya.
Tapi, laaah biarlah. Intinya, aku belum siap mati.
Banyak yang menertawakan
harapan sederhanaku. Bahkan diriku pun menertawakannya. Yaitu menjadi Fatimah
yang menemukan cinta Ali. Yah, aku merindukan sosok teduh dalam hidupku. Yang mampu
membawaku menghirup aroma syurga.
Masa lalu, bukankah dia terus
menjauh pergi? Tapi mengapa malam-malamku selalu dihiasi ketakutan? Bukan
karena masa lalu, tapi apa yang ada di masa lalu yang terus membuntuti sepanjang
waktu. Membuatku sangat takut.
Oh…suara-suara
pergilah!aku sungguh tak mengerti! jeritku seorang diri.
Semilir rona jingga berembus
menyibakkan rambutku. Menatap menawannya langit di sore hari. Terpekur aku
seorang diri, ditemani goyangan rumput-rumput disekitarku. Hari menjelang
gelap. Suara itu kembali terdengar merdu di telingaku, bersamaan tenggelamnya
rona merah jambu penghias langit, hanyut terbawa kelamnya malam.
Aku masih duduk sendiri di galengan
sawah. Menanti diriku tenggelam jua dalam penghayatan kalimat-kalimat yang
sebenarnya tak asing bagiku. Yang sehari ada lima kali suara itu berdengung di
telingaku, yang sering kuabaikan. Orang menyebutnya Adzan. Sebuah panggilan.
Seperti yang kurasakan saat ini—di hatiku—sebuah panggilan untuk kembali.
***
“Zahra, kamu sudah siap?” kata
seorang laki-laki yang menyadarkanku dari lamunan. Dengan tangan gemetar,
kuterima kartu nama serta kunci kamar sebuah hotel berbintang. Tertulis kamar
103. Air mataku kembali beruraian. Kutangkup tanganku menutupi wajahku. Bukan!
Bukan karena tak ingin lelaki dihadapanku melihat bengkak mataku yang semalaman
tak henti menangis, dan kini harus kembali beruraian air mata lagi. Tapi
menahan perih di ulu hati, yang tak tahu harus kututup dengan apa rasa sakit
ini.
“Zahra, ini demi kita. Demi
masa depan kita. Kita butuh uang untuk pernikahan kita, bukan?” dengan
santainya ia berkata seperti itu padaku. Dengan sok mesra, dia mengecup
keningku dan—.
“Lepaskan!” rontaku.
“Demi masa depan kita? Dengan merelakanku
menjadi budak nafsu para pejabat-pejabat itu! itukah yang disebut cinta?kamu
itu—,” belum sempat kulanjutkan cercaanku, mulutku dibungkamnya.
“Sstt… Zahra, aku menyayangimu.
Jangan pernah beranggapan buruk tentangku. Tak ada pilihan, Zah. Kalau aku
sudah bekerja, aku akan mengganti semua kerugianmu dan menikahimu. Tapi…,”
“Tapi apa? Aku muak dengan
janji-janjimu! Seharusnya kau melindungiku, bukan melemparkanku kelembah nista
itu! aku ingin hidup terhormat. Malam ini, ummm aku ingin mengakhiri
semuanya,” kataku kemudian sambil tertunduk. Kuremas kunci dan kartu nama itu.
Kuinjak tanpa ampun. Kemudian berlalu dari hadapan lelaki yang kini membuatku
muak.
Adit masih mematung sambil
mengepalkan tangannya.
“Zahra! Jangan pernah berfikir
untuk lepas dariku. Kamu adalah milikku, Zah!”
***
Entahlah, pagi ini aku banyak memandang langit. Aku tak
melihat sesuatupun yang indah. Hanya saja, aku merasa sangat terusik dengan
suara yang menggetarkan sanubari, hingga kutemukan satu kata ajaib—yaitu rindu.
Rasa yang sangat mengusik untuk segera bertanya pada hati, sesungguhnya rindu
ini untuk siapa?
Mentari yang masih malu-malu memaksaku untuk keluar dari
persegi kamarku, untuk menatap keindahan lain di langit jauh.
Entah sebuah reflex atau memang seruan hati, tanganku
begitu cepat menyambar kerudung paris untuk penutup kepalaku. Tak terlalu rapi,
tak lebar, dan tak berpeniti. Terkesan asal-asalan.
“Kak, sekarang kakak cantik dengan balutan
jilbab,”kata Nayla adikku. Dia masih berumur 6 tahun. Sangat polos.
“Kakak pergi dulu ya, Nay?”
sembari kukecup kening Nayla kemudian pergi.
“Zah!” panggil seorang
laki-laki menghampiriku.
“Maafkan aku, Zah. Kemarin aku
khilaf. Bisakah kita balikan?”bujuknya dengan nada pengemis yang ngakunya tidak
makan tiga minggu.
“Adit, lebih baik kita
berpisah,” sahutku.
“Gak, Zah! Aku sangat takut
kehilanganmu!”
“Takut? Kamu takut kehilangan
aset berhargamu? Jika asetmu ini pergi, kamu tidak punya pendapatan lagi dan
gak bisa bersenang-senang dengan pacar-pacarmu?” tuduhku.
“Kamu ngomong apa sih Zah? Kamu
wanita satu-satunya yang…Zah!” panggilnya yang belum sempat menyelesaikan
kalimatnya. Aku tak ingin mendengar apapun lagi darinya.
***
Tak terasa kakiku membawaku
pada sebuah Masjid yang begitu teduh. Gemetar seluruh tubuhku. Setiap setapak
kakiku, kurasakan tarikan yang begitu kuat. Semakin kuat. Semakin dekat dengan
kerinduan. Hingga sampailahku di depan pintu Masjid. Sudah tak terhitung lagi
berapa bulir air mataku menetes. Aku langsung berhambur menuju tempat sujud. Menumpahkan
segala rasa dalam sujud panjangku.
Tuhan masih mau memelukku
sekali lagi dengan lebih erat.
“Maa syaa Allah Zahra! Kamu
kenapa?” katanya Afifah yang tiba-tiba datang dan memelukku. Aku tersedu dalam
pelukannya. Memeluknya sangat erat, menyalurkan seluruh rasa sakitku. Aku sudah
tak sanggup menahan beban perasaanku.
“Fah, aku…” kata-kataku
tersendat, tak mampu lagi berkata-kata.
“Sudah, Zah kamu tak perlu
bercerita apapun lagi padaku saat ini. Sekarang tinggallah bersamaku di asrama.
Tenangkan pikiranmu dan bukalah lembaran baru. Kamu berhak bahagia, Zah,” nasehat
Afifah. Dia membawaku ke sebuah asrama yang rata-rata dengan akhwat berkerudung
lebar. Berkali-kali aku menunduk malu dengan penampilanku.
“Zah, ini kamarmu ya. Biar deket
sama kamarku,” kata Afifah menunjuk sebuah pintu yang bertuliskan, “WELCOME TO
MY BESFRIEND”.
Di tempat tinggal baruku, semua
kehidupanku serba baru. Lingkungan yang Islami membuatku semakin mantap dengan
langkah kakiku. Ilmu agama semakin banyak kureguk. Setiap minggu pagi selalu
ada kajian di Masjid dekat asrama.
Pagi itu, dengan Gamis putih
dan alat tulis di tangan, aku melangkahkan kaki menuju Masjid dekat asrama. Hari
ini Afifah berbaik hati meminjamkanku pakaian. Dia yang mendandaniku menjadi
seorang ukhti yang Maasyaa Allah, dengan kerudung lebar.
Aku terlihat berbeda di depan
cermin. Aku mengagumi diriku yang begitu anggun.
“Zah! Jangan ngalamun dong. Cantik
gak dandananku? Dijamin deh nanti ikhwan-ikhwan di masjid Al-Kautsar itu pada
kepincut,” candanya. Aku hanya melempar senyum. Tak pernah kusangka memiliki
sahabat sebaik Afifah.
Sesampainya di Masjid dengan gaya
arsitektur modern, dengan dinding dan lantai berlapis marmer, aku duduk di depan
pintu menunggu Afifah yang izin ke kamar mandi.
“Assalamu’alaikum. Dari tadi?” seorang
lelaki menyapaku.
“Wa’alaikumsalam. Baru aja,
Mas,”jawabku pada laki-laki itu. Dia sebaya denganku, tapi agak tua sedikit
dariku. Dia sungguh berwibawa dengan koko putihnya.
Astagfirullah… apa yang sedang kupikirkan?, rutukku dalam hati.
“Kosmu dimana? Kok jam segini udah ada di masjid? Anak
baru ya?” tanyanya lagi.
“Saya tinggal di asrama dekat
Masjid ini, Mas. Iya saya santri baru,” jawabku sedikit gugup. Selang tak
berapa lama, jamaah lainnya berdatangan. Kami pun mengakhiri perbincangan.
Faisal. Nama orang itu. Suara
tilawahnya menggetarkan kalbuku. Desiran aneh menyelinap ke seluruh pori-pori
kulitku. Membuatku merinding.
“Zahra, kamu kenapa?” kata Afifah mengagetkanku.
Aku hanya menggeleng. Apakah gerakanku mengundang perhatian? sesekali kuremas
bajuku menahan perasaan yang entah apa—aku tak mengerti dengan yang
kurasakan—ia aneh, bagai aliran listrik—memberikan getaran. Ketika kuangkat
kepalaku, orang itu sedang menatap kearahku. Aku semakin salah tingkah.
Mendadak tubuhku kaku. Pena yang kupegang, semakin erat dalam genggaman. Tangan
kaku untuk menulis.
“Zahra! Kamu kenapa? Kamu pucat
sekali. Kamu sakit?” kata Afifah lagi dengan nada khawatir.
“Aku baik-baik saja Fah,”sergahku
menahan gejolak perasaan. Aku terlihat seperti orang linglung. Orang itu
sungguh menghipnotisku. Susah kupalingkan pandanganku, demi melihat senyumannya.
Seketika, kusadarkan diriku, sebelum setan memerangkapkan rasaku.
***
“Zahraaa! Barokallah, ya!”
teriak Afifah di kamarku. Aku bingung memandangnya. Kutempelkan telapak
tanganku ke kepalanya.
“ihhh… Zahra! Aku gak sakit, tau!”
“Habis kamu aneh,”timpalku. Afifah
menceritakan tentang Faisal. Ia bertanya tentangku? Ia ingin mengenalku lebih
jauh? Deg. Desiran jantungku semakin kencang.
“Gimana, Zah? Maa Syaa Allah…
dia itu hafidz hlo. Mau ya aku kenalin?” rayu Afifah padaku.
“ Gak usah, Fah. Aku takut
mengecewakannya,” jawabku lesu. Seorang hafidz dengan senyuman menawan itu,
apakah pantas mendapatkan wanita sepertiku? Aku harus sesegera mungkin
mematikan letupan perasaan yang sejak tadi mengusikku, sebelum menjadi bom yang
sulit dijinakkan.
“Yah, sebagai teman aku kecewa
deh. Yaudah buat aku aja giman?” candanya lagi, sambil menowel hidungku.
“Yaudah ambil aja sana, kalau dia
mau sama kamu,” balasku. Aku dan Afifah larut dalam candaan. Tanpa sadar adzan
magrib berkumandang. Afifah berlalu dengan ejekannya.
***
Wajah itu. Senyum itu. Suara merdu
itu…
Semua masih terekam jelas di otakku.
Berulangkali kupejamkan mata untuk melupakan semua, tapi justru bayangan itu
semakin jelas—semakin membuat hatiku tergetar.
Duhai hati,
Berdamailah
Aku tak ingin membangun asa di
tiang yang rapuh
Jangan lagi bermekaran, karena
rasa sakit itu masih membekas
Jika aku boleh bertanya,
masihkah layak bunga yang hampir gugur, dipupuk kembali?
Bukankah ia seharusnya
dibiarkan gugur sendiri, karena tak ada lagi kebermaknaan dalam hidupnya?
Kubiarkan air mataku terurai indah
merembesi kertas di hadapanku. Dengan masih melukis indah wajah yang tadi pagi
menggetarkan hatiku.
Mungkin, memang sebaiknya tak
pernah menumbuhkan harapan apapun dengan lelaki yang kukenal tadi pagi. Ini
adalah pertemuan pertama, namun terasa begitu aneh. Seperti siluet yang sukses
menerobos dinding kaca. Tapi, mungkin ini sebuah kesalahan rasa, hatiku tak
lagi berdinding kaca—tepatnya telah hancur. Dia salah. Dan ini harus
diakhiri—oleh diriku sendiri.
***
“Zahra, sebelumnya maaf dengan
segala kelancanganku. Tapi aku ingin jujur padamu. Aku menyukaimu. Apakah kamu
menerima perasaanku?” kata seorang laki-laki menggetarkan hatiku. Aku terdiam.
Menerawang jauh kedepan. Aku hafal betul kata-kata itu. Luka kembali menguak. Adit.
Yah, laki-laki itu pernah mengatakan itu padaku. Pernah membuatku sangat
melambung, kemudian aku mendadak muak dengan kata-kata itu. Beberapa kali
langkahku mundur, untuk menjauhi orang dihadapanku. Aku tak berani menatap
wajahnya.
“Zah, kamu kenapa?” kata laki-laki
itu mengagetkanku dari lamunan. Ia menyadarkanku bahwa yang berbicara bukanlah Adit.
Kuberanikan diri menatapnya lekat-lekat. Memastikan bahwa benar dia bukan Adit.
Kemudian kutundukkan lagi wajahku.
“Mmm…maaf, aku—,” kataku tak
sanggup mengeluarkan kata-kata. Aku hanya tertunduk menahan air mata yang sulit
untuk kubendung.
“Kenapa, Zah? Aku ingin menjadi
Ali yang selalu dirindukan Fatimah, yang selalu dinanti kedatangannya dengan
doa pengharapanmu.”
Aku semakin dalam menundukkan wajahku.
“Zah, aku mencintaimu karena
Allah. Halallah bersamaku,” bujuknya. Aku hanya terdiam, mengucurkan air mata
yang kian deras. Tak satupun kata keluar dari bibirku. Kemudian aku pergi
meninggalkannya seorang diri di pelataran Masjid Al-Kautsar.
***
Kudengar Handphoneku berdering. Afifah
mengirim pesan dari Faisal. Ia masih menanti jawaban dariku. Membuatku tercekat
membaca pesan Afifah. Ada rasa bahagia menyelinap di hatiku.
Bersamaan dengan kabar gembira
itu, seorang teman mengetuk pintu kamarku.
“Zahra, ada seorang laki-laki yang ingin
bertemu denganmu,” kata Sinta yang kamarnya di lantai bawah. Aku mendadak
memikirkan sosok Faisal, yang segera kutepis. Aku bergegas memakai kerudungku.
Ketika kubuka pintu asrama, tanganku mendadak kaku. Laki-laki itu menoleh.
“Zahra? Kamu?” katanya sambil memandangi
dari ujung rambut hingga ujung kaki yang kini tertutup rapi. Bukan Zahra yang
dulu berpakaian mini.
Dengan segera, kututup lagi pintu
asrama, namun ia berhasil menahannya. Ia hendak meraih tanganku, kemudian
kutepis.
“Oh, Zahra yang sekarang sok suci, ya?
Ingat Zah, siapa dirimu yang dulu! Wanita penghibur!” teriaknya. Aku kembali
menitikkan air mata. Hatiku semakin perih karena tiba-tiba sosok Faisal berdiri
tepat dibelakangnya. Faisal berdiri mematung. Terlihat syok.
“Jangan pernah ganggu hidupku lagi!”
teriakku menutup telinga sambil meyandarkan tubuhku di tembok. Lemas sudah
rasanya tubuhku. Tapi Adit yang tanpa hati itu terus menguak semua aibku
dihadapan Faisal, kemudian berlalu dengan tawa kemenangan.
Faisal berjalan mendekat.
“Pergi! Jangan dekati aku. Jangan pernah
berharap atau memberikan harapan apapun padaku. Kini kamu sudah tahu alasanku,
tanpa harus kujelaskan sendiri,” cercahku. Dia kemudian tertunduk.
“Zah, aku sudah tahu dari Afifah. Jangan
pernah menghukum dirimu, Zah. Hatimu juga membutuhkan cinta, usah kau
penjarakan dengan luka di masa lalumu. Kamu berhak bahagia, Zah. Izinkan aku
menuntunmu. Izinkan aku membangun lagi cinta di istanamu,”
“Aku sudah tak percaya dengan cinta. Aku
hanya ingin menjalani hidupku dengan tenang, dengan kedamaian disisa umurku
ini. Aku tak butuh cinta dari seorang seperti Adit atupun dirimu.”
“Jangan samakan aku dengan Adit. Aku ingin
membuatmu percaya lagi dengan ketulusan cinta yang aku punya. Aku tak pernah
mempermasalahkan siapa dirimu di masa lalu, tapi siapa dirimu saat ini dan masa
depan. Jadilah istriku, Zahra Karunia Utami. Jadilah penyempurna separuh
agamaku,” katanya yang mulai terbata-bata. Tak kusangka, di depan asrama banyak
santri menjadi saksi. Mereka memelukku, memberi restu. Tak ada daya menolaknya
lagi, selain bersedia menjadi Fatimah dan menerimanya sebagai Ali.
Malam harinya, dia mendatangi
kedua orang tuaku, untuk melamarku.
Kepercayaan
akan cinta kini kudapat kembali. Dan kutemukan cinta-Nya menggetarkan kalbu. Inikah
panggilan cinta-Nya? Begitu indah merengkuh hatiku.
***
jangan terlalu meratapi masa lalu karna tidak sepenuhnnya masa lalu itu salah akan tetapi diri lah yang menjadikan masa itu terjdi seperti apa?
BalasHapusentah apa dan bagaimana hidup semestinya berjalan yang pasti dgn kemantapan cinta disetiap langkah kita akan membangunkan semngat gelora kita se MAX mungkn
makasih sebelumnya udah komen. boleh dong q minta kasih masukan bagaimana alur ceritanya, tokoh, klimaksnya, pesannya sampai gak ke pembaca, dan ada kata2 yang rancu gak?
BalasHapus