Minggu, 18 Oktober 2015

Menemukan Cinta Ali



Oleh: Nin Wahyuni

Bisikan merdu terus bertalu di telingaku. Ingin rasanya mengabaikan, namun ia sangat dekat, sedekat hati pada kerinduan. Tak ada yang bisa mengusirnya—karena ini memang sebuah rindu, yang sulit untuk berpaling.
Bingung.
Hatiku terus merutuki perasaan yang akhir-akhir ini hadir—mengacaukan ketenanganku. Mmm…tunggu! Ini bukan sebuah kekacauan. Bukankah kubilang tadi sebuah kerinduan? Ya, sebuah kerinduan yang telah lama kuimpikan.  
Mimpi? apakah orang sepertiku masih memiliki mimpi? tepatnya masihkah pantas orang sepertiku bermimpi? aku telah hancur. Lembaran-lembaranku telah ternoda tinta pekat. Tak mudah terhapus.
Harapan.
Jika semua telah terenggut, setidaknya aku masih memiliki harapan—paling tidak, sesuatu yang membuatku tak mengakhiri hidupku saat ini.  Aku masih percaya dengan “keajaiban”, yang sebenarnya aku sendiri tak teralu percaya. Tapi, laaah biarlah. Intinya, aku belum siap mati.
Banyak yang menertawakan harapan sederhanaku. Bahkan diriku pun menertawakannya. Yaitu menjadi Fatimah yang menemukan cinta Ali. Yah, aku merindukan sosok teduh dalam hidupku. Yang mampu membawaku menghirup aroma syurga.
Masa lalu, bukankah dia terus menjauh pergi? Tapi mengapa malam-malamku selalu dihiasi ketakutan? Bukan karena masa lalu, tapi apa yang ada di masa lalu yang terus membuntuti sepanjang waktu. Membuatku sangat takut.
Oh…suara-suara pergilah!aku sungguh tak mengerti! jeritku seorang diri.
Semilir rona jingga berembus menyibakkan rambutku. Menatap menawannya langit di sore hari. Terpekur aku seorang diri, ditemani goyangan rumput-rumput disekitarku. Hari menjelang gelap. Suara itu kembali terdengar merdu di telingaku, bersamaan tenggelamnya rona merah jambu penghias langit, hanyut terbawa kelamnya malam.
Aku masih duduk sendiri di galengan sawah. Menanti diriku tenggelam jua dalam penghayatan kalimat-kalimat yang sebenarnya tak asing bagiku. Yang sehari ada lima kali suara itu berdengung di telingaku, yang sering kuabaikan. Orang menyebutnya Adzan. Sebuah panggilan. Seperti yang kurasakan saat ini—di hatiku—sebuah panggilan untuk kembali.
***
“Zahra, kamu sudah siap?” kata seorang laki-laki yang menyadarkanku dari lamunan. Dengan tangan gemetar, kuterima kartu nama serta kunci kamar sebuah hotel berbintang. Tertulis kamar 103. Air mataku kembali beruraian. Kutangkup tanganku menutupi wajahku. Bukan! Bukan karena tak ingin lelaki dihadapanku melihat bengkak mataku yang semalaman tak henti menangis, dan kini harus kembali beruraian air mata lagi. Tapi menahan perih di ulu hati, yang tak tahu harus kututup dengan apa rasa sakit ini.

“Dit, pernah gak berfikir tentang bagaimana perasaanku?” kataku kemudian.
“Zahra, ini demi kita. Demi masa depan kita. Kita butuh uang untuk pernikahan kita, bukan?” dengan santainya ia berkata seperti itu padaku. Dengan sok mesra, dia mengecup keningku dan—.
“Lepaskan!” rontaku.
“Demi masa depan kita? Dengan merelakanku menjadi budak nafsu para pejabat-pejabat itu! itukah yang disebut cinta?kamu itu—,” belum sempat kulanjutkan cercaanku, mulutku dibungkamnya.
“Sstt… Zahra, aku menyayangimu. Jangan pernah beranggapan buruk tentangku. Tak ada pilihan, Zah. Kalau aku sudah bekerja, aku akan mengganti semua kerugianmu dan menikahimu. Tapi…,”
“Tapi apa? Aku muak dengan janji-janjimu! Seharusnya kau melindungiku, bukan melemparkanku kelembah nista itu! aku ingin hidup terhormat. Malam ini, ummm aku ingin mengakhiri semuanya,” kataku kemudian sambil tertunduk. Kuremas kunci dan kartu nama itu. Kuinjak tanpa ampun. Kemudian berlalu dari hadapan lelaki yang kini membuatku muak.
Adit masih mematung sambil mengepalkan tangannya.
“Zahra! Jangan pernah berfikir untuk lepas dariku. Kamu adalah milikku, Zah!”
***
Entahlah, pagi ini aku banyak memandang langit. Aku tak melihat sesuatupun yang indah. Hanya saja, aku merasa sangat terusik dengan suara yang menggetarkan sanubari, hingga kutemukan satu kata ajaib—yaitu rindu. Rasa yang sangat mengusik untuk segera bertanya pada hati, sesungguhnya rindu ini untuk siapa?
Mentari yang masih malu-malu memaksaku untuk keluar dari persegi kamarku, untuk menatap keindahan lain di langit jauh.
Entah sebuah reflex atau memang seruan hati, tanganku begitu cepat menyambar kerudung paris untuk penutup kepalaku. Tak terlalu rapi, tak lebar, dan tak berpeniti. Terkesan asal-asalan.
 “Kak, sekarang kakak cantik dengan balutan jilbab,”kata Nayla adikku. Dia masih berumur 6 tahun. Sangat polos.
“Kakak pergi dulu ya, Nay?” sembari kukecup kening Nayla kemudian pergi.
“Zah!” panggil seorang laki-laki menghampiriku.
“Maafkan aku, Zah. Kemarin aku khilaf. Bisakah kita balikan?”bujuknya dengan nada pengemis yang ngakunya tidak makan tiga minggu.
“Adit, lebih baik kita berpisah,” sahutku.
“Gak, Zah! Aku sangat takut kehilanganmu!”
“Takut? Kamu takut kehilangan aset berhargamu? Jika asetmu ini pergi, kamu tidak punya pendapatan lagi dan gak bisa bersenang-senang dengan pacar-pacarmu?” tuduhku.
“Kamu ngomong apa sih Zah? Kamu wanita satu-satunya yang…Zah!” panggilnya yang belum sempat menyelesaikan kalimatnya. Aku tak ingin mendengar apapun lagi darinya.
***
Tak terasa kakiku membawaku pada sebuah Masjid yang begitu teduh. Gemetar seluruh tubuhku. Setiap setapak kakiku, kurasakan tarikan yang begitu kuat. Semakin kuat. Semakin dekat dengan kerinduan. Hingga sampailahku di depan pintu Masjid. Sudah tak terhitung lagi berapa bulir air mataku menetes. Aku langsung berhambur menuju tempat sujud. Menumpahkan segala rasa dalam sujud panjangku.
Tuhan masih mau memelukku sekali lagi dengan lebih erat.
Maa syaa Allah Zahra! Kamu kenapa?” katanya Afifah yang tiba-tiba datang dan memelukku. Aku tersedu dalam pelukannya. Memeluknya sangat erat, menyalurkan seluruh rasa sakitku. Aku sudah tak sanggup menahan beban perasaanku.
“Fah, aku…” kata-kataku tersendat, tak mampu lagi berkata-kata.
“Sudah, Zah kamu tak perlu bercerita apapun lagi padaku saat ini. Sekarang tinggallah bersamaku di asrama. Tenangkan pikiranmu dan bukalah lembaran baru. Kamu berhak bahagia, Zah,” nasehat Afifah. Dia membawaku ke sebuah asrama yang rata-rata dengan akhwat berkerudung lebar. Berkali-kali aku menunduk malu dengan penampilanku.
“Zah, ini kamarmu ya. Biar deket sama kamarku,” kata Afifah menunjuk sebuah pintu yang bertuliskan, “WELCOME TO MY BESFRIEND”.
Di tempat tinggal baruku, semua kehidupanku serba baru. Lingkungan yang Islami membuatku semakin mantap dengan langkah kakiku. Ilmu agama semakin banyak kureguk. Setiap minggu pagi selalu ada kajian di Masjid dekat asrama.
Pagi itu, dengan Gamis putih dan alat tulis di tangan, aku melangkahkan kaki menuju Masjid dekat asrama. Hari ini Afifah berbaik hati meminjamkanku pakaian. Dia yang mendandaniku menjadi seorang ukhti yang Maasyaa Allah, dengan kerudung lebar.
Aku terlihat berbeda di depan cermin. Aku mengagumi diriku yang begitu anggun.
“Zah! Jangan ngalamun dong. Cantik gak dandananku? Dijamin deh nanti ikhwan-ikhwan di masjid Al-Kautsar itu pada kepincut,” candanya. Aku hanya melempar senyum. Tak pernah kusangka memiliki sahabat sebaik Afifah.
Sesampainya di Masjid dengan gaya arsitektur modern, dengan dinding dan lantai berlapis marmer, aku duduk di depan pintu menunggu Afifah yang izin ke kamar mandi.
“Assalamu’alaikum. Dari tadi?” seorang lelaki menyapaku.
“Wa’alaikumsalam. Baru aja, Mas,”jawabku pada laki-laki itu. Dia sebaya denganku, tapi agak tua sedikit dariku. Dia sungguh berwibawa dengan koko putihnya.
Astagfirullah… apa yang sedang kupikirkan?, rutukku dalam hati.
“Kosmu dimana? Kok jam segini udah ada di masjid? Anak baru ya?” tanyanya lagi.
“Saya tinggal di asrama dekat Masjid ini, Mas. Iya saya santri baru,” jawabku sedikit gugup. Selang tak berapa lama, jamaah lainnya berdatangan. Kami pun mengakhiri perbincangan.
              Faisal. Nama orang itu. Suara tilawahnya menggetarkan kalbuku. Desiran aneh menyelinap ke seluruh pori-pori kulitku. Membuatku merinding.
              “Zahra, kamu kenapa?” kata Afifah mengagetkanku. Aku hanya menggeleng. Apakah gerakanku mengundang perhatian? sesekali kuremas bajuku menahan perasaan yang entah apa—aku tak mengerti dengan yang kurasakan—ia aneh, bagai aliran listrik—memberikan getaran. Ketika kuangkat kepalaku, orang itu sedang menatap kearahku. Aku semakin salah tingkah. Mendadak tubuhku kaku. Pena yang kupegang, semakin erat dalam genggaman. Tangan kaku untuk menulis.
              “Zahra! Kamu kenapa? Kamu pucat sekali. Kamu sakit?” kata Afifah lagi dengan nada khawatir.
              “Aku baik-baik saja Fah,”sergahku menahan gejolak perasaan. Aku terlihat seperti orang linglung. Orang itu sungguh menghipnotisku. Susah kupalingkan pandanganku, demi melihat senyumannya. Seketika, kusadarkan diriku, sebelum setan memerangkapkan rasaku.
***
              “Zahraaa! Barokallah, ya!” teriak Afifah di kamarku. Aku bingung memandangnya. Kutempelkan telapak tanganku ke kepalanya.
              “ihhh… Zahra! Aku gak sakit, tau!”
              “Habis kamu aneh,”timpalku. Afifah menceritakan tentang Faisal. Ia bertanya tentangku? Ia ingin mengenalku lebih jauh? Deg. Desiran jantungku semakin kencang.
              “Gimana, Zah? Maa Syaa Allah… dia itu hafidz hlo. Mau ya aku kenalin?” rayu Afifah padaku.
              “ Gak usah, Fah. Aku takut mengecewakannya,” jawabku lesu. Seorang hafidz dengan senyuman menawan itu, apakah pantas mendapatkan wanita sepertiku? Aku harus sesegera mungkin mematikan letupan perasaan yang sejak tadi mengusikku, sebelum menjadi bom yang sulit dijinakkan.  
              “Yah, sebagai teman aku kecewa deh. Yaudah buat aku aja giman?” candanya lagi, sambil menowel hidungku.
              “Yaudah ambil aja sana, kalau dia mau sama kamu,” balasku. Aku dan Afifah larut dalam candaan. Tanpa sadar adzan magrib berkumandang. Afifah berlalu dengan ejekannya.
***
              Wajah itu. Senyum itu. Suara merdu itu…
     Semua masih terekam jelas di otakku. Berulangkali kupejamkan mata untuk melupakan semua, tapi justru bayangan itu semakin jelas—semakin membuat hatiku tergetar.
     Duhai hati,
     Berdamailah
     Aku tak ingin membangun asa di tiang yang rapuh
     Jangan lagi bermekaran, karena rasa sakit itu masih membekas
     Jika aku boleh bertanya, masihkah layak bunga yang hampir gugur, dipupuk kembali?
     Bukankah ia seharusnya dibiarkan gugur sendiri, karena tak ada lagi kebermaknaan dalam hidupnya?
              Kubiarkan air mataku terurai indah merembesi kertas di hadapanku. Dengan masih melukis indah wajah yang tadi pagi menggetarkan hatiku.
              Mungkin, memang sebaiknya tak pernah menumbuhkan harapan apapun dengan lelaki yang kukenal tadi pagi. Ini adalah pertemuan pertama, namun terasa begitu aneh. Seperti siluet yang sukses menerobos dinding kaca. Tapi, mungkin ini sebuah kesalahan rasa, hatiku tak lagi berdinding kaca—tepatnya telah hancur. Dia salah. Dan ini harus diakhiri—oleh diriku sendiri.
***
              “Zahra, sebelumnya maaf dengan segala kelancanganku. Tapi aku ingin jujur padamu. Aku menyukaimu. Apakah kamu menerima perasaanku?” kata seorang laki-laki menggetarkan hatiku. Aku terdiam. Menerawang jauh kedepan. Aku hafal betul kata-kata itu. Luka kembali menguak. Adit. Yah, laki-laki itu pernah mengatakan itu padaku. Pernah membuatku sangat melambung, kemudian aku mendadak muak dengan kata-kata itu. Beberapa kali langkahku mundur, untuk menjauhi orang dihadapanku. Aku tak berani menatap wajahnya.
              “Zah, kamu kenapa?” kata laki-laki itu mengagetkanku dari lamunan. Ia menyadarkanku bahwa yang berbicara bukanlah Adit. Kuberanikan diri menatapnya lekat-lekat. Memastikan bahwa benar dia bukan Adit. Kemudian kutundukkan lagi wajahku.
              “Mmm…maaf, aku—,” kataku tak sanggup mengeluarkan kata-kata. Aku hanya tertunduk menahan air mata yang sulit untuk kubendung.
              “Kenapa, Zah? Aku ingin menjadi Ali yang selalu dirindukan Fatimah, yang selalu dinanti kedatangannya dengan doa pengharapanmu.”
     Aku semakin dalam menundukkan wajahku.
              “Zah, aku mencintaimu karena Allah. Halallah bersamaku,” bujuknya. Aku hanya terdiam, mengucurkan air mata yang kian deras. Tak satupun kata keluar dari bibirku. Kemudian aku pergi meninggalkannya seorang diri di pelataran Masjid Al-Kautsar.
***
              Kudengar Handphoneku berdering. Afifah mengirim pesan dari Faisal. Ia masih menanti jawaban dariku. Membuatku tercekat membaca pesan Afifah. Ada rasa bahagia menyelinap di hatiku.
              Bersamaan dengan kabar gembira itu, seorang teman mengetuk pintu kamarku.
     “Zahra, ada seorang laki-laki yang ingin bertemu denganmu,” kata Sinta yang kamarnya di lantai bawah. Aku mendadak memikirkan sosok Faisal, yang segera kutepis. Aku bergegas memakai kerudungku. Ketika kubuka pintu asrama, tanganku mendadak kaku. Laki-laki itu menoleh.
     “Zahra? Kamu?” katanya sambil memandangi dari ujung rambut hingga ujung kaki yang kini tertutup rapi. Bukan Zahra yang dulu berpakaian mini.
              Dengan segera, kututup lagi pintu asrama, namun ia berhasil menahannya. Ia hendak meraih tanganku, kemudian kutepis.
     “Oh, Zahra yang sekarang sok suci, ya? Ingat Zah, siapa dirimu yang dulu! Wanita penghibur!” teriaknya. Aku kembali menitikkan air mata. Hatiku semakin perih karena tiba-tiba sosok Faisal berdiri tepat dibelakangnya. Faisal berdiri mematung. Terlihat syok.
     “Jangan pernah ganggu hidupku lagi!” teriakku menutup telinga sambil meyandarkan tubuhku di tembok. Lemas sudah rasanya tubuhku. Tapi Adit yang tanpa hati itu terus menguak semua aibku dihadapan Faisal, kemudian berlalu dengan tawa kemenangan.
              Faisal berjalan mendekat.
     “Pergi! Jangan dekati aku. Jangan pernah berharap atau memberikan harapan apapun padaku. Kini kamu sudah tahu alasanku, tanpa harus kujelaskan sendiri,” cercahku. Dia kemudian tertunduk.
     “Zah, aku sudah tahu dari Afifah. Jangan pernah menghukum dirimu, Zah. Hatimu juga membutuhkan cinta, usah kau penjarakan dengan luka di masa lalumu. Kamu berhak bahagia, Zah. Izinkan aku menuntunmu. Izinkan aku membangun lagi cinta di istanamu,”
     “Aku sudah tak percaya dengan cinta. Aku hanya ingin menjalani hidupku dengan tenang, dengan kedamaian disisa umurku ini. Aku tak butuh cinta dari seorang seperti Adit atupun dirimu.”
     “Jangan samakan aku dengan Adit. Aku ingin membuatmu percaya lagi dengan ketulusan cinta yang aku punya. Aku tak pernah mempermasalahkan siapa dirimu di masa lalu, tapi siapa dirimu saat ini dan masa depan. Jadilah istriku, Zahra Karunia Utami. Jadilah penyempurna separuh agamaku,” katanya yang mulai terbata-bata. Tak kusangka, di depan asrama banyak santri menjadi saksi. Mereka memelukku, memberi restu. Tak ada daya menolaknya lagi, selain bersedia menjadi Fatimah dan menerimanya sebagai Ali.
              Malam harinya, dia mendatangi kedua orang tuaku, untuk melamarku.
               Kepercayaan akan cinta kini kudapat kembali. Dan kutemukan cinta-Nya menggetarkan kalbu. Inikah panggilan cinta-Nya? Begitu indah merengkuh hatiku.
***
     


2 komentar:

  1. jangan terlalu meratapi masa lalu karna tidak sepenuhnnya masa lalu itu salah akan tetapi diri lah yang menjadikan masa itu terjdi seperti apa?
    entah apa dan bagaimana hidup semestinya berjalan yang pasti dgn kemantapan cinta disetiap langkah kita akan membangunkan semngat gelora kita se MAX mungkn

    BalasHapus
  2. makasih sebelumnya udah komen. boleh dong q minta kasih masukan bagaimana alur ceritanya, tokoh, klimaksnya, pesannya sampai gak ke pembaca, dan ada kata2 yang rancu gak?

    BalasHapus