
Ibu...beberapa
hari lalu banyak sekali yang mengucapkan hari ibu. Bahkan, sampai umurku 24
tahun aku tak pernah mengucapkan apalagi memberimu kado spesial. Padahal, betapa
besarnya jasamu, Ibu. Setetes darahmu pun tak bisa terbalaskan. Ibu, kau adalah cinta terbaikku. Aku tak punya alasan
mengkhususkan waktu-waktu tertentu untuk mengucapkan terimakasih dan ucapan
sayangku padamu. Kau selalu ada dalam doa-doaku setiap hari.
Sampai hari ini, diumurku yang sudah 24 tahun, aku belum
menemukan cinta sebaik dirimu. Bahkan mempunyai teman-temanpun tak pernah
merasa mereka benar-benar mencintaiku. Mungkin itulah yang membuatku sering
merasa kesepian. Merasa tak memiliki teman yang benar-benar merasa berarti
seperti dirimu. Yang selalu ada setiap aku menghadapi masalah pelik dalam
hidupku. Walau begitu, aku mencoba membuka diri untuk merasakan kehadiran
mereka yang baik padaku. Menganggap mereka sahabat, walau tetap saja dirimu
segalanya. Bagiku engkau bukan hanya ibu, tapi sahabat, bahkan kekasih.
Hampir setiap hari, terutama di malam hari, tak pernah
bosan menemaniku bercerita. Bercerita apa saja yang kualami setiap hari. Tentang
pekerjaanku, teman-temanku, murid-muridku, bahkan seseorang yang dekat
denganku. Kau adalah tempat ternyaman mengutarakan rasa. Seakan memiliki ibu
sepertimu adalah anugrah terindah dalam hidupku.
Sebentar
lagi aku menikah. Pastinya kita tak akan sedekat ini lagi. Akupun tidak tahu
apakah nanti seseorang yang akan menemaniku, bisa mendengar cerita-ceritaku
setiap malam? Kuharap dia sama sepertimu, tidak bosan mendengar
cerita-ceritaku. Meski aku tidak tahu apakah dia bisa sepertimu, Bu. Betapa aku
tidak ingin membandingkan dirimu dengan dirinya. Seperti nasehatmu. Tidak ada
manusia yang sempurna. Kita juga tidak bisa memaksa seseorang seperti yang kita
mau. Tapi, semoga dia yang sudah dipilihkan untukku adalah cinta terbaikku juga—meski
berbeda perlakuan—tak sepertimu Ibu. Semoga dia menyayangiku seperti Ibu
menyayangiku—tulus.
Katamu,
menikah itu saling melengkapi. Saling mengisi kekosongan. Saling memahami. Saling
menguatkan. Berkali-kali juga engkau mengingatkanku untuk tidak menuntutnya
sempurna. Tidak boleh membandingkan dengan laki-laki lain yang pernah kutemui
sebelumnya. Tidak boleh ditampakkan kekurangannya, cacatnya kepada orang lain.
Harus menjadi istri yang cerdas mengelola keuangan. Rajin nabung. Jangan banyak
kepengennya. Hidup hemat. Banyak mikir masa depan. Jangan boros. Sayang sama
keluarga suami seperti aku sayang sama keluargaku sendiri. Membiarkan suami
memberikan kewajibannya pada orang tuanya. Harus selalu qanaah, dan masih
banyak lagi nasehat yang engkau berikan.
Ahhh...betapa
aku baru sadar kalau aku sudah dewasa. Tema pembicaraan kita sudah berubah.
Yang dulu bicara soal teman sekelas yang nyebelin. Tentang guru yang bikin
ngantuk saat pelajaran. Tentang laki-laki yang naksir aku, dan masih banyak
lagi. Sekarang...temanya sudah lain. Betapa waktu berjalan begitu cepat, Bu.
Semoga Allah selalu memberimu kesehatan dan umur panjang. Aku sangat
mencintaimu. Doakan anakmu ini bersama orang yang tepat. Yang tidak hanya
menemani, tapi juga bisa membimbingku menjadi manusia yang lebih baik lagi.
Ibu...aku
sangat...sangat menyayangimu. Semakin hari aku semakin menyayangimu. Hari-hari
ini semakin bermakna bagiku. Sebelum aku menikah...semoga Allah mengabulkan
doa-doaku. Di hujan yang turun kali ini semoga Allah mengijabahnya. Semoga Ibu
lekas berhijab dan shalatnya tetap dijaga agar selalu bisa lima waktu. Semoga Allah
selalu memberimu hidayah yang menuntunmu menjadi sosok yang lebih baik lagi. Semoga
malaikat sedang mengaminkan doa-doaku malam ini. Sebanyak tetesan hujan yang
turun, turut mengaminkan doaku.
Bantul,
27 Desember 2018, “Dari Anakmu yang sangat menyayangimu”