Sabtu, 26 Mei 2018

Menebus Waktu


Image result for coklat panas di cafe
Oleh : Nin Wahyuni

“Kamu butuh istirahat,” katamu tiba-tiba sambil memandangku lekat. Kemudian kembali menikmati kopi pekatmu yang panas.
“Lihat, betapa lelahnya dirimu,” katamu lagi sembari meletakkan kopi pekatmu. Beralih menatapku yang tak menanggapi celotehmu. Aku hanya tersenyum membalas tatapanmu. Tatapan yang tak pernah kulupakan seumur hidupku, sejak kali pertama kita bertemu. Kamu tak pernah berubah. Selalu hangat dan meneduhkan perasaanku.

Itulah sebabnya, aku selalu berkali-kali rela menjatuhkan diri dalam pelukan rindu. Merindukan pertemuan-pertemuan yang hangat seperti ini. Menikmati tatapan mesra dan baritone suaramu.

Aku selalu percaya bahwa dirimu yang mampu lengkapi rasa. Yang setiap bertemu selalu menyisakan gema  rindu di relung hati.
“Aku hanya ingin menebus waktu,” kataku sambil mengaduk-aduk secangkir coklat panas di hadapanku.
“Apa yang mau kamu tebus? Hingga rela mengorbankan waktu-waktu istirahat, juga pertemuan kita,” katamu meragu.
“Menebus semua kesepian dan ketakberdayaanku waktu itu. Aku yang rela mengorbankan semua untuk seseorang yang bahkan dia sedikitpun tak berhati padaku. Bahkan demi seseorang aku mengabaikan Dia yang sudah memberiku kehidupan sesempurna ini. Aku baru menemukannya. Menemukan kehidupanku yang benar-benar harus kuperjuangkan. Agar semua yang kujalani tidak hambar dan sia-sia, bukan?”
“Tapi, tidak perlu sekeras itu kamu memaksakan tubuhmu menebus semua yang pernah menjadi penyesalanmu,” katamu dengan wajah serius.
“Sebenarnya bukan pemaksaan atas apa yang sudah kulakukan. Hanya saja, kebahagiaan yang tak tampak ini, masih gagal membuat tubuhku beradaptasi. Yang perlu kaulihat adalah hatiku. Hatiku yang selalu bahagia karena sekalipun aku takkan bisa menebus waktu yang terlewatkan, setidaknya dilangkah baruku, aku bisa memperjuangkannya dengan lebih baik.” Aku terus meyakinkanmu bahwa aku baik-baik saja dengan kelelahanku saat ini. Satu hal yang ada pada dirimu, dan tidak ada pada diri lelaki manapun yang pernah kukenal—yaitu, kamu selalu ada, tak pernah jemu mendengar semua ceritaku.

Hening. Seketika hening menghabiskan sisa kopi pekatmu yang penuh filosofi kehidupan, juga coklat panasku yang selalu memberi kehangatan seperti cintamu.
“Apa lagi yang ingin kamu tebus setelah ini?” katamu kemudian.
“Berusaha menjadi Khadijah,” balasku cepat. Kemudian tertunduk menyimpan malu. Kamupun tersenyum.
“kenapa?” godamu.
“Khadijah adalah wanita sempurna. Sosok mulia yang begitu aku idolakan. Dia wanita penuh kasih sayang, kelembutan, dan cinta. Aku ingin seperti dirinya,” kataku melempar pandang kearahmu. Wajahmu masih saja teduh, sekalipun di luar hujan sedang turun dengan derasnya.
“Boleh aku menebus waktu bersamamu?” katamu yang menatapku penuh arti. Aku menunduk semakin dalam. Menyembunyikan mataku yang sudah berembun karena percakapan kita yang terlalu jauh.
“Kamu tidak perlu menjadi Khadijah karena rasa takutmu tentang banyak hal yang pernah kamu alami. Cukup menerimaku menjadi teman perjalanan yang membersamaimu. Saling melengkapi. Dan menembus waktu bersama agar di Syurga kita dipersatukan kembali,” katamu dengan begitu romantis. Tak kuasa air mataku berderai mengalahkan deras hujan di teras Café.

Bantul, 27 Mei 2018—Merindukan Hujan di Bantul—Terinspirasi dari Aita Coffee Long and Java Milk

Tidak ada komentar:

Posting Komentar