Oleh
: Nin Wahyuni
“Kamu butuh
istirahat,” katamu tiba-tiba sambil memandangku lekat. Kemudian kembali
menikmati kopi pekatmu yang panas.
“Lihat, betapa
lelahnya dirimu,” katamu lagi sembari meletakkan kopi pekatmu. Beralih menatapku
yang tak menanggapi celotehmu. Aku hanya tersenyum membalas tatapanmu. Tatapan
yang tak pernah kulupakan seumur hidupku, sejak kali pertama kita bertemu. Kamu
tak pernah berubah. Selalu hangat dan meneduhkan perasaanku.
Itulah sebabnya, aku
selalu berkali-kali rela menjatuhkan diri dalam pelukan rindu. Merindukan pertemuan-pertemuan
yang hangat seperti ini. Menikmati tatapan mesra dan baritone suaramu.
Aku selalu percaya
bahwa dirimu yang mampu lengkapi rasa. Yang setiap bertemu selalu menyisakan
gema rindu di relung hati.
“Aku hanya ingin
menebus waktu,” kataku sambil mengaduk-aduk secangkir coklat panas di
hadapanku.
“Apa yang mau kamu
tebus? Hingga rela mengorbankan waktu-waktu istirahat, juga pertemuan kita,”
katamu meragu.
“Menebus semua kesepian
dan ketakberdayaanku waktu itu. Aku yang rela mengorbankan semua untuk
seseorang yang bahkan dia sedikitpun tak berhati padaku. Bahkan demi seseorang
aku mengabaikan Dia yang sudah memberiku kehidupan sesempurna ini. Aku baru
menemukannya. Menemukan kehidupanku yang benar-benar harus kuperjuangkan. Agar semua
yang kujalani tidak hambar dan sia-sia, bukan?”
“Tapi, tidak perlu sekeras
itu kamu memaksakan tubuhmu menebus semua yang pernah menjadi penyesalanmu,”
katamu dengan wajah serius.
“Sebenarnya bukan
pemaksaan atas apa yang sudah kulakukan. Hanya saja, kebahagiaan yang tak
tampak ini, masih gagal membuat tubuhku beradaptasi. Yang perlu kaulihat adalah
hatiku. Hatiku yang selalu bahagia karena sekalipun aku takkan bisa menebus
waktu yang terlewatkan, setidaknya dilangkah baruku, aku bisa memperjuangkannya
dengan lebih baik.” Aku terus meyakinkanmu bahwa aku baik-baik saja dengan
kelelahanku saat ini. Satu hal yang ada pada dirimu, dan tidak ada pada diri
lelaki manapun yang pernah kukenal—yaitu, kamu selalu ada, tak pernah jemu
mendengar semua ceritaku.
Hening. Seketika hening
menghabiskan sisa kopi pekatmu yang penuh filosofi kehidupan, juga coklat
panasku yang selalu memberi kehangatan seperti cintamu.
“Apa lagi yang ingin
kamu tebus setelah ini?” katamu kemudian.
“Berusaha menjadi
Khadijah,” balasku cepat. Kemudian tertunduk menyimpan malu. Kamupun tersenyum.
“kenapa?” godamu.
“Khadijah adalah
wanita sempurna. Sosok mulia yang begitu aku idolakan. Dia wanita penuh kasih
sayang, kelembutan, dan cinta. Aku ingin seperti dirinya,” kataku melempar
pandang kearahmu. Wajahmu masih saja teduh, sekalipun di luar hujan sedang
turun dengan derasnya.
“Boleh aku menebus
waktu bersamamu?” katamu yang menatapku penuh arti. Aku menunduk semakin dalam.
Menyembunyikan mataku yang sudah berembun karena percakapan kita yang terlalu
jauh.
“Kamu tidak perlu
menjadi Khadijah karena rasa takutmu tentang banyak hal yang pernah kamu alami.
Cukup menerimaku menjadi teman perjalanan yang membersamaimu. Saling
melengkapi. Dan menembus waktu bersama agar di Syurga kita dipersatukan
kembali,” katamu dengan begitu romantis. Tak kuasa air mataku berderai
mengalahkan deras hujan di teras Café.
Bantul, 27 Mei
2018—Merindukan Hujan di Bantul—Terinspirasi dari Aita Coffee Long and Java
Milk
Tidak ada komentar:
Posting Komentar