Minggu, 29 November 2015

Sujudku


Oleh: Nin Wahyuni
Hasil gambar untuk kartun wanita bersujud
       Menjerit dalam jilatan api yang mengganas. Melahap seluruh bangunan dan jiwa yang terkepung lingkaran api. Aku masih beruntung dapat melarikan diri meski kakiku terpanggang bara panas. Dalam ketidakberdayaanku menopang rasa sakit, di depan mataku kulihat runtuhan kios menerkam tubuh kakakku. Ainun latifah. Seorang yang memiliki mata lembut, yang selalu memberi keteduhan di hatiku. Seorang kakak yang selalu ada kapanpun aku membutuhkannya. Kejadian naas siang itu merenggut kebahagiaan yang aku punya. Merenggut jiwa orang yang aku sayangi. Menyisakan serpihan luka di hatiku.
    “Kak Ainun!!!” teriakku meronta dalam kesakitan menahan panas balok kayu yang masih bertengger di atas kakiku. Api telah melumat tubuhnya. Pasar itu roboh seketika, bersamaan asap tebal yang membubung membawa jiwa kakakku.
        Siang itu tak ada sesuatu yang mengkhawatirkan. Semua terlihat normal. Siang itu aku dan kak Ainun berjualan seperti biasa. Kami menjual pakaian untuk menyambung hidup sehari-hari. Sejak kedua orangtuaku meninggal 2 tahun yang lalu, aku hanya tinggal bersama kakakku. Kini aku sebatang kara. Menjalani hidup seorang diri. Tak ada lagi tempat berbagi letih dan senyum.
***
      Satu bulan rasa berkabungku belum jua usai. Bukan rasa sedih kehilangan kakakku–aku telah mengikhlaskannya–tapi rasa berkabung melihat kondisi pasar yang urung dibenahi. Kakiku kelu meninggalkan reruntuhan pasar yang berserakan. Satu-satunya mata pencaharianku terancam hilang. Dalam benakku yang kupikirkan adalah modalku menipis dan kontrakanku sudah masa tenggang.
       Kakiku semakin kelu untuk melangkah. Angin berembus kencang menerbangkanku tanpa arah. Disebuah rumah yang sangat ramai orang berdatangan, aku duduk terdiam. Memandangi mereka yang berlalu lalang. Aku tak tahu apa yang sedang mereka lakukan.
        “Adik, lagi ngapaian disini?” kata seorang wanita dengan dandanan sangat menor.  Ia tersenyum bersahabat.
          “Saya tidak tahu Bu,” jawabku sambil menerawang entah kemana.
          “Kamu sepertinya banyak masalah, ya?”
         “Iya Bu. Saya butuh uang. Pasar tempat saya berjualan belum juga dibenahi sedang persediaan beras sudah menipis, mana kontrakan juga sudah habis. Saya takut untuk pulang. Ibu kos pasti marah,” curhatku pada wanita yang baru saja kukenal itu. begitu polosnya aku menceritakan keadaanku. Wanita itu tersenyum dan membelai kepalaku. Dipeluknya aku dengan penuh kasih. Membuatku luluh dan melelehkan air mata. Aku nyaman—berada dalam pelukan wanita itu.
          “Ayo ikut Ibu. Nanti saya kasih kamu pekerjaan yang gajinya gede,” katanya sambil tersenyum padaku. Aku mengangguk dan mengikutinya masuk ke dalam rumah yang paling mewah di komplek itu.

      Astagfirullahal’adzim, tempat apa ini? banyak sekali orang disini. Mengapa pakaian mereka semua minim dan mereka berdansa tak jelas bersama lelaki. Apakah—?

    “Hai, Nak? Kenapa? Kamu nanti juga akan seperti mereka. Bayangkan, hanya menari dan menemani lelaki satu malam kamu bisa membeli barang yang kamu mau. Itu bukan pekerjaan berat, bukan?” kata wanita itu. Dengan mudahnya ia mengucapkan kata-kata tak senonoh itu padaku. Dia tak mempedulikan aku yang berjilbab—seharusnya dia berfikir itu tak pantas—melihat busanaku yang tertutup.
       “ Maaf Bu, saya tidak jadi. Permisi,” kataku sambil melangkahkan kakiku menuju pintu keluar. Wanita itu berteriak memanggil bodyguardnya untuk mengejarku. Aku kaget. Menyadari tengah dalam kejarannya, kucincing rokku untuk berlari sekencang mungkin.
     Bukkk… lelaki itu memukul kepalaku dengan kayu. Darah segar mengucur di kepalaku. Aku roboh.
      Allah, tolong aku. Lindungi aku. Jangan biarkan orang ini mengotori jilbabku dengan tangan kotornya,” Doaku dalam hati. Aku pura-pura tak sadarkan diri. Orang itu hendak menyentuhku, namun diurungkan melihat kondisiku yang bersimbah darah. Ia kemudian berlalu meninggalkanku.
  Malam itu aku tergolek lemah. Tak bisa lagi langkahkan kaki.
 Kak Ainun…jika saja kakak disini, kakak pasti melindungiku. Kakak tak mungkin membiarkanku dilukai orang. Kak…
***
     “Bangun! Tidur mulu!” teriak seorang perempuan sambil menendangku. Kepalaku sakit sekali ketika kubuka mata. Darah di kepala mengering. Jilbabku sudah sangat lusuh dan bersimbah darah.
        “Maaf, kakak ini siapa?”
      “Gak usah banyak tanya! Sekarang ganti baju dan kerja! Sudah untung kamu aku tolong tadi malam,” kata perempuan itu dengan kasar. Kulihat sekelilingku. Kuamati dengan teliti, mirip gudang penyimpanan yang lama tidak digunakan. Sesekali aku terbatuk. Ruangan itu nampak pengap dan berdebu. Aku meneteskan air mata. Begitu malangnya hidupku.
     “Malah nangis! Cepetan ganti baju! ngemis atau nyopet sana!” katanya membentakku. Aku menggeleng. Tak mungkin aku melakukan pekerjaan hina itu. Dengan marahnya perempuan itu menarik jilbabku. Aku berusaha mempertahankannya. Aku takkan mempertaruhkan kehormatanku—meski tendangan dan pukulan mendarat di tubuhku—aku babak belur.
      “Sudah Ren, kasihan dia sudah tak berdaya. Manfaatkan aja jadi pengemis atau kasih baju muslim yang bagus. Tak akan ada yang curiga kalau ada pencopet berjilbab,” kata temannya. Orang yang disebut Ren tadi tersenyum penuh kemenangan. Aku tunduk pasrah dengan keadaanku. Dalam hatiku, aku menentang perbuatan yang akan aku lakukan. Panas yang memanggang kakiku takkan sebanding dengan panas neraka—kini aku akan menceburkan diri kedalamnya—dengan perbuatan keji yang akan kulakukan—menjadi seorang pencopet. Aku tertekam dalam biduk parau kehidupan. Aku pasrah—menjalani kehidupan dengan ketidakberdayaanku.
***
    Siang itu angkot sedang ramai dan berdesak-desakan. Dengan tangan gemetar, kumasukkan tanganku kedalam salah satu tas penumpang. Kejadian tak terduga terjadi, dompet yang aku ambil dari salah satu penumpang jatuh dari genggamanku. Aku panik dan langsung meloncat dari angkot. Dengan terpincang-pincang aku berlari menyelamatkan diri.
    “Copet… copet!” teriak semua orang yang ada di dalam angkot. Beberapa dari mereka mengejarku. Aku panik. Tak tahu arah mana lagi yang akan menjadi tujuan kakiku melangkah.
       “Allah, jika Engkau ada, mengapa tak pernah  kau datang menolongku? Kau biarkan aku terlunta dan menderita. Aku benci dengan kehidupan ini! Kau ambil semua kebahagiaanku, bahkan aku tak tahu bagaimana bersyukur dan berterimakasih pada-Mu lagi. Allah… dimana Engkau!” teriak putus asaku di tepi sungai. Dari kejauhan, aku dengar lagi teriakan yang meneriakiku copet. Aku segera bersembunyi di sebuah Musholla tak jauh dari sungai itu. Segera kukenakan mukena dan bersujud. Disitulah semua air mataku tertumpah, membuatku larut dalam sujud.
      Saat kubuka mata, ternyata aku bersujud di sajadah bergambar Ka’bah. Kerinduan semakin menyelinap dalam rongga hati. Kudekap erat sajadah bergambar Ka’bah itu. Kucium dengan penuh kerinduan.
      Laabbaikkallahumma Labbaik… Labbaikalla syaarikalaka labbaik…
         Talbiyahku tersendat dengan tangis. Berulang-ulang kuserukan kalimat talbiyah itu hingga aku tertidur dalam sentuhan Ka’bah. Dalam tidurku aku bermimpi melihat Kak Ainun dan kedua orangtuaku tersenyum padaku. Mereka melambaikan tangannya padaku, ditengah kerumunan orang yang berthawaf.
         “Ibu… Bapak…Kak Ainun!” teriakku menghampiri mereka. Namun mereka semakin menjauh, dan menghilang. Aku berteriak, hingga terbangun dari tidurku. Sajadah itu masih terpeluk erat dalam dekapanku. Ternyata aku tak benar-benar sendiri—Allah, kedua orangtuaku, dan kakakku—tak benar-benar meninggalkanku. Mereka masih ada—di hatiku.
         Mendung siang itu menghadirkan awan cerah untuku tersenyum. Sepercik harapan menghiasi sudut bibirku—dengan senyuman.

      Allah terimalah sujudku, airmataku, dan kepasrahanku…
***  


Hari Yang Tak Terlupakan!

Hasil gambar untuk love

           Hari ini aku begitu bahagia. Why? Aku bisa ngedate with my brother. Mungkin kedengarannya biasa aja, tapi bagiku istimewa.
        Siang ini aku dan soulmetku pergi ke Sleman, ketempat saudara. Siang yang cerah dengan sedikit mendung, tapi membawa warna pelangi di hatiku(mulai baper). Hari ini adalah sebuah keajaiban. Biasanya, brotherku gak mau nganterin aku kemana-mana, apalagi boncengin aku. Tapi, tadi sekali ajak langsung OK!
Bukan karena aku sering bertengkar ya, tapi karena emang dia cuek banget orangnya. Susah diajak ngobrol. Walau serumah, mungkin bisa dihitung kapan bisa ngobrol akrabnya, mungkiin bisa dibilang gak pernah. Cuma sesekali ngobrol, itupun seperlunya banget dan karena ada hal penting. Apalagi boncengan! Jarang banget. Cuma hari-hari tertentu aja, misalnya lebaran dan karena permintaan orang tua. Itu sih gak selalu mau.
Gimana mau ngobrol, aku aja pulang kuliah langsung ngadep laptop, kalo gak gitu ya tidur. Dunia masing-masing. Dunia yang saling mengasingkan. Begitupun dengan ayahku. Yang agak susah diajak ngobrol juga. Tapi perhatian, walau tak terucap tapi terwujud dalam tindakan. Buktinya, aku tumbuh sehat, di kuliahin pula. Kurang baik apa coba? Harus bersyukur dong.
Balik ke adikku yang super duper cuek, walau suka diemin aku, tapi sebenernya baik juga. Kalau ada makanan suka nawarin aku.hehe...Mungkin laki-laki kebanyakan gitu, diam tapi memiliki sejuta sayang yang tersimpan.
***
Tadi waktu perjalanan pulang, ketemu pemudi desaku, mereka sampe bilang “ciee...tumben akur”. Duhh...berarti selama ini diperhatikan ya. Emang sih selama ini jarang terlihat pergi berdua. 
Mungkin saja aku adalah seorang kakak yang merepotkan. Yaaa...pernah beberapa kali mau ikutan main, misal aja ke pasar malem. Lah, kan aku gak mungkin keluar sama cowok lain, makanya aku mau nguntit dia. Aku kan juga pengen keluar malem liat suasana malem yang katanya indah. Tapi gak pernah mau dianya.
Tapi aku yakin, dia sebenernya sayang sama aku.
***
Suasana susah cair. Pergi berdua, seperti pergi sendiri. No comment!sepanjang perjalanan, hanya diam seribu bahasa(lebay!!!). gak juga sih, tadi aku ajak ngobrol walau dijawab seperlunya. Tapi, kakak yang baik selalu mencoba membuka hatinya(sok romantis). Cie...semoga deh bisa berubah.
Well, intinya hari ini aku bahagia bisa pergi berdua dengan adikku. Hari yang tak terlupakan! Semoga hari-hari berikutnya bisa seperti ini lagi. Akur. Tanpa jarak.
***
Selalu ada alasan mengapa aku harus bahagia. Karena, aku kini mengerti bahwa cinta dan kasih sayang tak harus terucap oleh kata-kata. Keluargaku telah mengajarkan itu padaku. Diam, dan tak terucap oleh kata apapun bahwa “kita saling menyayangi” dan "kita saling membutuhkan".

Bantul, 29 November 2015, di hari yang cerah


Kamis, 26 November 2015

Guru Inspirasi Sepanjang Waktu


Oleh: Sri Wahyuningsih

Hingga kau percaya dalam hidup harus ada yang namanya pengorbanan, merelakan, atau mempertahankan.
--n Wahyu—

Kini almamater merah telah melekat di tubuhku. Menyadarkanku bahwa aku tidak lagi berseragam biru-putih, masa-masa dimana penuh kejahilan. Jika mengingat lagi masa itu, rasanya ingin sejenak mengambil benang merah dan menyatukannya—aku rindu masa itu. Dimana tawaku lepas menyambut  hangat rengkuhan persahabatan mereka—teman-teman masa SMP.
“Kamu lebih cantik pakai kerudung deh, Tin,”kataku saat istirahat. Dengan raut agak kecewa dia mengiyakan.
“Kalau kamu bagus gak pakai jilbab,” sambungnya. Rasanya bahagia mendengar pujian itu. Yah, dulu aku begitu mengagumi diriku. Rambutku yang agak bergelombang, dengan poni samping yang selalu berkibar, membuat wajah kecilku tak nampak—tapi banyak yang bilang manis. Aku juga tak begitu popular di sekolah, tapi guru-guru banyak mengenalku sebagai murid yang rajin. Hingga bel masuk berbunyi, saatnya mendengarkan ceramah dari seorang guru agamaku. Aku selalu suka dengan cerita-cerita beliau yang menginspirasi. Tentang hari akhir, tentang superhero Islam, tentang kepemimpinan Nabi Muhammad, dan sebagainya. Meski kutahu, saat itu pemahaman agamaku masih dangkal, namun mendengarkan cerita mengenai Islam aku sangat suka. Menenangkan.
“Wahyu, suatu saat nanti kamu akan menjadi guru agama menggantikan Ibu,” katanya kemudian. Mendengar kata-kata itu hatiku merutuk tak karuan. Aku ngeri membayangkan sosok guru agama yang alim, rajin shalat 5 waktu, shalat tahajud, shalat dhuha, ngaji, gak pacaran, suka ceramah, dan yang paling penting menjaga hijab. Melihat shalat lima waktuku yang masih sering bolong, apalagi yang lainnya, sudah dipastikan tak pernah aku lakukan. Meski saat itu aku kecewa, tetap saja aku tak bisa membenci beliau, apalagi pelajaran agama.
Cita-citaku saat itu banyak sekali: mulai dari menjadi penulis terkenal, astronot, peneliti, ahli kimia, dsb. Tak ada satupun yang menyinggung agama. Aku ingin menjadi orang yang terkenal. Hingga SMA rasanya syok ketika tes IQ aku masuk IPS. Dengan modal nekad, aku ikut tes masuk IPA. Ketrima deh. Dari sejak itu aku justru bimbang. Seakan malah tak punya arah dengan tujuanku.
“Apa cita-citamu?” kata seorang guru fisika padaku.
“Aku ingin menjadi seorang guru Pendidikan Luar Biasa,” jawabku. Dan itu sudah aku tulis dalam lembaran kertas putih beserta tekadku tertuang disitu. Tapi, aku juga ingin menjadi seorang psikolog, karena kata guru fisikaku, di masa depan akan banyak orang yang stress. Ahh… tingginya mimpiku ketika itu.
***
Waktu berlalu. Detak waktu menjawab semua dugaan.
Ternyata aku  bukan dari salah satu pilihan itu. Tapi menjadi seorang guru Agama Islam nantinya. Takut? Itu pasti. Tapi justru sebuah tantangan dimana aku harus lebih banyak belajar tentang agama. Entah bagaimana awalnya, hingga langkah kakiku sampai pada pilihan yang aku hindari.
Berhijab? Its ok for now!
Shalat lima waktu? Wajib!
Belajar agama? Harus!
Ternyata semua menyenangkan. Hidup serasa memiliki arti. Dan berproses itu tak mudah. Membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Melepaskan kehidupan yang penuh dengan keindahan itu tak semuanya mampu, karena terkadang harus merelakan sesuatu, yang menyakitkan.
***
Aku tak pernah sendiri. Doanya selau mengiringi langkahku—seorang guru yang kini aku rindukan. Siti Zahroh. Seorang guru Inspirasi sepanjang waktu--guru Agama Islam ketika SMP.
Suatu saat nanti, entah kapan, aku ingin berjumpa dengan beliau. Dan mengatakan, Aku Bahagia dengan pilihan hidupku saat ini, dan aku bangga memiliki guru seperti beliau.
Dan aku, ingin menjadi guru yang tak pernah dilupakan muridku suatu saat nanti. Dimanapun, dan kapanpun aku ingin selalu ada untuk murid-muridku. Seperti beliau yang tak pernah kulupakan.

#selamat hari guru
#Late post
Bantul,26 november 2015, dalam dekapan angin pagi, pukul 3:54


Belajar Bahagia di UKM Mujaddid

Hasil gambar untuk logo mujaddid
           “Siapa bilang ngomong Bahasa Arab itu susah, yang susah itu ngafalinnya,” kata Ustadz Maulana saat mengawali pembelajarannya. Beliau adalah ustadz gokil yang kalau belajar bikin ketawa.
            “Sebelum belajar bahasa Arab, saya mau mau baca mantra seperti ustadz Mahfudz,” lanjutnya. Setelah membaca basmalah, ustadz yang satu ini mulai deh bertingkah. Bikin perut mules pokoknya, habis selama belajar gak berhenti ketawa. Lari sana-lari sini, kurang kerjaan! Tapi emang pembelajaran Bahasa Arabnya aplikatif sih, jadi wajar.
           
            Sore ini, belajar bahasa Arab mulai dari salam, perkenalan, menyanyakan kabar, dan kosa kata. Ada 9 kosa kata yang harus dihafal dalam waktu 5 menit. Aku sih udah khatam, karena sebelumnya udah belajar sama ustadz Mahfud 4 semester kosa kata itu. Di DIC juga udah, terus waktu pembuatan mufrodat bareng divisi seni dan budaya juga udah. So? Pas ditanyain gak malu-maluin.

            Jujur, pulang dari belajar perutku beneran sakit. Mana gak lunch, tapi selama kurang lebih satu jam ketawa terus bareng beliau. Belajar bahasa Arab membuatku bahagia, entahlah. Atau mungkin pengajarnya yang gokil? Enggak tau juga sih, lihat aja nanti pas hari jumat yang ngajar siapa. Semoga aku tetap bahagia. Upss…besok jumat yang ngajar akhwat. Semoga lebih seru!
***

            Tadi kubilang pengajarnya gokil kan? Iya, beliau memang hiperaktif ngajarnya. Nunjuk-nunjuk beda sambil lari-lari, sampe keringetan. Pas beliau nunjuk acak, aku nunduk aja biar gak dikasih pertanyaan, eh pas ngliat kedepan, ditunjuk pula. Untung pertanyaannya “Maa ismuki?”.

            Menjelang penutupan, kita bareng-bareng nyanyi bahasa Arab, mulai dari disini senang-disana senang(bahasa Arab), dhomir(dengan lagu agak ngerock tak jelas), lagu bang toyyib reff(bahasa Arab), kalau kau suka hati(bahasa Arab). Lumayanlah dapet kosa-kata, gratis, bisa nyanyi, dan bahagia. Setidaknya no stress dengan tugas dan segudang lelah akhir-akhir ini.

            Belajar bahasa Arab itu ibarat gulali. Harus dimakan sedikit demi sedikit supaya manisnya tidak cepat habis, dan selalu nikmat dimakan hingga suapan terakhir. Setelah itu, ingin memakannya lagi di lain hari. Intinya jangan cepat puas belajar bahasa Arab hari ini, karena masih banyak hal yang harus diketahui. Bahasa Arab itu, bahasa paling kaya dengan kosa kata, dan paling kompleks maknanya.
***

            Di UKM Mujaddid, adalah terbuka bagi siapa saja yang ingin bahagia. Banyak ustadz-ustadz yang bakal bikin kalian ngakak. Di UKM Mujaddid tu gak hanya belajar bahasa Arab, tapi juga belajar tentang cinta.hehe cinta persaudaraan maksudnya. Sukses terus deh buat UKM Mujaddid, dan makasih udah masukin aku di divisi pengajaran walau belum bisa bahasa Arabnya.

“Biar kamu rajin belajarnya,” kata Teh Fida. Thanks all and I love Bahasa Arab…J

Rabu, 25 November 2015 , di sore hari yang ceria belajar bahasa Arab

Selasa, 17 November 2015

Bahagia itu Butuh Perjuangan

oleh: Nin Wahyuni

Guys…akhirnya aku dapat menggoreskan kembali kata-kataku dalam kanvas monitor. Aku ingin kembali bercerita mengenai diriku yang mungkin gak terlalu penting, tapi penting buatku sebagai pengingat—bahwa hari ini, pagi ini aku sungguh menemukan kembali kebahagiaanku.
Kenapa aku bilang baru menemukan kembali kebahagiaanku? Karena setelah perjuangan panjang itulah aku baru merasakan awal dari kebahagiaanku kembali. Ternyata bahagia tak sesederhana yang aku bayangkan dan tak sesederhana yang aku katakan selama ini. Bahagia itu butuh perjuangan guys...
Entah sudah lebih dari sepekan, hidupku begitu berantakan. Semua serba kemrungsung dan senyum aja terkadang dipaksakan, padahal senyum adalah bagian dari ibadah. Iya kan? Sampai ada yang bilang, “kok udah dua kali pertemuan ini aku lihat kamu kurang semangat?” waah… ada yang perhatian nih…ehemmm…(emang sekusut apa sih wajahku?). Tapi pagi ini, aku memulai hariku dengan begitu indah, begitu cerah, secerah mentari yang saat ini belum bersinar.
Manusia memang memiliki kadar keimanan yang seperti gelombang, kadang naik kadang turun. Begitupun denganku. Setelah mengalami pasang surut yang terlalu lama, rasanya jiwaku mulai berontak dan teriak “WOYYY BANGUUUUN!” lelah sekali rasanya kalau harus hidup tanpa semangat. Seperti istilah “hidup segan mati tak mau”. Hidup kan harus dinikmati sebagai fitrah dan sebagai perwujudan rasa syukur kepada Allah, iya kan? Udahlah lupakan galaunya, dan mulai action lagi. Jangan jadi manusia paling menderita deh, karena kalau dipikir-pikir semua orang juga punya masalah.
Sebenernya yang bikin aku gak semangat tuh bukan karena padatnya organisasi, tugas-tugas kuliah, mata kuliah yang menguras pikiran dan materi, bukan jadwal ngajar, bukan cucian yang numpuk, bukan dompet yang isinya tipis, bukan juga karena putus cinta(kan gak punya pacar), dan bukan juga karena di PHP cowok gak jelas (emang ada yang PHP? enggak sih). Tapi karena sering telat shalat shubuh, sering lupa tadarus, sering nglewatin shalat malam, dan lama gak nulis buat kalian, wahai teman-temanku.