Oleh: Nin Wahyuni
Menjerit dalam jilatan api yang
mengganas. Melahap seluruh bangunan dan jiwa yang terkepung lingkaran api. Aku
masih beruntung dapat melarikan diri meski kakiku terpanggang bara panas. Dalam
ketidakberdayaanku menopang rasa sakit, di depan mataku kulihat runtuhan kios
menerkam tubuh kakakku. Ainun latifah. Seorang yang memiliki mata lembut, yang
selalu memberi keteduhan di hatiku. Seorang kakak yang selalu ada kapanpun aku
membutuhkannya. Kejadian naas siang itu merenggut kebahagiaan yang aku punya.
Merenggut jiwa orang yang aku sayangi. Menyisakan serpihan luka di hatiku.
“Kak Ainun!!!” teriakku meronta
dalam kesakitan menahan panas balok kayu yang masih bertengger di atas kakiku. Api
telah melumat tubuhnya. Pasar itu roboh seketika, bersamaan asap tebal yang membubung
membawa jiwa kakakku.
Siang itu tak ada sesuatu yang
mengkhawatirkan. Semua terlihat normal. Siang itu aku dan kak Ainun berjualan
seperti biasa. Kami menjual pakaian untuk menyambung hidup sehari-hari. Sejak
kedua orangtuaku meninggal 2 tahun yang lalu, aku hanya tinggal bersama
kakakku. Kini aku sebatang kara. Menjalani hidup seorang diri. Tak ada lagi
tempat berbagi letih dan senyum.
***
Satu bulan rasa berkabungku
belum jua usai. Bukan rasa sedih kehilangan kakakku–aku telah mengikhlaskannya–tapi
rasa berkabung melihat kondisi pasar yang urung dibenahi. Kakiku kelu meninggalkan
reruntuhan pasar yang berserakan. Satu-satunya mata pencaharianku terancam
hilang. Dalam benakku yang kupikirkan adalah modalku menipis dan kontrakanku
sudah masa tenggang.
Kakiku semakin kelu untuk
melangkah. Angin berembus kencang menerbangkanku tanpa arah. Disebuah rumah
yang sangat ramai orang berdatangan, aku duduk terdiam. Memandangi mereka yang
berlalu lalang. Aku tak tahu apa yang sedang mereka lakukan.
“Adik, lagi ngapaian disini?”
kata seorang wanita dengan dandanan sangat menor. Ia tersenyum bersahabat.
“Saya tidak tahu Bu,” jawabku
sambil menerawang entah kemana.
“Kamu sepertinya banyak
masalah, ya?”
“Iya Bu. Saya butuh uang. Pasar
tempat saya berjualan belum juga dibenahi sedang persediaan beras sudah
menipis, mana kontrakan juga sudah habis. Saya takut untuk pulang. Ibu kos
pasti marah,” curhatku pada wanita yang baru saja kukenal itu. begitu polosnya
aku menceritakan keadaanku. Wanita itu tersenyum dan membelai kepalaku.
Dipeluknya aku dengan penuh kasih. Membuatku luluh dan melelehkan air mata. Aku
nyaman—berada dalam pelukan wanita itu.
“Ayo ikut Ibu. Nanti saya kasih kamu pekerjaan yang gajinya gede,”
katanya sambil tersenyum padaku. Aku mengangguk dan mengikutinya masuk ke dalam
rumah yang paling mewah di komplek itu.
Astagfirullahal’adzim,
tempat apa ini? banyak sekali orang disini. Mengapa pakaian mereka semua minim
dan mereka berdansa tak jelas bersama lelaki. Apakah—?
“Hai,
Nak? Kenapa? Kamu nanti juga akan seperti mereka. Bayangkan, hanya menari dan
menemani lelaki satu malam kamu bisa membeli barang yang kamu mau. Itu bukan
pekerjaan berat, bukan?” kata wanita itu. Dengan mudahnya ia mengucapkan kata-kata tak senonoh itu
padaku. Dia tak mempedulikan aku yang berjilbab—seharusnya dia berfikir itu tak
pantas—melihat busanaku yang tertutup.
“
Maaf Bu, saya tidak jadi. Permisi,” kataku sambil melangkahkan kakiku menuju
pintu keluar. Wanita itu berteriak memanggil bodyguardnya untuk
mengejarku. Aku kaget. Menyadari tengah dalam kejarannya, kucincing rokku untuk
berlari sekencang mungkin.
Bukkk… lelaki itu memukul
kepalaku dengan kayu. Darah segar mengucur di kepalaku. Aku roboh.
Allah, tolong
aku. Lindungi aku. Jangan biarkan orang ini mengotori jilbabku dengan tangan
kotornya,” Doaku dalam
hati. Aku pura-pura tak sadarkan diri. Orang itu hendak menyentuhku, namun
diurungkan melihat kondisiku yang bersimbah darah. Ia kemudian berlalu
meninggalkanku.
Malam itu aku tergolek lemah. Tak bisa lagi langkahkan
kaki.
Kak Ainun…jika
saja kakak disini, kakak pasti melindungiku. Kakak tak mungkin membiarkanku
dilukai orang. Kak…
***
“Bangun!
Tidur mulu!” teriak seorang perempuan sambil menendangku. Kepalaku sakit sekali
ketika kubuka mata. Darah di kepala mengering. Jilbabku sudah sangat lusuh dan
bersimbah darah.
“Maaf,
kakak ini siapa?”
“Gak
usah banyak tanya! Sekarang ganti baju dan kerja! Sudah untung kamu aku tolong
tadi malam,” kata perempuan itu dengan kasar. Kulihat sekelilingku. Kuamati
dengan teliti, mirip gudang penyimpanan yang lama tidak digunakan. Sesekali aku
terbatuk. Ruangan itu nampak pengap dan berdebu. Aku meneteskan air mata.
Begitu malangnya hidupku.
“Malah
nangis! Cepetan ganti baju! ngemis atau nyopet sana!” katanya membentakku. Aku
menggeleng. Tak mungkin aku melakukan pekerjaan hina itu. Dengan marahnya perempuan
itu menarik jilbabku. Aku berusaha mempertahankannya. Aku takkan mempertaruhkan
kehormatanku—meski tendangan dan pukulan mendarat di tubuhku—aku babak belur.
“Sudah
Ren, kasihan dia sudah tak berdaya. Manfaatkan aja jadi pengemis atau kasih baju
muslim yang bagus. Tak akan ada yang curiga kalau ada pencopet berjilbab,” kata
temannya. Orang yang disebut Ren tadi tersenyum penuh kemenangan. Aku tunduk
pasrah dengan keadaanku. Dalam hatiku, aku menentang perbuatan yang akan aku
lakukan. Panas yang memanggang kakiku takkan sebanding dengan panas neraka—kini
aku akan menceburkan diri kedalamnya—dengan perbuatan keji yang akan
kulakukan—menjadi seorang pencopet. Aku tertekam dalam biduk parau kehidupan.
Aku pasrah—menjalani kehidupan dengan ketidakberdayaanku.
***
Siang
itu angkot sedang ramai dan berdesak-desakan. Dengan tangan gemetar, kumasukkan
tanganku kedalam salah satu tas penumpang. Kejadian tak terduga terjadi, dompet
yang aku ambil dari salah satu penumpang jatuh dari genggamanku. Aku panik dan
langsung meloncat dari angkot. Dengan terpincang-pincang aku berlari
menyelamatkan diri.
“Copet…
copet!” teriak semua orang yang ada di dalam angkot. Beberapa dari mereka
mengejarku. Aku panik. Tak tahu arah mana lagi yang akan menjadi tujuan kakiku
melangkah.
“Allah,
jika Engkau ada, mengapa tak pernah kau
datang menolongku? Kau biarkan aku terlunta dan menderita. Aku benci dengan
kehidupan ini! Kau ambil semua kebahagiaanku, bahkan aku tak tahu bagaimana
bersyukur dan berterimakasih pada-Mu lagi. Allah… dimana Engkau!” teriak putus
asaku di tepi sungai. Dari kejauhan, aku dengar lagi teriakan yang meneriakiku
copet. Aku segera bersembunyi di sebuah Musholla tak jauh dari sungai itu.
Segera kukenakan mukena dan bersujud. Disitulah semua air mataku tertumpah,
membuatku larut dalam sujud.
Saat
kubuka mata, ternyata aku bersujud di sajadah bergambar Ka’bah. Kerinduan
semakin menyelinap dalam rongga hati. Kudekap erat sajadah bergambar Ka’bah itu.
Kucium dengan penuh kerinduan.
Laabbaikkallahumma
Labbaik… Labbaikalla syaarikalaka labbaik…
Talbiyahku
tersendat dengan tangis. Berulang-ulang kuserukan kalimat talbiyah itu hingga
aku tertidur dalam sentuhan Ka’bah. Dalam tidurku aku bermimpi melihat Kak
Ainun dan kedua orangtuaku tersenyum padaku. Mereka melambaikan tangannya
padaku, ditengah kerumunan orang yang berthawaf.
“Ibu…
Bapak…Kak Ainun!” teriakku menghampiri mereka. Namun mereka semakin menjauh,
dan menghilang. Aku berteriak, hingga terbangun dari tidurku. Sajadah itu masih
terpeluk erat dalam dekapanku. Ternyata aku tak benar-benar sendiri—Allah,
kedua orangtuaku, dan kakakku—tak benar-benar meninggalkanku. Mereka masih
ada—di hatiku.
Mendung
siang itu menghadirkan awan cerah untuku tersenyum. Sepercik harapan menghiasi
sudut bibirku—dengan senyuman.
Allah
terimalah sujudku, airmataku, dan kepasrahanku…
***