Senin, 26 Oktober 2015

Hujan Kerinduan

  oleh: Nin Wahyuni

Aku termenung memandangi guyuran hujan yang menghujam bumi. Mataku berusaha menerobos jajaran hujan yang berbaris rapi, dimana tersimpan kenangan akan sebuah kerinduan. Bayangan itu kembali hadir—seseorang yang menciptakan kenangan tentang hujan.
Di tengah derasnya hujan, tanganku menengadah, menampung ribuan hujan yang mendarat di tanganku. Kupejamkan mataku, untuk merasakan kehadirannya—seseorang yang selalu kurindukan.
Suara tawa itu, suara tawa yang sangat kukenal, suara yang kurindukan itu hadir kembali. Seperti halnya dulu, tanganku ditarik untuk berlari menembus hujan.
“Nayla! Sadar, Nak. Kamu hampir terjerembab dari kursi rodamu,” teriak Ibu menghampiri dan memelukku.
“Nak, hampir 3 tahun kamu diam. Hampir 3 tahun Ibu tak mendengar tawa ceriamu. Hampir 3 tahun kamu memasung dirimu di kursi roda ini. Ibu merindukanmu, Nak. Ikhlaskan dia,” bujuk Ibu dalam tangisnya sembari memelukku.

Rindu


Oleh :Nin Wahyuni

Paparan surya tak mampu lagi menghangatkan dinginnya jiwa. Karena malam telah menutup sinarnya. Dalam malam yang ditemani semilir angin yang mengusik jiwa, aku kembali terpekur dalam lamunan. Entah apa yang ingin kusemai malam ini. Bagiku, semua telah berakhir sejak luka itu tertoreh di sudut hatiku. Tidak! Aku tak pernah mengakhirinya. Hanya saja aku ingin berdiam diri membelai malam-malam sunyi untuk belajar memaafkanmu dan… ahh rasa itu masih saja membekaskan luka. Tapi biarlah aku bak kemerlip bintang yang berbaur di tengah bebintang yang bersinar. Kau takkan bisa menemukanku di tebaran angkasa yang luas, tapi aku selalu bisa menemukanmu dimanapun sembunyimu. Bukan! Aku bukanlah jin, setan, atau malaikat, bahkan Tuhan sekalipun. Aku hanya manusia biasa yang selalu menyambutmu istimewa di hatiku, hingga rasa ini selalu mampu menemukanmu. Dimanapun.
Mungkin saja kau mulai pudarkan rasamu padaku, ketika kau merasa lelah untuk terus mencariku, tapi aku tetap disini. Menantimu. Entah, apakah ini akan berakhir sia-sia atau berakhir dengan tangis bahagiaku yang pecah dengan uluran tanganmu? Aku tak tahu. Hanya saja rasa itu terkadang terus menarik-narik ke hulu hatiku. Sejenak lepas dari bayangmu aku tak bisa. Kau telah duduk di singgasana hatiku yang kian rapuh karena kau tak jua menemukanku.
Mungkinkah kekuatan yang kian kikis ini mampu membuatku bertahan? Terpaan demi terpaan kian lantang menerbangkanku. Tapi aku, tetap disini untuk sebuah kepastian darimu. Karena Allah-ku, masih sudi menjagakan rasa ini untuk tetap utuh untukmu, sampai kau hadir dihadapanku memberi keputusan.
Doaku masih terpanjat untukmu. Selalu.
Sudikah kiranya kau selipkan pula namaku disela untaian doamu? Biarkan kita bertemu dipenghujung rindu atas karunia-Nya. Jika itu terlalu berlebihan, biarlah kusimpan saja rasa yang terus menggebu di dasar hati ini. Biar hanya aku dan Allah yang tahu tentang rangkaian kisah ini.
Jika malampun tak mampu membelaimu dengan mesra, biarkan dingin menghimpun tidurmu, untuk bertemu rindu bersamaku.
Rindu…itu satu kata yang selalu terucap di benak hati yang tak pernah berbohong. Untuk dirimu yang kurindu, kubiarkan penantian ini menjadi indah.
***


Minggu, 18 Oktober 2015

Menemukan Cinta Ali



Oleh: Nin Wahyuni

Bisikan merdu terus bertalu di telingaku. Ingin rasanya mengabaikan, namun ia sangat dekat, sedekat hati pada kerinduan. Tak ada yang bisa mengusirnya—karena ini memang sebuah rindu, yang sulit untuk berpaling.
Bingung.
Hatiku terus merutuki perasaan yang akhir-akhir ini hadir—mengacaukan ketenanganku. Mmm…tunggu! Ini bukan sebuah kekacauan. Bukankah kubilang tadi sebuah kerinduan? Ya, sebuah kerinduan yang telah lama kuimpikan.  
Mimpi? apakah orang sepertiku masih memiliki mimpi? tepatnya masihkah pantas orang sepertiku bermimpi? aku telah hancur. Lembaran-lembaranku telah ternoda tinta pekat. Tak mudah terhapus.
Harapan.
Jika semua telah terenggut, setidaknya aku masih memiliki harapan—paling tidak, sesuatu yang membuatku tak mengakhiri hidupku saat ini.  Aku masih percaya dengan “keajaiban”, yang sebenarnya aku sendiri tak teralu percaya. Tapi, laaah biarlah. Intinya, aku belum siap mati.
Banyak yang menertawakan harapan sederhanaku. Bahkan diriku pun menertawakannya. Yaitu menjadi Fatimah yang menemukan cinta Ali. Yah, aku merindukan sosok teduh dalam hidupku. Yang mampu membawaku menghirup aroma syurga.
Masa lalu, bukankah dia terus menjauh pergi? Tapi mengapa malam-malamku selalu dihiasi ketakutan? Bukan karena masa lalu, tapi apa yang ada di masa lalu yang terus membuntuti sepanjang waktu. Membuatku sangat takut.
Oh…suara-suara pergilah!aku sungguh tak mengerti! jeritku seorang diri.
Semilir rona jingga berembus menyibakkan rambutku. Menatap menawannya langit di sore hari. Terpekur aku seorang diri, ditemani goyangan rumput-rumput disekitarku. Hari menjelang gelap. Suara itu kembali terdengar merdu di telingaku, bersamaan tenggelamnya rona merah jambu penghias langit, hanyut terbawa kelamnya malam.
Aku masih duduk sendiri di galengan sawah. Menanti diriku tenggelam jua dalam penghayatan kalimat-kalimat yang sebenarnya tak asing bagiku. Yang sehari ada lima kali suara itu berdengung di telingaku, yang sering kuabaikan. Orang menyebutnya Adzan. Sebuah panggilan. Seperti yang kurasakan saat ini—di hatiku—sebuah panggilan untuk kembali.
***
“Zahra, kamu sudah siap?” kata seorang laki-laki yang menyadarkanku dari lamunan. Dengan tangan gemetar, kuterima kartu nama serta kunci kamar sebuah hotel berbintang. Tertulis kamar 103. Air mataku kembali beruraian. Kutangkup tanganku menutupi wajahku. Bukan! Bukan karena tak ingin lelaki dihadapanku melihat bengkak mataku yang semalaman tak henti menangis, dan kini harus kembali beruraian air mata lagi. Tapi menahan perih di ulu hati, yang tak tahu harus kututup dengan apa rasa sakit ini.

Rabu, 07 Oktober 2015

Ceritaku: Segenggam Asa


oleh: Nin Wahyuni
 

Sebut saja Febriana. Dia seorang gadis yang luar biasa bagiku. Semangatnya sungguh membuatku kagum. Aku terkadang malu dengan diriku yang sering sekali mengeluh. Menganggap bahwa masalahku lebih besar dari orang lain. Padahal? jika aku tilik lebih dalam lagi, sungguh Allah yang maha Besar. Jadi, tak ada masalah besar, karena Allah Yang Maha Besar Sang pemilik masalah. Bukankah Allah telah berfirman dalam QS. Al-Baqarah ayat 286:”Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya…”
Tidak hanya itu, Allah juga berfirman dalam QS. Al Asy-Syarh ayat 5 dan 6:” Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.” 
Jadi, tak ada alasan aku untuk bersedih atau marah dengan masalah-masalah yang aku hadapi. Aku harus sering banyak mendengar dan melihat orang lain agar aku lebih banyak bersyukur.
Febriana, bagiku bukanlah gadis yang beruntung. Dia lahir dari keluarga yang tak mengharapkannya. Orang tuanya menginginkan anak laki-laki, bukan perempuan, itu yang pernah aku dengar dari sumber tak jelas. Entahlah, semoga saja aku salah dengar . Kini dia dalam asuhan saudara orang tuanya.
Saat ini dia baru saja lulus SD dan sekolah di sebuah MTS di Bantul. Dulu, selalu ada keluh kesah darinya dan selalu mengatakan,” Mbak, aku capek sekolah. Aku malu.” Yah, dia mengenyam pendidikan di bangku SD lebih dari 10 tahun. Teman-teman seangkatannya sudah masuk SMA, sedang dia masih duduk di bangku SD. Tapi, entah angin Barat atau angin timur kah yang akhirnya membawanya pada sebuah mimpi. Entah siapa pula yang mampu membangun lagi harapan-harapan yang telah hancur, hingga Febri berkata,”Mbak, aku masih pingin nglanjutin sekolah.” Dia mengatakan dengan sangat bahagia. Allah, malaikat seperti apa yang telah Kau kirimkan untuk Febri hingga ia memiliki mimpi lagi? Sungguh, tak ada yang mampu menghalangi Kuasa-Mu jika Engkau telah berkehendak.
***
Tepatnya satu tahun yang lalu, aku dan teman-teman Pemudi mendirikan bimbel di desa. Aku sangat senang mendapat kesempatan mengajar bersama teman-teman. Maklum, banyak teman-teman yang jurusan pendidikan. Dibantu juga dengan adik-adik yang sudah SMA/SMK. Semua itu berjalan sesuai harapan. Dan Febri, adalah murid yang sangat berkesan bagiku. Dia meskipun merasa minder karena yang bimbel kebanyakan anak Paud, TK, dan kelas dibawahnya, dia tetap bersemangat untuk ikut bimbel.
“Mbak, lulus SD aku gak mau sekolah. Aku mau kerja aja,” kurang lebih begitu katanya padaku. Aku tahu bagaimana perasaannya. Jika aku, ataupun orang lain yang ada diposisinya, mungkin tak sekuat dia. Badannya yang besar, dan umurnya yang sudah remaja tentu saja menjadi beban tersendiri untuknya. Seharusnya dia bisa menikmati masa-masa remaja dengan teman-teman seumurannya, tapi dia masih belum menanggalkan pakaian merah putihnya. Sering pula bercerita menjadi bahan ejekan teman-temannya.
Allah… Engkau telah memilih Febriana. Semoga Engkau menguatkan pula hatinya dan tegakkan langkahnya…
Aku, yang selalu tak dapat melakukan sesuatu, hanya diam dan mencoba tersenyum.
“Semua memang tak ada yang mudah. Jika ada yang bisa menjadi dokter, guru, pilot, dsb bukan berarti mereka tak mengalami kesulitan. Itu karena mereka tekun belajar,” kataku padanya. Aku terus berkata-kata entah itu memberikan pengaruh atau hanya akan terhempas dari lubang telinganya, aku tak tahu. Aku tak ingin dia putus semangat. Beberapa kali kulihat hasil gambarnya. Bagus. Dia memiliki bakat untuk menggambar. Hasil warnanya pun lumayan. Hanya butuh latihan. Dia juga tak pernah lupa membawa buku gambar dan pewarna kemanapun ia pergi.
***
Gadis itu, yang selalu membuatku kagum, selalu memberi kejutan dalam hidupku. Ketika tak sengaja waktu itu aku shalat di masjid, aku bertemu dengannya. Dia sedang mencoba menghafalkan beberapa surat juz 30, padahal dia belum lancar membaca Al-Qur’an tapi semangatnya sungguh luar biasa. Jujur, aku benar-benar malu. Malu dengan semangat yang ia punya. Aku dengan kenikmatan yang begitu besar, selalu luput untuk bersyukur. Hatiku bergetar mendengar lantunannya.
Allah, ampuni aku.
***
Selepas ramadhan, bimbel vakum. Teman-teman sudah sibuk dengan skripsi, tugas sekolah, KKL, dsb. Dan aku juga tidak sanggup berjalan sendiri. Pernah aku hanya mengajar sendiri, dan itu membuatku kewalahan. Setelah itu aku juga sibuk dengan kegiatan kampus. Sedih. Jujur, aku sedih. beberapa kali bertemu dengan Febriana. Dia selalu menanyakan kapan bimbelnya dimulai. Allah, aku merasa sangat egois dengan kegiatan kampus yang mulai menjadi prioritasku. Padahal ada hal yang lebih penting. Bukankah aku calon guru? Bukankah aku harusnya mementingkan mereka? bukankah guru yang baik itu adalah guru yang selalu memperhatikan murid-muridnya? Dimanapun dia berada, selalu menemukan murid untuk diajar.
Tak hanya itu, ada orang tua yang selalu bertanya padaku. “Mbak, kapan bimbel lagi?” aku terkadang bingung menjawabnya. Semua menjadi tak pasti. Mungkin setelah ini. Besok. Atau lusa. Atau entah kapan, aku tak tahu.
Satu hal, aku selau merindukan dimana aku bisa mengajar lagi. Entah itu dimanapun, dan  kapanpun. Dengan mengajar aku bisa bertemu dengan anak-anak yang selalu membuatku punya semangat. Dan meskipun aku sudah beberapa kali bertatap muka dengan beberapa anak, tapi Febriana adalah yang paling istimewa yang memberikan pengaruh dalam hidupku. Yaitu, semangat yang tak pernah pudar dan senyum yang tak pernah surut dari bibirnya. Semoga setelah ini kehidupannya bisa lebih baik lagi.
“Mbak, aku kemarin ikut lomba menggambar tapi belum menang,” katanya suatu hari.
“Belum menang gakpapa yang penting udah berani mencoba. Kalau kamu gak pernah mencoba, kamu gakkan tahu kemampuanmu,” jawabku. Dia tersenyum bahagia.
“Ia Mbak, aku pengen latihan terus,” katanya sambil bersemangat melanjutkan gambarnya. Dan kemarin, ketika bulan Agustus, dia sedang mempersiapkan diri untuk keikutsertaan dalam lomba Kaligrafi. Masya Allah
Segenggam asa telah menyinari langkah Febri. Kini dia telah melangkah dengan pasti. Melangkah tanpa rasa takut.
Sungguh, Allah tak pernah lupa dengan hamba-Nya.
Semoga kebahagiaan selalu mewarnai kehidupannya setelah ini. aamiin.

(RENUNGAN)


Sebuah Pesan
 oleh: Nin Wahyuni

Guys…siapa sih yang gak pernah ngrasain jenuh, tiba-tiba seperti asing? Atau tiba-tiba sedih dan gak semangat? Sama guys… aku juga seperti itu. Bahkan sering sekali merasakan hal semacam itu. Tapi satu hal yang aku minta ketika perasaan itu tiba-tiba hadir dan menumbangkanku, yaitu: Allah, hadirkan seorang teman yang selalu mengingatkan aku akan diri-Mu. Kumpulkan aku dengan orang-orang yang selalu dekat dengan-Mu.
Jadi, ketika rasa dimana tak ada harapan lagi, selalu ada teman yang mengingatkan tentang harapan itu. Mungkin tidak seperti Mario Teguh ataupun  ustadz-ustadz yang suka ceramah di TV. Tapi, seorang teman atau beberapa teman yang selalu ada didekat kita bisa menjadi motivator terbaik untuk kita. Karena mereka lebih tulus mengulurkan tangan membantu kita untuk bangkit.
Sebuah pesan dari seorang teman ketika dititik rasa jenuhku, adalah: masalah…ujian itu ada bukan untuk kita hindari…melainkan untuk kita hadapi dan kita lawan…dan kita pecahkan. Karena apabila kita hindari maka selamanya masalah itu takkan pernah selesai…dan apabila kita berhasil melewatinya maka saat itu kita telah naik satu tingkatlebih tinggi.
Inget guys…kita terlahir bukan untuk menjadi seorang pengecut yang lari dari masalah. Setiap masalah yang menimpa kita, itu bukti cinta Allah kepada kita. Semakin besar masalah yang kita hadapi, semakin tinggi kedudukan kita. 
Setiap kita menghadapi masalah, maka renungkan. Mungkin saja di balik setiap masalah itu terselip pesan Tuhan untuk kita. Coba deh resapi lebih dalam lagi, bukankah dengan masalah-masalah yang menimpa kita justru membuat kita lebih bisa menikmati hidup? Selalu ada tantangan dalam hidup kita yang membuat hidup tidak monoton dan membosankan. 
Orang yang hidupnya dipenuhi masalah, ia akan tumbuh menjadi pribadi yang kuat dan  pantang menyerah. Ia akan terbiasa memecahkan masalah tanpa keluh kesah. Beda dengan orang yang tak suka dengan masalah. Ia akan cenderung menjadi pengeluh dan putus asa. Orang yang seperti itu adalah pribadi yang rapuh dan merepotkan orang lain. 
Pernah kan kita mendengar atau membaca status, atau apalah tentang seseorang yang mengatakan, “Tuhan, mengapa hidupku penuh dengan masalah?” atau "Hidupku kok penuh masalah sih?" biasanya orang seperti itu “kurang melihat dan mendengar” keberadaan orang lain bahwa sesungguhnya masih banyak yang menghadapi masalah lebih besar dibanding dirinya. Apalagi kalau masalahnya hanya karena putus cinta. Naudzubillah 
Kawan, semoga kita bukanlah pribadi yang rapuh, karena Negeri ini butuh kita untuk menjadi agent of change. Ketika masalah datang tanpa permisi, katakan : “Wahai masalah Allah yang Maha Besar.” Kemudian renungkan dan rasakan kehadiran-Nya. Mungkin ada pesan yang akan disampaikan kepada kita, atau justru sebuah belaian kasih sayang dari-Nya.
***
Yogyakarta, 7 Oktober 2015, dalam renungan sore di taman FKIK UMY