oleh: Nin Wahyuni
(cerpen ini pernah dikirim dalam lomba Oase Pustaka 24 April 2015)
Kamar Anggrek nomor 21. Kulihat wajah yang sendu kini terpejam tenang.
Tubuh mungil yang selalu ku peluk dan kudekap, kini dingin. Tangan yang selalu
menggenggamku, kini terlepas. Tawa yang selalu tersemai di wajahnya kala menyambutku,
kini diam membisu. Hanya air mata bersahut-sahutan disekelilingnya. Ia tetap
diam. Kugoncangkan tubuhnya, ia tetap tak bergeming.
“Bangun Alfa! Mbak disini mau dengerin cerita Alfa lagi. Mbak janji gak
akan ngantuk dan tidur kalau Alfa cerita ,” kataku pada tubuh pucat yang
berselimut kain putih.
“Alfa katanya juga mau ngajak Mbak
naik pesawat kan?” kataku lagi pada tubuh kaku itu. Kucoba goncangkan tubuhnya
berkali-kali namun ia tetap diam. Membisu penuh ketenangan. Hanya hembusan
mesra yang berbisik ditelingaku, Seolah menyampaikan pesan namun sulit
kuterjemahkan. Semua orang di ruangan itu tenggelam dalam tangis. Seperti
mimpi. Bocah kecil yang kulihat dua hari lalu—masih bercanda ria denganku—kini sudah
tak bersuara. Hening. Kini ia khidmat
dalam kebisuan. Ketika seorang suster hendak memandikannya, kucegah.
“Biar aku saja yang memandikannya untuk terakhir kalinya,” kataku pada
suster itu. Segera kugendong tubuh mungil itu. Kucium dan kupeluk sebelum kusiramkan
air kebadannya.
“Alfa, semoga kamu bertemu Malaikat Munkar Nakir dengan tersenyum.
Katakan kalau kamu anak yang baik, supaya mereka menjadi temanmu. Semoga Allah
menyayangimu, Alfa. Mbak juga sangat menyayangi Alfa,” kataku berbisik di
telinganya. Kutahu ia mendengar. Berkali-kali kurasakan hembusan angin yang
melintasi telingaku. Aku merasakan kehadiran Alfa di sampingku. Aku terus
berkata-kata pada tubuh kecil itu. Tak peduli Ibu yang menasehati aku untuk
merelakannya.
Selesai memandikan dan
menyolatkannya, tubuh kecil itu dibawa pulang untuk di makamkan. Aku sudah tak
sanggup lagi untuk mengantarkan pada pembaringan terakhirnya. Kulihat wajah
penuh penyesalan tergurat di wajah bibi Marian. Ia nampak sangat bersalah.
Berkali-kali jatuh pingsan. Alfa adalah anak satu-satunya yang kini telah
kembali pada Sang Pemiliknya. Sekilas kulihat bayangan putih berkelebat di
depanku.
“Alfa…” pekikku. Aku berlari mencari bayangan itu. Tangisku tak
terbendung lagi. Ibu menahanku dan memelukku. Menyadarkanku bahwa Alfa telah
pergi—ia telah meninggalkan kefanaan dunia.
***
Ku ingat betul wajah Alfa satu tahun yang lalu. Wajah anak itu sendu. Selalu tergurat kesedihan di wajahnya. Setiap kutanya kenapa, ia tak pernah menjawab. Ia selalu menjauh dariku. Rupanya ia tak suka didekati. Setiap kulihat dia, ia hanya bermain sendiri. Tertawa dan berbicara seorang diri. Aku hanya tersenyum ketika ia mengambil sebuah ranting kemudian menggambar sebuah pesawat. Kemudian ia rentangkan tangannya dan berlari berputar-putar. Ia tertawa bahagia. Begitu menghayati perannya. Hingga tiba-tiba…
Bukkkk….
Aku segera berlari menghampirinya. Kuraih tangannya, dan kugendong pulang
ke rumahnya. Bibi Marian terlihat sangat marah.
“Alfa, main apa tadi kok kotor begitu? Dasar anak nakal!” Di jewernya
telinga Alfa. Di tariknya menuju kamar mandi. Ia hanya menangis penuh
kepasrahan.
“Bi, jangan di marahin Alfa nya. Kasian. Dia tadi jatuh di depan rumah,”
kataku berusaha menjelaskan kronologisnya. Tapi bibi Marian tetap marah. Ia
tetap menghukum bocah kecil tak berdosa itu. Jeritan dan tangis pilunya
membuatku tak tahan. Kuraih ia dari jangkauan Ibunya. Tak tega melihat anak
sekecil itu di pukul dengan gagang sapu dan di guyur air. Ku gendong dan
kugantikan bajunya yang basah. Setelah itu kutidurkan di kasurnya.
“Alfa, bobok dulu ya. Capek kan tadi habis main?” Sambil kubelai
kepalanya dan kukecup keningnya. Ia memelukku. Erat. Sangat erat. Untuk pertama
kalinya Alfa memelukku. Biasanya dia menghindar dan takut ketika didekati. Tak
hanya denganku. Dengan orang lain, bahkan dengan orangtuanya sendiri ia takut.
Berkali-kali anak sebayanya datang ke rumah, namun Alfa tak mau menemuinya.
Gurat ketakutan tergambar jelas ketika ada yang hendak meraihnya. Ia selalu
meminta ampun dan menjerit histeris.
Ingin rasanya aku
bersama Alfa setiap hari. Menjaga dari kegarangan orangtuanya. Orangtuanya
selalu memarahi anak itu jika nilainya merah semua. Memarahinya jika ia terlalu
banyak bermain di luar rumah. Ia selalu dikurung dalam rumah. Setiap malam
kudengar teriakan bibi memarahi Alfa karena belum bisa membaca dan menulis.
Tahun kemarin ia tinggal kelas. Jadi sekarang dia masih kelas satu SD. Membuat
semakin seringnya anak itu kena marah.
Malam hari ketika aku
pulang kuliah, kudengar lagi suara jeritan itu. Aku segera berlari menuju
rumahnya yang hanya teraling-aling tiga pohon mangga besar. Kuterobos kegelapan
malam yang pekat. Tak peduli sandal yang kukenakan terlepas dari kakiku. Hanya
Alfa yang terfikir olehku. Ketika aku sudah berada di depan rumahnya, kulihat
Alfa sedang di jewer. Melihat bayanganku, anak itu berlari menghampiriku.
Memelukku. Mendekapku.
“Bi, Alfa kenapa kok dimarahin lagi?”
“Dia itu udah gede gak ngerti-ngerti. Masa aku dipanggil lagi ke sekolah
gara-gara dia gak pernah ngerjain PR. Dia juga gak pernah mau nulis di kelas.
Aku itu malu, Nin?” kata bibi padaku dengan menahan gejolak di dadanya.
“Tapi kasihan Alfa, Bi. Dia masih kecil. Butuh bimbingan dan kasih
sayang.”
“Biar aku yang mengajarinya setiap malam,” lanjutku pada bibi Marian. Ia
pun menyetujuinya.
***
Angin malam begitu
dingin. Menambah keheningan yang semakin pekat. Kunang-kunang membingkai malam
menjadi sangat indah. Suasana sawah yang menyegarkan jiwa. Ini adalah hari
pertama aku mengajar Alfa di rumahnya. Aku duduk menghadap sawah sembari
menikmati keindahan alam. Rumahnya memang dekat area persawahan. Begitu tenang.
Hanya suara jangkrik yang mengerik, mengusir kesepian. Alfa begitu bersemangat
ketika belajar. Kuajarinya menulis dan membaca.
“b-u-k-u….bu ku s-a-y-a… sa ya… b-a-r-u…ba
ru.”
Ia terbata-bata ketika menggabungkan kata demi kata namun, semangatnya
sungguh luar biasa. Ia tak menyerah setiap kali salah. Aku semakin bersemangat
mengajarinya.
“Alfa, apa yang dilakukan murid-murid di kelas ketika pelajaran sedang
berlangsung?” ia tersenyum penuh bahagia. Akupun ikut tersenyum.
“Biasanya makan jajan, lari-lari di kelas, lempar-lemparan kertas,
terus…apa lagi ya? Oh iya cerita tentang Bernard bear.” Ia menjawab dengan
penuh semangat. Tawaku yang tadi lebar, perlahan mengerut. Gubrakkk,
batinku. Tapi ku coba tetap tersenyum walau sudah kaku rasanya bibirku ini.
Pantas bibi sering marah pada anak itu. Mungkin tidak sabar dan terlalu
jengkel. Kuakui memang payah sekali. Maklum kalau sampai tinggal kelas.
Satu jam berlalu.
Kulihat ia mulai lelah. Kusudahi belajarnya malam itu. Ia nampak sedih. Dia
mengharapkanku setiap malam datang ke rumah untuk mengajarinya. Aku tersenyum. Insyaallah.
Hanya itu yang bisa ku katakan.
Tak terasa waktu berlalu
begitu cepat. Suatu hari, bibi Marian menelponku memberitahu tentang hasil
rapor Alfa. Ia naik kelas dengan nilai yang pas-pasan tapi tidak ada nilai
merah. Aku senang mendengarnya. Alfa, terimakasih sudah membuktikan pada
mbak dan orangtuamu bahwa kamu bisa, kataku dalam hati.
Sejak saat itu grafik
prestasinya terus meningkat. Bibirnya mulai terhiasi dengan senyuman. Tak lagi
kudengar jerit dan tangisnya. Tak lagi kudengar teriak marah bibi Marian
padanya. Kini bibi menyayangi Alfa. Apapun yang ia minta pasti dituruti. Bahkan
ketika meminta pesawat remot yang harganya mahal sekalipun. Ia kini menjadi
bocah yang periang. Setiap kutanya apa cita-citanya, ia selalu menunjuk pada
pesawat mainannya.
Malam kembali menjelang.
Seperti biasa aku ke rumah Alfa untuk mengajarinya. Tapi ketika sampai di
rumahnya, kulihat Alfa terbaring lemah. Matanya sayu. Sesekali kudengar
sesegukan tangisnya. Bibi menceritakan padaku bahwa pesawat remotnya di rusak teman-temannya.
Katanya pesawat itu tidak boleh dipinjam, kemudian mereka merusaknya.
“Mbak, pesawatnya rusak…hukk..hukk.” Dia mulai menangis lagi. Kubelai
rambutnya dan kutenangkan.
“Alfa, jangan sedih. Nanti Alfa nabung buat beli yang baru, yang lebih bagus,” kataku
menyemangati.
“Tapi itu hadiah dari Mama sama Ayah karena sekarang aku pinter, Mbak.
Kalau aku punya uang banyak, aku gak mau beli pesawat mainan. Aku mau beli
pesawat yang bisa terbang beneran. Nanti aku mau ajak Mbak Anin terbang
keliling dunia,” katanya dengan nada yang lemah penuh pengharapan. Aku hanya
tersenyum dan mengiyakan perkataannya. Mataku mulai mengembun,tapi kucegah
untuk tak menetes. Melempar senyum, itu yang bisa kulakukan.
Malam itu bibi
menyuruhku menemani Alfa. Sepanjang malam anak itu terus bercerita padaku
tentang mimpinya. Ia bercerita bahwa ia bisa terbang melayang-layang diudara.
Ia berhenti pada sebuah taman yang indah dan ramai dikunjungi banyak orang
namun tak dikenalnya. Ketika ia melihatku, katanya ia memanggil-manggil namaku
tapi aku terus berlalu. Dia mengejarku namun aku semakin menjauh. Ia kemudian
lelah dan berhenti. Diam-diam aku menangis mendengar ceritanya. Alfa malam itu
terus bercerita hingga lewat tengah malam. Ketika mataku perlahan memejam
karena kantuk, tangan kecilnya mencubit hidungku. Ia membangunkanku.
“Besok lagi ya, Fa. Mbak udah ngantuk banget ni. Alfa juga tidur gih,
jaga kesehatan biar cepet sembuh terus cerita lagi sama Mbak.”
“Mbak Aniiiin… banguuuun. Ceritanya bentar lagi selesai kok. Bentar aja
Mbak.” Dia terus memohon padaku dengan suaranya yang lemah. Aku hanya
mengangguk dengan mata terpejam. Entah sampai jam berapa ia bercerita padaku.
Aku tak ingat lagi.
Keesokan harinya aku
terbangun teriak histeris bibi Marian. Ia menggocang-goncangkan tubuh mungil
itu. Spontan aku terbangun dan memanggil-manggil nama Alfa. Ia diam beberapa
saat. Kemudian terdengar suara lemah dari bibirnya mengatakan sesuatu yang tak
kumengerti. Matanya masih terpejam. Tangannya menggenggam lemah tanganku. Bibi panik.
Tak lama kemudian paman Afian pulang dari kerjanya. Ia mendapat kerja shift
malam sehingga semalam hanya aku dan bibi yang menjaga Alfa. Belum sempat
berganti pakaian, bibi langsung meminta diantar ke rumah sakit. Keadaan Alfa
sudah sangat memprihatinkan. Kamar Anggrek nomor 21, menjadi saksi sebuah
perpisahan yang abadi.
***
Angin semilir berbisik
mesra menyampaikan asa. Aku berjalan menikmati ayunan lembut dedaunan yang
menyapa. Begitu ringan, hingga tak terasa angin membawaku berlari kencang.
Terhenti. Seketika angin berhenti berhembus. Aku terpaku pada tanah yang pernah
dipijak Alfa. Kuingat dia pernah menggambar pesawat terbang di tanah itu. Satu
bulan sudah ia pergi, namun bayangannya masih jelas tergambar dalam
penglihatanku.
Alfa… tanpa pesawat terbang kamu sudah bisa melenggang jauh. Bahkan jauh
hingga mbak Anin tak bisa melihatmu lagi. Kamu sudah menemukan kebahagiaanmu
disana. Angin telah membawamu terbang. Kamu sudah bisa menemukan anginmu meski
harus meninggalkan kami semua. Terkadang mbak berfikir, kamu itu egois. Kamu
begitu cepat mengambil keputusan untuk pergi. Padahal kamu belum menepati janji
sama mbak. Katanya kamu mau jadi pilot. Mau ngajak mbak terbang melihat dunia.
Pengen ngajak mbak keliling dunia berdua dengan pesawat pribadi Alfa. Kok
sekarang Alfa pergi sendiri?
Air mataku kembali deras. Tak sanggup mengenang Alfa. Dia begitu kusayang
seperti adikku sendiri.
Suatu ketika bibi Marian berkata
padaku.”Nin, aku belum bisa menjadi ibu yang baik buat Alfa. Setiap hari dia
kumarahi karena melakukan kesalahan. Aku belum bisa menjadi orangtua yang baik.
Harusnya aku melindunginya dan menyayanginya. Tapi apa? Aku selalu menyiksanya.”
Tangisnya mulai membuncah. Aku menepuk pundaknya dan memeluknya.
“Terimakasih kamu sudah menyayangi Alfa. Diakhir hidupnya pun yang ia
sebut-sebut adalah namamu. Makasih ya Nin. Makasih kamu sudah membuka mataku
tentang arti sebuah kasih sayang, dan itu tak ia dapatkan dari aku. Akuu…” Bibi
tak bisa meneruskan kata-katanya.
Angin kembali berhembus. Membawa asa yang semakin membubung tinggi di
angkasa. Selamat jalan Asa.. selamat jalan Alfaku….
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar