Oleh: Nin Wahyuni
Novel
Karya Hanum Salsabila Rais dan Rangga Al Mahendra kembali hadir dengan judul
“Bulan Terbelah Di Langit Eropa”. Dalam Novel kali ini mereka tidak hanya
menuliskan tentang travelling mereka saja seperti novel sebelumnya yang
berjudul “99 Cahaya Di Langit Eropa”, tetapi juga diperkaya dengan sejarah dan
beberapa informasi penting, sehingga novel memiliki nilai plus di hati
pembaca. Memang novel ini sangat menarik bagi saya. Walaupun dibalut dengan
kisah perjalanan mereka selama di Eropa dan Amerika, namun juga bisa menambah
wawasan karena ada beberapa fakta yang harus kita ketahui. This is about
ISLAM di Eropa dan Amerika. Jika pada novel sebelumnya membicarakan
mengenai trauma Eropa dengan Islam adalah setelah runtuhnya kejayaan Islam pada
masa kepemimpinan Mustafa Kemal Pasha, sekarang kita akan menguak sebuah
tragedy trauma ISLAM di Amerika.
Perjalanan Hanum menguak sebuah tragedy trauma ISLAM di
Amerika berawal ketika ia bekerja di sebuah Sebuah
surat kabar bernama Heute ist Wunderbar, adalah surat kabar gratis di
Wina. Tapi suatu ketika mengalami masalah besar, yaitu hampir mengalami
kebangkrutan. Sehingga, seorang atasan bernama Gertrud Robinson meminta Hanum
untuk membuat sebuah berita yang ‘luar biasa’. Yaitu sebuah berita yang akan
mengubah dunia “Would the world be better without Islam” ‘akankah dunia
lebih baik tanpa Islam?’ hal ini sangat membuat kita—sebagai orang Islam tidak
setuju dengan pernyataan tersebut. Mana bisa dunia lebih baik tanpa Islam?
Di
Eropa norma dan susila telah diberantas dan dikubur hidup-hidup. Tapi disisi
lain, mereka justru memegang nilai-nilai kehidupan yang Islami terkait
pentingnya waktu, kejujuran, integritas, kerjakeras, kebersihan, dan tak cepat
puas berprestasi. Eropa bisa demikian menyingkirkan sendi spiritualisme dalam
kehidupan, mungkin karena trauma intelektualitas dan kebebasan Eropa yang
pernah diselkan selama lebih dari 1.000 tahun. Zaman kegelapan Eropa yang
disebut The Dark Ages menjadi kanker laten yang siap meluncur jika
responnya dipicu. Fenomena Islamophobia adalah buncah kegamangan Barat terhadap
doktrin agama apapun. Sialnya lagi, saat orang-orang Barat beranjak menerima
Islam di tengah-tengah mereka, tragedy 9/11 di Amerika terjadi. Lengkaplah
sudah, tragedy itu membuat trauma 1.000 tahun yang belum tuntas sirna, seperti
digerojok tambahan 1.000 tahun lagi. Entahlah siapa dalang di balik peristiwa
memilukan itu.
Terhitung
delapan musim gugur telah melangkah di negeri ini sejak tragedy Black
Tuesday 11 september 2001. Dan entah berapa puluh kali pergantian musim
yang telah dijalani. Negeri ini adalah negeri yang memendam trauma. Delapan
tahun terlalu sedikit dan pendek untuk mengaburkan luka dan kepedihan bangsa
yang ditenarkan sebagai adikuasa dunia ini. Negeri ini adalah negeri yang sama
sekali berbeda sekali sejak hari nahas itu. Negeri ini harus memamah ribuan
telepon kedaruratan tiap minggunya karena sesuatu yang sangat sepele.
Orang-orang menelepon mengabarkan banyak pesawat terbang rendah di atas rumah
mereka, tas plastic yang tertinggal di tepi jalan, hingga listrik rumah yang
tiba-tiba mati. Negeri ini tanpa protes atau melawan sudah mafhum bahwa
paket barang sekecil apa pun wajib digeledah di check point sebelum dan
sesudah penerbangan.