Sabtu, 23 Mei 2015

Review: Novel Best Seller Bulan Terbelah di Langit Amerika


Oleh: Nin Wahyuni

            Novel Karya Hanum Salsabila Rais dan Rangga Al Mahendra kembali hadir dengan judul “Bulan Terbelah Di Langit Eropa”. Dalam Novel kali ini mereka tidak hanya menuliskan tentang travelling mereka saja seperti novel sebelumnya yang berjudul “99 Cahaya Di Langit Eropa”, tetapi juga diperkaya dengan sejarah dan beberapa informasi penting, sehingga novel memiliki nilai plus di hati pembaca. Memang novel ini sangat menarik bagi saya. Walaupun dibalut dengan kisah perjalanan mereka selama di Eropa dan Amerika, namun juga bisa menambah wawasan karena ada beberapa fakta yang harus kita ketahui. This is about ISLAM di Eropa dan Amerika. Jika pada novel sebelumnya membicarakan mengenai trauma Eropa dengan Islam adalah setelah runtuhnya kejayaan Islam pada masa kepemimpinan Mustafa Kemal Pasha, sekarang kita akan menguak sebuah tragedy trauma ISLAM di Amerika.
Perjalanan Hanum menguak sebuah tragedy trauma ISLAM di Amerika berawal ketika ia bekerja di sebuah Sebuah surat kabar bernama Heute ist Wunderbar, adalah surat kabar gratis di Wina. Tapi suatu ketika mengalami masalah besar, yaitu hampir mengalami kebangkrutan. Sehingga, seorang atasan bernama Gertrud Robinson meminta Hanum untuk membuat sebuah berita yang ‘luar biasa’. Yaitu sebuah berita yang akan mengubah dunia “Would the world be better without Islam” ‘akankah dunia lebih baik tanpa Islam?’ hal ini sangat membuat kita—sebagai orang Islam tidak setuju dengan pernyataan tersebut. Mana bisa dunia lebih baik tanpa Islam?
Di Eropa norma dan susila telah diberantas dan dikubur hidup-hidup. Tapi disisi lain, mereka justru memegang nilai-nilai kehidupan yang Islami terkait pentingnya waktu, kejujuran, integritas, kerjakeras, kebersihan, dan tak cepat puas berprestasi. Eropa bisa demikian menyingkirkan sendi spiritualisme dalam kehidupan, mungkin karena trauma intelektualitas dan kebebasan Eropa yang pernah diselkan selama lebih dari 1.000 tahun. Zaman kegelapan Eropa yang disebut The Dark Ages menjadi kanker laten yang siap meluncur jika responnya dipicu. Fenomena Islamophobia adalah buncah kegamangan Barat terhadap doktrin agama apapun. Sialnya lagi, saat orang-orang Barat beranjak menerima Islam di tengah-tengah mereka, tragedy 9/11 di Amerika terjadi. Lengkaplah sudah, tragedy itu membuat trauma 1.000 tahun yang belum tuntas sirna, seperti digerojok tambahan 1.000 tahun lagi. Entahlah siapa dalang di balik peristiwa memilukan itu.
Terhitung delapan musim gugur telah melangkah di negeri ini sejak tragedy Black Tuesday 11 september 2001. Dan entah berapa puluh kali pergantian musim yang telah dijalani. Negeri ini adalah negeri yang memendam trauma. Delapan tahun terlalu sedikit dan pendek untuk mengaburkan luka dan kepedihan bangsa yang ditenarkan sebagai adikuasa dunia ini. Negeri ini adalah negeri yang sama sekali berbeda sekali sejak hari nahas itu. Negeri ini harus memamah ribuan telepon kedaruratan tiap minggunya karena sesuatu yang sangat sepele. Orang-orang menelepon mengabarkan banyak pesawat terbang rendah di atas rumah mereka, tas plastic yang tertinggal di tepi jalan, hingga listrik rumah yang tiba-tiba mati. Negeri ini tanpa protes atau melawan sudah mafhum bahwa paket barang sekecil apa pun wajib digeledah di check point sebelum dan sesudah penerbangan.

Kamis, 07 Mei 2015

Senandung Cinta Ar-Rahman


 oleh: Nin Wahyuni
          Tak ada sepatah katapun keluar dari bibirku. Hanya air mata penyesalan mewakili perasaanku. Hanya ibu yang berusaha tegar menahan tangisnya. Namun setegar apapun didepanku, tapi hatinya pasti rapuh. Apalagi aku adalah penyebab musibah ini terjadi. Ketika semua orang telah beranjak, aku dan ibu masih terpaku di depan gundukan tanah yang masih basah. Ibu tak henti-hentinya memanjatkan doa ditengah tangisku yang semakin meledak.
“ikhlaskan, Nak. Biarkan ayah bahagia disisi Allah. Kita doakan supaya Allah mengampuni segala dosa-dosanya.” Ibu menguatkan aku. Betapa berjiwa besarnya hati ibu, orang yang selama ini aku anggap cengeng. Ibu yang selalu menangis melihat ayah membentakku dan tak segan-segan memukulku. Ku akui aku memang bandel. Aku tak pernah mengindahkan perintah ayah. Padahal ayah hanya meminta agar aku berhijab. Tapi aku selalu menolak. Sampai aku lulus SMA pun belum ada keinginan untuk berhijab. Selalu ada alasan untuk menolak keinginannya. penyesalan demi penyesalan bermunculan di benakku. Kini ayah telah berpulang, sedang aku belum bisa menepati janjiku padanya.
Langit tiba-tiba mendung. Rintik hujan mulai berjatuhan. Ibu mengajakku pulang, tapi aku masih terpaku di depan makam ayah. Ibu berdiri memunggungiku. Menangis tertahan dibelakangku. Aku bangun dan memeluk ibu. Aku meminta maaf padanya. Ini semua salahku. Jika saja waktu itu aku menuruti ayah, pasti ayah masih ada disamping kami.
            Tiga hari sebelum kepergian ayah, ayah selalu resah. Ayah menjadi manja pada ibu. Hingga mau berangkat kerjapun, ia mencium kening ibu lama sekali. Seperti orang yang mau bepergian jauh. Kami tak memiliki firasat apapun ketika itu. Perlakuan ayah padaku tetap sama saja. Keras.
         


           

Melenggang Bersama Angin


oleh: Nin Wahyuni 
(cerpen ini pernah dikirim dalam lomba Oase Pustaka 24 April 2015)


          Kamar Anggrek nomor 21. Kulihat wajah yang sendu kini terpejam tenang. Tubuh mungil yang selalu ku peluk dan kudekap, kini dingin. Tangan yang selalu menggenggamku, kini terlepas. Tawa yang selalu tersemai di wajahnya kala menyambutku, kini diam membisu. Hanya air mata bersahut-sahutan disekelilingnya. Ia tetap diam. Kugoncangkan tubuhnya, ia tetap tak bergeming.
“Bangun Alfa! Mbak disini mau dengerin cerita Alfa lagi. Mbak janji gak akan ngantuk dan tidur kalau Alfa cerita ,” kataku pada tubuh pucat yang berselimut kain putih.
 “Alfa katanya juga mau ngajak Mbak naik pesawat kan?” kataku lagi pada tubuh kaku itu. Kucoba goncangkan tubuhnya berkali-kali namun ia tetap diam. Membisu penuh ketenangan. Hanya hembusan mesra yang berbisik ditelingaku, Seolah menyampaikan pesan namun sulit kuterjemahkan. Semua orang di ruangan itu tenggelam dalam tangis. Seperti mimpi. Bocah kecil yang kulihat dua hari lalu—masih bercanda ria denganku—kini sudah tak bersuara. Hening. Kini ia  khidmat dalam kebisuan. Ketika seorang suster hendak memandikannya, kucegah.
“Biar aku saja yang memandikannya untuk terakhir kalinya,” kataku pada suster itu. Segera kugendong tubuh mungil itu. Kucium dan kupeluk sebelum kusiramkan air kebadannya.
“Alfa, semoga kamu bertemu Malaikat Munkar Nakir dengan tersenyum. Katakan kalau kamu anak yang baik, supaya mereka menjadi temanmu. Semoga Allah menyayangimu, Alfa. Mbak juga sangat menyayangi Alfa,” kataku berbisik di telinganya. Kutahu ia mendengar. Berkali-kali kurasakan hembusan angin yang melintasi telingaku. Aku merasakan kehadiran Alfa di sampingku. Aku terus berkata-kata pada tubuh kecil itu. Tak peduli Ibu yang menasehati aku untuk merelakannya.
            Selesai memandikan dan menyolatkannya, tubuh kecil itu dibawa pulang untuk di makamkan. Aku sudah tak sanggup lagi untuk mengantarkan pada pembaringan terakhirnya. Kulihat wajah penuh penyesalan tergurat di wajah bibi Marian. Ia nampak sangat bersalah. Berkali-kali jatuh pingsan. Alfa adalah anak satu-satunya yang kini telah kembali pada Sang Pemiliknya. Sekilas kulihat bayangan putih berkelebat di depanku.
“Alfa…” pekikku. Aku berlari mencari bayangan itu. Tangisku tak terbendung lagi. Ibu menahanku dan memelukku. Menyadarkanku bahwa Alfa telah pergi—ia telah meninggalkan kefanaan dunia.
***
           

Minggu, 03 Mei 2015

Warna-Warni Makna Cinta



Oleh: Nin Wahyuni


            Cinta? mungkin sebagian orang mulai bosan membicarakan tentang cinta. Tapi tidak bagiku. Cinta hadir dengan segala keunikan, karena kata cinta yang tersusun dari lima huruf ini memiliki banyak makna. Setiap orang memiliki persepsi sendiri-sendiri tentang cinta. Begitupun menurutku maupun menurut kalian, kan? Well, cinta itu mudah sekali diucapkan. Cinta mudah untuk diuraikan dengan kata-kata indah nan romantis. Tapi satu hal yang susah, yaitu mendefinisikan cinta itu sendiri. Banyak yang tak paham dengan kata-kata cinta yang ia ucapkan. Banyak yang tak mengerti apa itu cinta. Cinta laksana dua sisi mata uang. Tergantung pribadi masing-masing dari sisi mana mereka mengartikan dan memaknainya.
            Dulu yang aku tahu cinta itu hanya diberikan kepada lawan jenis saja. Jika sudah berbicara tentang cinta, pasti pikiranku langsung membayangkan sosok idaman. Hati menjadi melayang-layang ketiup angin. Yah, begitulah cinta yang aku rasakan. Apalagi kalau perasaan cinta itu terbalas, wiuhhh senengnya bukan main. Ketawa-ketiwi sendiri sambil megangin Hp. Gila mendadak deh jadinya! Tapi ketika cinta tersebut tak lagi sejalan, maka yang terjadi adalah saling menyakiti. Dunia yang tadinya hanya milik berdua (bagi orang yang dimabuk cinta) tiba-tiba akan berubah gelap seketika. Air mata berderai-derai, majas hiperbolanya air mata menganak sungai(lebay amat sihhh!!!). Ya begitulah kalau salah mengartikan cinta. Menempatkan cinta tak pada tempatnya. Kalau sudah kehilangan pasti galau mulu. Itu sih dulu…