Oleh :
Nin Wahyuni
Kaulah ibuku cinta kasihku
Terimakasihku takkan pernah terhenti
Kau bagai matahari yang selalu bersinar
Sinari hidupku dengan kehangatanmu
***Ibu__Haddad Alwy__***
Hari ini banyak yang memperingati hari ibu. Tapi, aku tidak ingin
memperingatinya. Setiap hariku adalah hari terindah bersamamu. Setiap hari
adalah hari spesial bersamamu. Berusaha dan belajar menghormatimu tanpa
mengenal waktu tertentu. Jika banyak yang memberi kado di hari peringatan hari
ibu, aku ingin menghadiahimu sepanjang waktuku. Sepanjang nafasku untuk selalu
mendoakan keselamatanmu, ibu—didunia dan di akhirat kelak. Aku berusaha terus untuk
membanggakanmu. Menjadi qurrata a’yun di qalbumu. Menjadi penerang langkahmu untuk
bersama menuju-Nya.
Ibu…aku menyayangimu. Segenap hatiku. Seluruh jiwaku. Seluruh
nafasku. Ibarat cahaya yang terpendar indah, kaulah pengisi ruang jiwaku yang
selalu haus kasih sayang. Terimakasih untuk segala pengorbanan yang tak
teruntai kata.
Ibu…terimakasih selalu menemani setiap celotehku setiap malam,
apalagi ketika di rumah hanya ada aku dan kamu, ibu. Bercerita sepanjang malam
menjadi tak terasa. Meringankan bebanku ketika tak ada satupun yang mampu
mendengarku.
Ibu…terimakasih telah mengajarkanku untuk tidak manja. Mengajariku melewati
terjalnya kehidupan, yang selalu menggoreskan luka dan meninggalkan rasa sakit.
Mengajariku melewati kerasnya goda untuk tidak bersyukur. Mengajariku bersabar
dan berdoa tanpa lelah. Mengajariku ikhlas tanpa mengemis belas kasih. Mengajariku
mandiri diatas ketidakmampuan. Mengajariku pelajaran kehidupan yang tidak
kudapat di bangku sekolah.
***
Ibu…sering aku ingin marah dengan keadaan. Sering menganggapmu pelit
dan tidak mengerti aku. Sekalipun, kamu tidak pernah menuruti apa keinginanku,
meski aku sudah merengek sampai marah, bahkan menangis. Kau tetap tidak
bergeming. Membiarkanku tenang sendiri. Berulang…dan terus berulang hingga aku
dewasa. Hingga bangku kuliah. Kau tidak pernah menuruti semua keinginanku. Iri?
Iya sering sekali aku iri dengan kehidupan teman-teman yang serba ada. Bahkan
yang ekonominya di bawah keluarga kita saja bisa membelikan anaknya ini dan
itu. Sedangkan aku? Aku hanya bisa mendoa agar suatu saat aku bisa membeli
semua barang yang aku inginkan dengan keringatku sendiri. Aku penuh dengan
kekurangan, tapi kau tetap tak menuruti inginku untuk sama seperti mereka. Sempat
terfikir, apakah memang setidakpunya inikah keluargaku?
“Ibu, kita punya sawah,halaman yang luas, punya ternak, punya unggas,
punya hasil kebun yang lumayan. Tapi kenapa menuruti anak-anaknya saja tidak bisa?
Teman-teman rumahnya bagus, bisa beli Hp, pakaian bagus, kendaraan juga bagus,”
protesku kala itu.
Jawabanmu tak pernah kuduga. Kau memintaku bersyukur. Kau memintaku
bermuhasabah.
“Mereka yang kamu bilang punya rumah
bagus tapi ternaknya habis dijual. Sekarang makan saja harus beli nasi karena
sawah juga digadaikan, ditambah cicilan motor sedangkan tidak bekerja. Terus
contoh lagi tetangga yang rumahnya bagus tapi tanahnya bukan tanah sendiri. Ada
lagi yang bisa beli barang-barang mewah tapi semua tanah miliknya dijual. Kamu
mau seperti mereka? Nantinya cuma bisa gigit jari?”.
Aku
masih terus mengungkit harta waris bapak. Yang bagiku tidak adil. Dari dulu bapak
sudah sering mengalah dengan saudara-saudaranya. Rela tidak melanjutkan
berjuang menjadi guru demi membantu orang tuanya membiayai adik-adiknya. Sekarang,
ketika kakak dan adik-adik dari bapak sudah memiliki kehidupan yang layak, bapak
tetap saja tak memperoleh bagian yang layak. Bapak tak memiliki hak waris yang
layak. Tapi sungguh, kau adalah istri yang yang luar biasa. Kamu tidak pernah
memperlakukan bapak semena-mena dengan statusmu sebagai orang yang lebih punya
dari bapak. Rumah, halaman yang luas, dan sawah adalah milikmu, tapi kau tidak
pernah merendahkan bapak sedikitpun.
Cuma harta dunia, katamu.
Malu rebutan harta, katamu.
Ibu…banyak hal yang harus kupelajari tentang
pelajaran kehidupan ini, agar aku bisa menghadapi duri-duri yang siap
menyakiti.
Sejak
itu…aku tidak pernah merengek meminta apapun padamu. Aku belajar bersyukur
dengan berapapun pemberianmu. Meski sebenarnya tidak cukup, dan aku sering berpuasa
demi mengehemat pengeluaran setiap mingguku. Atau bekerja paruh waktu, demi
mengerti sulitnya mencari sesuap nasi.
***
***Late
post~22 Desember 2017~Not Mother’s Day