Selasa, 13 Februari 2018

Bersinar Kau Bagai Cahaya



Oleh     : Nin Wahyuni

Kaulah ibuku cinta kasihku
Terimakasihku takkan pernah terhenti
Kau bagai matahari yang selalu bersinar
Sinari hidupku dengan kehangatanmu
***Ibu__Haddad Alwy__***

Hari ini banyak yang memperingati hari ibu. Tapi, aku tidak ingin memperingatinya. Setiap hariku adalah hari terindah bersamamu. Setiap hari adalah hari spesial bersamamu. Berusaha dan belajar menghormatimu tanpa mengenal waktu tertentu. Jika banyak yang memberi kado di hari peringatan hari ibu, aku ingin menghadiahimu sepanjang waktuku. Sepanjang nafasku untuk selalu mendoakan keselamatanmu, ibu—didunia dan di akhirat kelak. Aku berusaha terus untuk membanggakanmu. Menjadi qurrata a’yun di qalbumu. Menjadi penerang langkahmu untuk bersama menuju-Nya.
Ibu…aku menyayangimu. Segenap hatiku. Seluruh jiwaku. Seluruh nafasku. Ibarat cahaya yang terpendar indah, kaulah pengisi ruang jiwaku yang selalu haus kasih sayang. Terimakasih untuk segala pengorbanan yang tak teruntai kata.
Ibu…terimakasih selalu menemani setiap celotehku setiap malam, apalagi ketika di rumah hanya ada aku dan kamu, ibu. Bercerita sepanjang malam menjadi tak terasa. Meringankan bebanku ketika tak ada satupun yang mampu mendengarku.
Ibu…terimakasih telah mengajarkanku untuk tidak manja. Mengajariku melewati terjalnya kehidupan, yang selalu menggoreskan luka dan meninggalkan rasa sakit. Mengajariku melewati kerasnya goda untuk tidak bersyukur. Mengajariku bersabar dan berdoa tanpa lelah. Mengajariku ikhlas tanpa mengemis belas kasih. Mengajariku mandiri diatas ketidakmampuan. Mengajariku pelajaran kehidupan yang tidak kudapat di bangku sekolah.
***
Ibu…sering aku ingin marah dengan keadaan. Sering menganggapmu pelit dan tidak mengerti aku. Sekalipun, kamu tidak pernah menuruti apa keinginanku, meski aku sudah merengek sampai marah, bahkan menangis. Kau tetap tidak bergeming. Membiarkanku tenang sendiri. Berulang…dan terus berulang hingga aku dewasa. Hingga bangku kuliah. Kau tidak pernah menuruti semua keinginanku. Iri? Iya sering sekali aku iri dengan kehidupan teman-teman yang serba ada. Bahkan yang ekonominya di bawah keluarga kita saja bisa membelikan anaknya ini dan itu. Sedangkan aku? Aku hanya bisa mendoa agar suatu saat aku bisa membeli semua barang yang aku inginkan dengan keringatku sendiri. Aku penuh dengan kekurangan, tapi kau tetap tak menuruti inginku untuk sama seperti mereka. Sempat terfikir, apakah memang setidakpunya inikah keluargaku?
“Ibu, kita punya sawah,halaman yang luas, punya ternak, punya unggas, punya hasil kebun yang lumayan. Tapi kenapa menuruti anak-anaknya saja tidak bisa? Teman-teman rumahnya bagus, bisa beli Hp, pakaian bagus, kendaraan juga bagus,” protesku kala itu.
Jawabanmu tak pernah kuduga. Kau memintaku bersyukur. Kau memintaku bermuhasabah.
“Mereka yang kamu bilang punya rumah bagus tapi ternaknya habis dijual. Sekarang makan saja harus beli nasi karena sawah juga digadaikan, ditambah cicilan motor sedangkan tidak bekerja. Terus contoh lagi tetangga yang rumahnya bagus tapi tanahnya bukan tanah sendiri. Ada lagi yang bisa beli barang-barang mewah tapi semua tanah miliknya dijual. Kamu mau seperti mereka? Nantinya cuma bisa gigit jari?”.
  Aku masih terus mengungkit harta waris bapak. Yang bagiku tidak adil. Dari dulu bapak sudah sering mengalah dengan saudara-saudaranya. Rela tidak melanjutkan berjuang menjadi guru demi membantu orang tuanya membiayai adik-adiknya. Sekarang, ketika kakak dan adik-adik dari bapak sudah memiliki kehidupan yang layak, bapak tetap saja tak memperoleh bagian yang layak. Bapak tak memiliki hak waris yang layak. Tapi sungguh, kau adalah istri yang yang luar biasa. Kamu tidak pernah memperlakukan bapak semena-mena dengan statusmu sebagai orang yang lebih punya dari bapak. Rumah, halaman yang luas, dan sawah adalah milikmu, tapi kau tidak pernah merendahkan bapak sedikitpun.
Cuma harta dunia, katamu.
Malu rebutan harta, katamu.
Ibu…banyak hal yang harus kupelajari tentang pelajaran kehidupan ini, agar aku bisa menghadapi duri-duri yang siap menyakiti.
  Sejak itu…aku tidak pernah merengek meminta apapun padamu. Aku belajar bersyukur dengan berapapun pemberianmu. Meski sebenarnya tidak cukup, dan aku sering berpuasa demi mengehemat pengeluaran setiap mingguku. Atau bekerja paruh waktu, demi mengerti sulitnya mencari sesuap nasi.
 ***
 Ibu… kau adalah wanita hebat. Dan aku, akan menjadi wanita hebat sepertimu.

                                                ***Late post~22 Desember 2017~Not Mother’s Day